Hari seleksi posisi Chief of Store pun tiba. Pukul tujuh pagi Akram dan Rios bertolak dari kota Magelang menuju Semarang. Dengan mengendarai sepeda motor sendiri-sendiri keduanya siap menjemput nasib yang lebih baik lagi. Akram serta Rios memilih jalur alternatif via Kopeng untuk menghindari kemacetan. Setelah melakukan perjalanan hampir sekitar dua jam mereka sampai di kantor pusat Betamart.
Bukan Akram namanya kalau tidak melakukan persiapan. Beberapa potong roti ia bawa sebagai bekal beserta air mineral yang ia beli dari Betamart sendiri. Meski Rios protes karena mereka berangkat terlalu awal saat menentukan jam keberangkatan, bagi Akram menunggu satu jam sebelum proses seleksi akan mengurangi kegugupan.
Gedung utama kantor pusat Betamart di Tembalang tampak megah. Aktivitas kesibukan kantor sudah mulai terlihat. Begitu juga dengan beberapa orang yang mengenakan baju sama seperti mereka. Kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana panjang berwarna hitam serta sepatu pantofel dengan warna sama, tak lupa tas ransel di punggung beserta map warna coklat. Mereka adalah para pekerja yang berencana naik posisi jika lulus nanti.
Rios tak henti melihat sekeliling. Ia kira saat datang tadi mereka yang paling pagi. Rupanya sudah banyak manusia yang juga memiliki kepentingan sama. Saat menuju halaman utama, Pak Satpam sudah menjelaskan di mana mereka harus parkir serta lokasi tempat diadakannya seleksi. Namun, Rios tak mengira kalau sudah sebanyak itu orang-orang yang menunggu.
“Gila, Kram, udah kaya mau daftar CPNS-an aja, ya,” seloroh Rios begitu turun dari motor.
“Nggak protes lagi berangkat pagi?” tanya Akram saat melihat Rios tengah memerhatikan kursi tunggu yang sudah mulai penuh.
“Untung udah ganti baju dulu di pom bensin ya, Kram. Udah sempet makan roti bawaan kamu juga.” Rios sudah melepas jaket. Memasukkan ke dalam bagasi.
“Iya, lah. Kalau nggak, jelas repot.” Akram hanya merapikan kemejanya saja. Rambutnya memang sudah potongan standar. Tidak butuh dirapikan lagi meski habis mengenakan helm.
“Ayo kita ke sana!” seru Akram agar Rios tak kelamaan.
“Bentar, bentar. Aku ngaca dulu.” Rios memutar spion motor. Menyugar rambut serta memastikan penampilannya oke punya.
Akram hanya tersenyum. Ia melangkah lebih dulu untuk mengamankan kursi tunggu yang hampir penuh. Satu jam lagi rangkaian seleksi baru akan dimulai. Tahapan tes kali ini adalah tes tertulis seputar pengetahuan umum serta ketahan fisik biasa. Jika lolos akan dilanjutkan ke wawancara di lain waktu.
Akram membenarkan letak tas punggungnya. Berjalan semakin mantap untuk melewati satu fase penting dalam hidupnya. Jika lolos seleksi, gajinya akan meningkat, layak bersanding dengan Nasha Tahirah yang anak pegawai negeri serta memiliki pendidikan tinggi.
Dentang waktu seolah berpacu. Waktu tunggu satu jam begitu cepat berlalu. Rios sudah empat kali bolak-balik kamar mandi. Akram yang duduk di sampingnya hanya bisa menggelengkan kepala. Ia memangku amplop coklat berisi berkas administrasi serta surat rekomendasi yang diberikan oleh Mas Danang. Menjelang keberangkatan, Mas Danang juga membuatkan untuk Rios. Memberi kesempatan yang sama pada dua anak buahnya. Itu salah satu alasan yang membuat Akram mau mengikuti seleksi. Ia ingin berusaha atas kemampuan sendiri.
“Selamat pagi semuanya. Sebentar lagi tes tertulis akan dimulai. Harap bisa menyimpan dengan baik barang-barang berharga di dalam tas, serta meninggalkannya di sini. Akan ada petugas yang menjaganya!” seru salah satu petugas yang memberi pengarahan.
“Baik!” jawab peserta serentak.
“Untuk berkas administrasi bisa mulai dikumpulkan satu per satu dari urutan tempat duduk paling depan.”
Wajah Rios berubah pucat. Ia gugup sendiri. Sementara Akram lebih mengukuhkan diri untuk menghadapi tes ini.
Satu per satu peserta dipersilakan masuk ke ruangan yang sudah di-setting untuk proses ujian. Jarak tempat duduk disesuaikan sedemikian rupa. Kertas soal, kertas buram serta alat tulis sudah tersedia. Begitu masuk, para peserta tidak diperkenankan untuk membukanya sama sekali.
Setelah semua peserta dipastikan sudah memasuki ruangan, sudah melakukan aksi duduk tegak dengan pandangan lurus ke depan, panitia berdiri di podium. Menyapu pandang ke seluruh peserta seraya mengamati gerak gerik mereka. Satu saja lirikan mata mereka mengarah pada kertas soal, nasibnya mungkin akan berbeda. Mas Danang sudah memberi bocoran terlebih dahulu. Untuk itu, Akram dan Rios tak tergoda mengintip isi soal yang akan keluar sedikit pun.
“Baik semuanya. Sebelum tes dimulai mari kita menundukan kepala sejenak. Memanjatkan doa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa ... mulai!”
Seketika panitia seleksi menunduk diikuti oleh para peserta yang bisa dengan jelas mendengar arahan itu lewat pengeras suara.
Akram mengucap surah Al-fatihah dalam hati. Mengulanginya sampai tiga kali. Meyakini dengan pasti apa yang ia jalani ini akan mendapatkan hasil terbaik dari yang Maha Baik.
“Selesai!” Panitia mendongak, begitu juga para peserta. “Baik, tes akan segera dimulai. Hitungan mundur akan saya sebutkan. Kalian bisa membuka lembar soal setelah lonceng berbunyi." Salah satu panitia kembali mengamati para peserta. Seakan mereka tetap perlu berwaspada.
"Tiga, dua, satu!” Hitungan itu menjadi aba-aba sekaligus tanda dimulainya tes seleksi Chief of Store Betamart.
Akram meraih alat tulis. Mengisi lembar jawaban dengan nama, nomor peserta serta lokasi tempatnya bekerja saat ini. Dengan mengucap bismillah, Akram memulai ujiannya.
***
Dua jam waktu yang diberikan panitia terasa kurang bagi semua peserta. Terbukti begitu lonceng tanda selesainya sesi ujian berbunyi, wajah-wajah putus asa mulai terlihat.
Rios mencari posisi duduk Akram yang segaris dengannya namun terpisah sekitar lima peserta. Ia menggelengkan kepala yang disambut dengan senyuman kecil dari Akram. Satu per satu peserta pun diminta keluar dari ruangan.
“Gila, Kram, udah melebihi soal Ujian Nasional aja. Nyesel aku dulu kurang ajar sama Bu Safira,” ujar Rios begitu duduk kembali di ruang tunggu.
“Bu Safira?” tanya Akram heran.
“Iya, lah. Guru Matematika kita. Kan beliau selalu bilang, Matematika itu penting, pasti kepakai nanti buat kalian kerja. Nggak banyak cuma pecahan, aja, tapi coba kalian bisa nggak naklukinnya?” Ekspresi Rios dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai guru yang selalu ia hindari itu.
“Hahahaha! Kualat, ya, kamu,” timpal Akram tak bisa menahan tawa. Memang guru satu itu terkenal dengan aura galaknya.
“Cuma tiga puluh soal, sih, tapi dikasih di awal. Ya bikin ambyar soal lainnya lah, ya, nggak, Kram?”
Akram mengangguk. Jika dulu ia kerap melihat soal dimulai dari tingkatan mudah, tidak kali ini. Hitungan, bacaan, lalu penarikan kesimpulan. Semuanya tampak sulit.
“Moga aja beruntung, Yos. Rejeki nggak ke mana,” ujar Akram. Ia sudah mengambil ponsel. Melihat apakah Nasha membalas pesannya.
“Hah, aku nyerah, Kram. Udah kamu aja yang gantiin Mas Danang. Belum entar tes wawancara. Belepotan aku ngomongnya.”
“Ya nggak gitu, juga, dong. Belum tentu juga aku diterima. Bisa jadi Betamart malah dapat Chief of Store dari cabang lain. Nggak ngerti juga, 'kan?” Akram berbicara tanpa melihat Rios. Ia mengulang pertanyaan yang sama untuk Nasha dalam pesannya.
Rios menatap Akram. Pasti tadi sahabatnya pun merasa kesulitan. Akram tidak tergolong pandai, tapi lebih pandai darinya. Kalau Akram saja kesulitan, wajar dia pun juga. Rios mengulas senyum, itu artinya memang kualitas soal yang sulit. Bukan dia yang terlalu bodoh.
“Oke, lah, kalau, gitu. Kita mau cari makan nggak? Waktunya cuma setengah jam dipakai sama solat. Setengah satu balik lagi ke sini.”
“Aku bawa nasi juga,” jawab Akram santai masih menatap layar ponsel.
“Sumpah?" tanya Rios terpengarah.
"Iya."
"Aku nebeng, ya!”
Akram hanya mengangguk. Ia memang hanya membawa satu kotak nasi dengan lauk. Namun, sengaja menambah porsinya karena pasti Rios tidak mungkin membawa.
Sebuah pesan mendarat di ponsel Akram. Dengan cepat ia bangkit dari posisi duduk.
“Yes! Beneran dapet dua kelinci!” serunya tanpa memerhatikan tempatnya berada.
***
[Nasha : Beneran? Sampe jam berapa seleksinya? Biar aku yang ke situ.]
***