Bab 7 : Antara Kata

1353 Kata
“Yes! Beneran dapet dua kelinci!” seru Akram tanpa memerhatikan tempatnya berada. Membuat Rios otomatis menarik tangan sahabatnya itu. Beberapa orang yang duduk di kursi tunggu menatap mereka penuh selidik. "Eh, maaf. Kelepasan aku." Akram duduk kembali. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. [Akram : Nanti aku kabari. Belum tahu dapat antrian nomor berapa untuk tes fisik. Kalau dijadwal maksimal acara sampai jam lima.] [Nasha : Oke.] Akram menutup ponselnya. Melesakkan ke dalam tas kembali seraya berdiri. Kumandang adzan sudah terdengar. Sudah waktunya ia menunaikan kewajiban. Dengan mengajak Rios, Akram mencari tempat beribadah di area kantor pusat itu. Mushola yang berada di ujung barat kantor pusat Betamart sudah dipenuhi oleh orang-orang yang akan menunaikan salat. Antrian untuk mengambil air wudhu tampak jelas begitu Akram dan Rios sampai. Akram pun mempercepat langkah.  Harusnya ia memang mengencangkan doa agar seleksinya nanti mendapat kemudahan. Jika tes tertulis cukup menggunakan tangan serta otaknya, berbeda dengan tes fisik. Push-up, sit-up serta yang lainnya. Memikirkan itu membuat kaki kiri Akram terasa ngilu seketika. Lantunan iqamah dari dalam mushola terdengar sampai luar. Membuat Akram bergegas mencari posisi. Meninggalkan Rios yang masih santai melepas sepatunya. "Aku nitip tas, Yos. Ngejar jamaah." Akram menaruh tasnya di dekat sisi Rios.  "Oke. Oke. Aku munfarid aja biar cepet," seloroh Rios. Akram hanya tersenyum ia berusaha mengejar rakaat pertama kalau masih bisa.  Bersimpuh dengan kedua telapak tangan terangkat memang sudah menjadi kewajiban bagi seorang Akram yang muslim. Namun, semenjak selamat dari kecelakaan motor, ia lebih mengutamakan perjumpaannya dengan Sang Pencipta tanpa pernah alpa. Diberi kesempatan hidup meski tak bisa lagi sempurna tegak berdiri, membuat Akram bersyukur.  Allah masih menyayanginya. Allah memberi kesempatan padanya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelum peristiwa itu terjadi. Akram menatap kedua telapak tangannya yang menengadah. Memusatkan diri untuk tambahan doa khusus hari ini. Tentang kelancaran rangkaian seleksi serta perjumpaannya dengan Nasha Tahirah.  Paras gadis itu beberapa hari terakhir terus menguasai pikirannya. Setelah menutup rangkaian doa dengan doa sapu jagat : “Rabbana atina fid-dun-ya ḥasanataw wa fil-akhirati ḥasanataw wa qina ‘ażaban-nar” Artinya: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan selamatkanlah kami dari siksa api neraka." Akram berdiri. Keluar dari mushola untuk bergantian menjaga tas. Ia memanfaatkan waktu dengan membuka kembali ponsel.  Dari layar ponselnya itu terlihat Nasha sudah offline. Namun, Akram tetap berusaha mengirimkan pesan.  [Akram : Dekat sini ada tempat recomended gak? Kalau misal janjian aja gimana? Masa kamu yang nyamperin aku?] Jika Nasha setuju ia ingin mendatangi langsung. Tanpa perlu Nasha yang menjemput ke tempat itu. Jalan-jalan naik motor berdua tentu mengasyikkan bukan? Terlebih dilakukan di luar Magelang. Begitu pikir Akram. Seleksi tes fisik dimulai tepat pukul setengah satu siang. Masih di gedung yang sama hanya berbeda ruang. Peserta dibagi ke dalam kelompok kecil di mana satu kelompok terdiri dari lima orang. Masing-masing dari mereka menghadap pada penguji. Satu orang satu penguji. Serangkaian kegiatan fisik itu sebenarnya tidak terlalu memakan waktu. Hanya saja tidak dilakukan bersamaan membuat peserta harus menunggu dipanggil dulu.  Setelah tiga kelompok sebelumnya selesai melakukan seleksi, giliran kelompok dengan nama Danial Akram yang melakukan kegiatan itu.  Akram berjalan pelan. Langkahnya sedikit berat. Sejatinya ia tidak percaya diri. Dari cara berjalan saja sudah nampak fisiknya tidak sempurna. "Silakan push-up tiga puluh kali," perintah penguji. Akram mengangguk. Ia pun mulai mengambil posisi push-up. Tiga puluh kali dengan hitungan pelan tak seperti peserta lain di samping kanan dan kirinya. Mungkin penguji sudah bisa melihat kondisi kaki Akram dari caranya berjalan. "Sit-up tiga puluh juga."  Akram melakukannya lagi. Untuk gerakan sit-up dia tidak terlalu terlambat. Masih setara dengan peserta lainnya. "Baik, cukup. Setelah ini silakan kembali ke ruang tunggu. Untuk informasi lebih lanjut akan dikabarkan lewat email," ujar penguji. "Sudah bisa pulang, Pak?" tanya Akram memastikan jadwalnya. "Sudah."  Akram mengangguk. Ia melihat ke peserta lain dalam kelompoknya yang masih melakukan serangkaian gerakan lain. Akram mengamati kaki kirinya. Mungkin karena terlalu sulit untuk dilakukan, maka penguji tidak memerintahkan. Akram tahu diri, ia berjalan kembali menuju kursi tunggu di luar gedung. Rios berada di urutan kelompok paling belakang. Akram tak mau terlalu ambil pusing. Ia tak menjelaskan apa-apa pada Rios. Hanya tersenyum simpul. Rios tahu diri, ia menyingkirkan rasa ingin tahunya. "Kalau ntar Nasha udah bales WA aku, tapi kamu belum selesai aku duluan, ya, Yos. Gimana?" tanya Akram sedikit tak nyaman. "Mau jalan-jalan dulu?" Akram pun mengangguk. "Salam buat Nasha. Aku bisa pulang sendiri, Kram," ujar Rios seraya menepuk punggung Akram. "Makasih, Yos." Rios tersenyum. "Semoga berhasil bawa calon istri." Akram tak menimpali. Ia memilih mengangkat tas punggung seraya berjalan cepat menuju parkiran. Nasha bilang sedang berada di sebuah cafe yang jaraknya membutuhkan waktu sekitar satu jam dari kantor pusat Betamart. Akram membuat perhitungan. Ia masih bisa salat Ashar di sana. Rasanya sekadar untuk berbelok ke mushola lagi hatinya tidak mau diajak kompromi. Bayang wajah Nasha kembali bertahta. *** Antara Kata Coffee Akram memastikan nama cafe yang di share lokasi oleh Nasha dengan bangunan di depannya sudah tepat. Dengan mengikuti arahan salah satu aplikasi, dengan mudah Akram tiba di tempat yang disebutkan Nasha. Celana panjang hitam serta kemeja putih dan sepatu pantofel masih menjadi outfitnya sore ini. Ia belum sempat mengganti pakaian. Jaket kain menempel di tubuhnya itu menutupi kemeja putih formal yang cukup bau. Akram juga tak menyiapkan banyak hal setelah hampir dua bulan tak bertemu dengan pujaan hatinya. Di dalam pikirannya hanya dipenuhi dengan rasa rindu agar cepat bertemu. Setelah memarkirkan motor, Akram melangkah pelan menuju dalam. Memasuki area kafe itu. Mencari di mana Nasha Tahirah berada. Antara Kata Coffee. Sebuah kafe dengan konsep out of the box di mana interiornya berasal dari pipa pipa besi yang disusun sedemikian rupa. Kafe dengan akses wifi 24 jam serta menu yang beragam. Cocok untuk para mahasiswa yang ingin menghabiskan waktu, hangout sekaligus mengerjakan tugas.  Akram menyapu pandang ke seisi kafe. Dari posisinya berdiri ia menangkap sosok perempuan cantik dengan rambut sebahu sedang tertawa lepas dengan teman-temannya. Perempuan itu tengah duduk bersisian dengan seorang pria yang menaruh lengannya pada sandaran kursi di mana Nasha berada. Tampak melindungi dengan sesekali menatap kagum pada gadis itu. Di depannya ada satu pasangan yang asyik menyimak obrolan Nasha dengan laptop menyala di atas meja serta beberapa menu makanan. Akram melihat ke dalam dirinya. Seketika ingin berbalik kembali ke parkiran. Mengurungkan niat untuk bertemu dengan Nasha yang tengah asyik mengobrol dengan teman-temannya. Ia takut mengganggu terlebih dengan penampilannya yang ala kadarnya itu. Namun, gadis itu lebih dulu melihatnya yang tengah berdiri di dekat pintu utama. "Sini, Kram!" seru Nasha dari posisinya. Gadis itu berdiri. Menyingkirkan tangan lelaki yang tadi seperti melindunginya. Ia berjalan cepat menghampiri Akram. "Dah dari tadi?" tanya Nasha yang kini sudah berada tepat di depannya. "Be--lum, Sha." Akram mengukir senyum canggung. "Bagus kalau gitu. Aku tadi lagi ngobrol. Yuk,  aku kenalin sama temen-temen aku." Nasha menatap ke arah temannya yang kini memerhatikan mereka. "Eh," timpal Akram bingung. Tanpa aba-aba Nasha menarik tangannya. Mengajak untuk bergabung ke meja itu. Akram ingin menolak, namun tarikan Nasha lebih cepat. Refleksnya berubah lambat saat berhadapan dengan Nasha. "Kenalin guys teman aku dari SMP sampai SMA. Namanya Danial Akram," ucap Nasha pada ketiga temannya. "Kram, ini Risa, Bagas dan Hilmi." Nasha menunjuk satu temannya satu per satu.  "Hai," ucap Risa beserta Bagas bersamaan. Dari gaya busana mereka jelas mereka orang berada. Hati Akram mencelos. Pilihan kata yang diberikan Nasha berbeda dengan yang ada dalam benaknya. Akram pun mengangkat tangan. "Hai. Akram," ujarnya. "Anak mana, Sha? Kuliah jurusan apa?" tanya Hilmi dengan tatapan tajam. Mengamati penampilan Akram dari ujung kaki hingga kepala. Seperti risih melihat Akram ada di samping Nasha. "Ehmmmmmmmm, anak Magelang. Udah kerja ya, Kram," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. Ada jarak yang entah kenapa sekarang begitu terbentang. Membuat semua kenyataan yang selama ini ia nafikan tak bisa terelakan. Tentang dirinya dan Nasha yang memang berbeda.  Akram terdiam. Mengulas sedikit senyum basa-basi yang tak penting sama sekali. Ia merasa tersesat tiba-tiba. Pikirannya mengudara seiring langkah kakinya yang ingin bergerak maju lebih dekat dengan Nasha. Sejak tadi ia selangkah di belakang.  Apa benar Nasha berniat menemuinya? Atau niat gadis itu untuk bertemu sebenarnya hanya untuk memperlihatkan dunianya? Menjelaskan bahwa hubungan mereka tak lagi sama. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN