Frans dan Mia tiba di rumah orang tua mereka. Meski gugup, setelah cukup lama tidak bertatap muka, Frans berusaha mengabaikannya. Dulu, ia kira selamanya ia akan tinggal di rumah itu. Mengukir cerita yang berbeda antara ia dan adiknya.
"Masyaallah anak ibu? Kenapa nggak bilang mau pulang?" tanya Sufi tak kuasa menahan haru. Dua tahun jelas bukan waktu yang lama.
"Maaf, Bu. Frans memang mau kasih surprise."
Sufi mengangguk. Ia paham betul sikap putra sulungnya.
"Ya udah ayo makan dulu. Ibu masak opor."
"Opor, Bu?"
"Iya. Kebetulan ibu kangen kamu. Kok ya pas banget kamunya pulang."
Frans pun tersenyum senang. Ia memeluk perempuan yang telah merawatnya sejak kecil. Mia tak kalah senang. Setelah cukup lama keluarganya tak berkumpul seperti ini, akhirnya bisa dilakukan lagi.
"Sebentar. Ini ada yang kurang," ujar Sufi seraya mengurai pelukan Frans.
"Kurang? Apanya yang kurang, Bu?"
"Mia. Suami kamu mana?"
Frans cukup kecewa. Sang ibu rupanya sudah menganggap Akram bagian dari inti keluarga. Bahkan sangat mengingatnya.
"Lagi pulang ke Donorojo, Bu."
"Ke rumah orangtuanya?"
"Iya. Lagi ambil baju dulu."
Sufi pun mengangguk kecil. "Oh, kamu nggak ikut?"
"Nanti Mas Akram nyusul, Bu."
"Beneran? Terus naik apa?"
"Bu, Frans lapar," ujar Frans sambil meraih piring. Jelas tak nyaman membicarakan orang yang tidak ada di sini.
"Oh, iya, iya. Mia ambilkan nasi buat kakak kamu."
"Siap, Bu."
Frans mendesak. Mungkin sampai kapan pun posisinya memang hanya seperti ini. Tak bisa lebih dari sekadar kakak dengan tanda kutip angkat.
***
Akram menikmati sajian makan siang yang baginya cukup sederhana. Sayur asem, bakwan jagung disertai sambal yang tidak terlalu pedas. Ya, keluarganya memang lebih senang sesuatu yang manis.
"Nambah, Kram," ujar Yurika sambil terus memerhatikan putranya.
"Kenyang, Bu. Nasi udah hanyak tadi."
"Dah nggak apa-apa." Yurika menambahkan satu buah bakwan ke piring putranya.
Akram mengangguk kecil. Meski perutnya sudah hampir penuh, ia tidak mungkin menolak. Demi menghargai perasaan ibunya.
"Bapak nambah?" tanya Akram. Ayahnya justru melamun.
Sontak Agit menggeleng. "Cukup."
Akram dan Yurika pun kembali melanjutkan suapannya. Sesi makan siang yang bisa dibilang tidak pernah terjadi di rumah itu setelah pernikahan Akram.
"Ibu kenapa, Bu?" tanya Akram saat mendengar sedikit isakan.
Yurika menggeleng. Mana mungkin ia berkata yang sebenarnya perihal perasaannya.
"Sambelnya pedes banget. Kayaknya ibu salah masukin cabe."
"Iya kayaknya, Bu. Bapak juga kepedesan," timpal Agit. Ia pun tidak bisa menyembunyikan perasaan harunya.
Akram yang memang tidak menggunakan sambel untuk melengkapi menu makanannya berinisiatif untuk mencoba.
"Biasa aja, Bu. Standar keluarga kita," ujarnya.
"Yang banyak. Coba yang banyak pasti mata kamu berair, Kram."
Yurika berusaha mengukir senyum. Ia tidak boleh terlihat sedih di depan putranya.
"Minum dulu, Bu, minum. Biar nggak kepedesan," pungkas Agit sambil menenggak air putih dari gelas beningnya.
Akram menggaruk tengkuk. Ada apa? Menurutnya sambal di meja makan benar-benar tidak pedas. Malah cenderung manis.
Setelah sesi makan siang itu, Akram menyempatkan diri menengok kamarnya. Mau tidak mau ia memang harus meninggalkan kamar itu untuk sementara waktu. Akram mendekatkan diri ke lemari. Sudah pasti ia harus mengemas beberapa baju yang harus ia bawa. Tangan Akram membukanya perlahan.
Akram mendesah. Isi lemarinya sejak lama memang itu-itu saja. Kaos berkerah, celana panjang berbahan kain dan jins serta beberapa baju lengan panjang. Ia termasuk yang jarang membeli baju karena memang tidak terlalu suka. Setelah memastikan baju yang ia bawa sudah cukup, Akram mulai mengeluarkannya dari dalam lemari itu. Ia berpindah ke sisi lemari sebelah kiri di mana terdapat beberapa barang-barang lain. Tatapan Akram terhenti pada satu titik. Tangannya terulur mengambil satu kotak yang baginya istimewa.
Akram mengusap kotak dari bahan kayu itu. Membawanya keluar dari lemari untuk kemudian meletakannya di atas meja. Ya, beberapa bulan sekali ia kerap melakukannya. Akram mendesah. Ia harus mengumpulkan sedikit keberanian.
"Bismillah," ucapnya. Perlahan tangan kanannya membuka kaitan di kotak kayu tersebut.
"Masih utuh," ucap Akram sambil tersenyum. Betapa barang-barang itu sudah tersimpan cukup lama. Akram pun meraihnya dan mengangkat satu pasang sepatu miliknya.
***
"Buka, Kram," ujar Nasha saat mereka bertemu di sudut lapangan sekolah.
"Buat aku?"
Nasha mengangguk semangat. "Iya. Buat ikut popda besok."
Sontak Akram pun tersentak. Artinya ....
"Yes. Sesuai dugaan kamu."
Akram tampak senang. Segera ia membuka kado yang dibawakan Nasha. Dan memang sesuai dengan apa yang ia pikirkan.
"Sha ini berlebihan."
"No, Kram. Ini lebih dari layak buat calon atlit nasional."
"Apaan? Besok baru mau mewakili sekolah. Baru kelas dua juga."
"Katanya nanti SMA nya yang ke SSB. Ini biar awet."
"Tapi, Sha ...."
"Udah sih, diterima aja. Aku ikhlas kok ngasihnya. Hargai, kek."
Akram pun kembali memeriksa sepatu bola itu. Ia memang berencana membelinya sebelum nanti mengikuti pekan olah raga daerah mewakili sekolahnya di cabang olah raga sepak bola. Ia juga memang sudah berniat mengganti sepatu pemberian ayahnya. Dan tak pernah ia sangka, Nasha Tahirah--gadis yang memang sedang ia dekati memberikan secara cuma-cuma.
"Dicoba dulu, Kram. Pas nggak."
"Dicoba?"
"Iya. Kalau nggak pas kan bisa diganti."
Akram mengangguk. Ia mulai melonggarkan tali sepatu yang kebetulan sudah terpasang. Nasha mungkin melakukan untuknya. Segera Akram memakainya dan mencoba untuk joging di tempat.
"Pas, Sha," ujar Akram sambil mengembangkan senyum.
"Perfecto!"
Keduanya tidak bisa untuk tidak saling terpana dan mengagumi satu sama lain. Perhatian perhatian kecil semacam ini yang membuat benih rasa itu kian bersemi. Akram setelah mendapatkan hadiah dari Nasha dan memastikan diri membawa sekolahnya menjadi juara memberanikan diri menyatakan cinta monyetnya. Seperti sudah ditunggu Nasha, yang juga memang memiliki hal yang sama pun menerima. Begitu semua bermula sampai pada akhirnya hubungan mereka terjalin cukup lama.
***
Akram menghela napas panjang. Sungguh kebersamaan dengan Nasha tak hanya hitungan hari melainkan tahun. Ia tidak pernah jatuh cinta pada perempuan lain sampai mereka memutuskan berpisah di kafe Antara Kata.
Akram meletakkan kembali sepatu bola itu. Mulai hari ini ia harus menutup rapat kotak kayu. Kalau perlu membuangnya. Akram memastikan posisi sepatu bola itu sudah benar beserta talinya. Sebuah pesawat kertas yang tertera di dalam kotak itu mengusiknya. Sejenak pergerakan Akram terhenti. Ia teringat akan seseorang.
"Ini," lirihnya. Akram langsung meraih pesawat kertas itu.
Persis sama dengan apa yang dikatakan Mia. Salam pembuka di dalam pesawat kertas itu menjelaskan semuanya.
-Hai, Danial Akram. Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja? Sepertinya iya. Aku, di sini bisa dengan jelas menyaksikan senyum itu setiap kali si kulit bundar ada di kakimu.-