Bab 44: Begitu Berharga

1100 Kata
Frans menyunggingkan senyum. Ia sadar diri adiknya kini sudah menjadi istri orang. "Ayo," ucapnya. Mia mengangguk. Ia berbalik untuk menutup rapat pintu kamarnya. Keduanya berjalan bersama menuruni anak tangga. "Mau ke mana, Mas?" tanya Mia saat melihat Akram hendak keluar rumah. "Cari makan." "Astaghfirulloh. Maaf, Mas," ujar Mia sambil berlari kecil. Lebih mendekat pada posisi Akram. "Aku masakin dulu, ya." Akram menatap remeh istrinya. Jika ingin memasak harusnya sejak tadi. Bukan malah menerima tamu yang ... ah susah baginya menyimpulkan. Sementara Frans mengamati dari jarak ideal. Ia tentu tak terima adiknya diperlakukan seperti itu. Tampak jelas tatapan tak suka yang Akram berikan untuk Mia. "Ehem!" Frans berusaha masuk ke dalam obrolan Mia dan Akram. "Mau makan apa?" tanyanya. Akram tak menanggapi. Entah sebab apa ia merasa terganggu dengan kedatangan pria itu. "Aku mau pulang dulu ke rumah ibu. Kamu kalau mau di sini nggak apa-apa." "Mas ...." "Santai aja. Aku nggak masalah kok kamu mau terima tamu laki-laki apa perempuan." Akram melirik ke arah Frans. Frans mengangkat bahu. Nampaknya meski tak nyaman dengan ikatan pernikahan, Akram tetap tak suka ada laki-laki lain yang tiba-tiba menyambangi istrinya. "Jangan salah paham. Dia ...." "Hati-hati kalau mau pergi, Kram. Santai aja, Mia aman sama aku. Sekalian mau tak ajak pulang ke rumah." Wajah Akram sedikit beriak. Rumah? "Kak," panggil Mia pada akhirnya. Ia tetap tak bisa seratus persen membohongi suaminya. "Kak?" tanya Akram sedikit ragu. Mia mengangguk. "Kak Frans. Kakakku," jawabnya. Akram pun mendongak. Mengamati wajah pria yang baginya arogan. "Apa?" tantang Frans. "Bukannya kamu anak pertama?" Mia mengangguk kecil. "Ayo Mia. Keburu bapak ibu nunggu," sambar Frans. Ia tak mau adiknya membeberkan semua. Ia masih harus memastikan posisi Akram. "Aku juga mau balik ke rumah, Mas. Boleh?" "Boleh." "Mas nggak ikut?" "Aku mau ke tempat ibuku." "Nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa gimana?" "Ehm, maksudnya aku pulang kamu juga pulang. Nggak ...." "Gampang. Nanti cari alasan sendiri-sendiri. Dah ya, aku pulang dulu. Kunci mobil di atas kulkas." "Mas naik apa?" sambar Mia. Akram sudah memegang handle pintu. "Angkot." *** Mia dan Frans melakukan perjalanan pulang mereka. Bagi Frans jelas sebuah hal yang menyenangkan. Dua tahun ia tidak pulang karena terhalang pandemi. Kini, setelah cukup lama menyimpan celengan rindu, saatnya ia memecahkan. Mia seperti biasa bercerita banyak hal. Tentang kegiatannya di pondok pesantren modern yang tidak pernah ia sangka akan berakhir lebih cepat karena harus menikah. Tentang hobinya yang masih terus ia asah secara diam-diam dan tentu tentang pria bernama Danial Akram. "Namanya juga player," timpal Frans sambil mengendalikan mobil. "Player?" "Kata kamu pemain bola. Player dong." "Ya nggak player juga, Kak." "Terus sekarang off?" Mia mengangguk. Mustahil bagi suaminya memainkan kembali si kulit bundar dengan kondisi kaki yang sudah berbeda. "Nggak tanya-tanya?" "Takut, Kak." "Kenapa takut? Kan udah jadi suami istri." "Kan beda, Kak, kondisinya," protes Mia. Di depan kakaknya ia benar-benar tampak berbeda. Sangat ceria dan menjadi dirinya sendiri seutuhnya. "Hmmm. Kasihan bener adikku," ucap Frans sambil menoleh ke samping. Sungguh pesona Mia mampu meluluh lantakkan hatinya. "Kakak tau dari mana alamat rumahku?" tanya Mia mengalihkan tatapan canggung dari Frans. Mobil mereka sedang berhenti akibat lampu merah. "Apa yang kakak nggak tau?" Mia mengulas senyum canggung. Ya. Apa yang tidak diketahui kakaknya? *** Akram turun di gang menuju rumahnya. Meski dia bilang akan menaiki angkot, nyatanya ia justru memesan ojek online. Ia butuh waktu yang lebih cepat. "Assalamualaikum!" serunya sambil mendorong pintu. Ia yakin ibunya ada di dalam rumah. "Waalaikumsalam!" Akram pun melangkah. Ia langsung menuju ruang tengah di mana suara sang ibu berasal. "Loh, kamu, Kram?" Akram mengangguk. Seperti biasa menyalami punggung tangan Yurika. "Udah pulang?" "Udah, Bu. Tadi pagi diantar Kak Dania sama Mas Valga." "Mereka langsung balik?" "Iya." "Wah, nggak sempet mampir ke sini? Awas tuh anak," ujar Yurika geram. "Buru-buru paling, Bu. Maklum sibuk." "Eh, kamu sendirian? Mia mana?" tanya Yurika menyadari tak ada sang menantu. Akram mengambil posisi duduk di kasur lantai. Ikut menyaksikan acara gosip yang disaksikan ibunya dari layar televisi. "Lagi pulang." "Pulang?" "Iya, Bu. Mau ambil barang." "Lah, nggak kamu antar?" Akram menggeleng. Ia meraih toples yang berada di atas meja tak jauh dari jangkauannya. Membuka lalu mengambil isinya. "Laper, Bu. Pulang dulu." "Laper? Belum makan?" Akram menggeleng. Mulutnya mengunyah camilan yang selalu ada di rumah. "Mia nggak masak?" "Belum." "Nggak kamu tunggu?" Akram menghela napas. Lapar jelas bukan satu-satunya alasan. Ia bisa memasak mi instan atau menu lain dari bahan yang ada. Ia hanya sedang malas berada di rumah baru itu. "Sekalian Akram ambil baju, Bu. Lagian kangen juga masakan ibu." Kening Yurika mengernyit. Sikap putranya terasa janggal. "Baru seminggu di sana kan?" Akram mengangguk. "Berantem kalian?" Camilan yang harusnya masuk ke mulut Akram pun keluar lagi. Pertanyaan Yurika tak terduga. "Kenapa? Beneran berantem?" Akram menggeleng. Ia meraih minuman kemasan yang juga berada di dekatnya. Hebatnya meski suka mengatur takdir cinta anak-anaknya, urusan makanan dan minuman Yurika selalu menyediakan dengan baik. "Nggak, Bu. Cuma tadi Akram pikir mau pulang dulu. Baju Akram masih sedikit di sana." "Oh, begitu? Syukurlah. Ibu takut kamu berantem sama Mia. Masa ia baru nikah sebulan baru pindah seminggu berantem. Nggak baik lah." Akram terlolong. Hapal sekali ibunya tentang pernikahannya dengan Mia. "Nggak, Bu." "Pokoknya dijaga baik-baik itu, Mia, Kram. Ibu nggak bakal tenang kalau kamu nggak nikah sama dia. Pak Agit itu besan top lah," puji Yurika. Sikapnya yang sangat memihak pada keluarga Mia mulai terlihat. "Iya." "Sip kalau begitu. Jangan kecewain ibu ya, Kram. Kamu satu-satunya harapan kami," lirih Yurika. Akram terdiam. Tiba-tiba suasana haru menyapa. Ucapan Yurika terdengar serius. "Rumah tangga meski dari luarnya kelihatan adem ayem, belum tentu di dalamnya seperti itu. Ibu pingin kamu sama Mia lahir batin adem ayemnya." Seulas senyum Yurika berikan. Ia tatap wajah teduh putranya yang selalu bisa membuatnya tenang. Akram mengangguk kecil. Bagaimana ia bisa menciptakannya? "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam," jawab Akram dan Yurika bersamaan. Mereka kenal betul dengan suara itu. "Biar Akram aja, Bu." Yurika mengangguk. Ia biarkan putranya bangkit dari posisi duduk. Akram berjalan meninggalkan ruang tengah. Bersiap membukakan pintu untuk ayahnya. "Pulang, Pak?" "Eh, kamu, Kram?" ujar Danu terkejut. "Iya, Pak," jawab Akram sembari meraih punggung tangan Danu. "Mia ikut?" Akram tersenyum masam. "Kebetulan nggak, Pak." "Loh?" Akram menutup pintu rumah utama mereka. "Akram cuma ambil baju, Pak. Ndak lama." "Oh, terus Mia ditinggal di rumah?" tanya Danu sambil melangkah. "Nggak juga." Danu berhenti lagi. Ia tatap wajah putranya dengan penuh tanya. "Lagi pulang ke rumah orangtua juga, Pak." "Nggak aneh-aneh, kan?" Akram menggeleng. "Insyaallah aman." Danu pun mengangguk. Ia kembali melangkah menuju ruang tengah. Berharap betul tidak ada yang salah dari rumah tangga putranya. Sementara Akram berjalan di belakang sambil memikirkan banyak hal. Sebegitu berharga pernikahannya dengan Mia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN