Deburan Ombak di Bibir Pantai

1137 Kata
“Memang tidak selamanya cinta itu indah. Tapi, bukankah lebih baik dicintai oleh seseorang yang tulus mencintai kita daripada mencintai orang yang tepat, namun menyakitkan?” *** Pernikahan hari ke-30 Al membuka satu persatu matanya. Sebenarnya, dia enggan jika harus terbangun dari tidurnya pagi ini, karena dia pasti tidak akan bisa kembali melihat Jasmine yang masih tertidur di atas ranjangnya. Gadis itu sudah berangkat ke Sekolah sebelum matahari terbit. Baginya, mati lebih baik daripada harus merasakan cinta bertepuk sebelah tangan tanpa tahu kapan akhirnya. Namun, mirisnya adalah akhir dari pernikahannya dengan seorang gadis yang berhasil membuat dirinya pensiun dari predikat playboy ternyata sudah bisa diprediksi, yakni perceraian. “Kapan kamu akan membuka hati kamu untuk Abang, Jasmine?” Pertanyaan itu mulai menempel dalam pikirannya sejak di malam pertama pernikahannya. Malam pertama yang sangat mengesankan. Al membangunkan tubuhnya dari atas ranjang. Sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu dia melakukan kebiasaannya merapihkan tempat tidur yang tidak pernah dia lewatkan. Tapi ternyata tidak untuk Jasmine, tempat tidur gadis itu sangat berantakan begitu juga dengan meja belajarnya. Al pun yang merapihkan semuanya sampai kamar istri kecilnya itu bersih dan rapi. Al pula yang menyapu dan mengepel lantai kamar Jasmine. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya. Sementara itu, di tempat berbeda. Jasmine sedang menggerakkan tangan kanannya di sebuah halaman kosong buku sketsa. Di setiap halaman kosong berisi semua luapan perasaan Jasmine selama ini. Tidak ada yang bisa dia utarakan pada siapapun tentang kodisinya sejak menikah selain dia utarakan melalui buku sketsa yang berisi gambar-gambar karya tangan, hati, dan pikirannya. Tak jarang ada bekas tetesan air mata yang jatuh di atas beberapa halaman buku itu. Langkah kaki seseorang berhenti tepat di depan ruang kelas bertuliskan 11 MM 2. Orang itu menatap Jasmine dari kejauhan sambil menggelengkan kepalanya. “Dia memang benar-benar sudah berubah. Salut!!” Ucapnya dengan pujian. Kemudian, langkah kaki orang itu kembali berjalan menuju meja yang sama tempat Jasmine berada. Orang itu pun duduk di samping Jasmine sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Matahari memang sudah terbit dari barat bukan dari timur lagi.” Mendengar kalimat itu, Jasmine langsung mendesahkan tawa sarkas. “Omong kosong apa lagi itu? Bisa-bisanya bicara seperti itu seolah kiamat kamu yang menentukan.” “Hahahaa... bercanda, Jasmine. Jangan dimasukkin ke perut.” “Apa sih!? Tahu saja kalau aku belum sarapan.” “Kan. Pasti minta ditemenin ke Kantin.” Fanya sudah bisa menebaknya. “Hehehee...” Jasmine nyengir lebar. “Tidak bisa.” Raut wajah Fanya langsung berubah asem. “Kenapa?” “Aku belum menegrjakan PR IPA.” “Aku sudah. Kamu bisa melihat semua jawabannya.” Jasmine dengan senang hati memberikan contekan pada sahabatnya itu. “Kamu lupa ya? Kan setiap siswa mendapat soal PR IPA yang berbeda-beda.” “Oh— iya ya? Aku tidak terlalu memperhatikan.” “Jelas saja tidak memperhatikan. Lah, sudah hampir sebulan ini kamu sering melamun. Setiap kali aku tanya kenapa, kamu selalu menjawab tidak ada apa-apa. Hem!” Ucap Fanya sambil mengeluarkan buku PR IPA dari dalam tasnya. Jasmine langsung melamun singkat begitu Fanya mengatakan itu. “Sebenarnya kamu lagi ada masalah apa sih, Jas? Kok murung terus? Cerita tidak mau, tapi melamun sampai sering hilang konsentrasi. Kamu sudah tidak percaya lagi sama aku untuk curhat ya?” “Bukan itu. Aku— hanya lagi kurang sehat saja. Kalau begitu aku ke Kantin dulu ya untuk sarapan.” “Lagi-lagi menghindar.” Seru Fanya. Jasmine hanya merespon dengan diam, lalu dia beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan kelas. Hidupku mulai terasa tidak adil. Aku yang baru berusia 16 tahun malah dinikahkan dengan mantan tetanggaku sendiri yang beda usia terpaut sangat jauh. Sungguh tidak masuk akal! Mengaduh dengan Bunda pun sekarang percuma karena dia menjadi salah satu orang yang tega pada putrinya sendiri. Aku jadi meragukan soal hubungan darahku dengan Bunda, apa aku benar anak kandungnya atau bukan? Kok Bunda tega banget nikahin aku sama Bang Al? Tega! Masa remajaku telah direnggut paksa oleh Bang Al. Tega!! “Permisi.” Tiba-tiba saja Jasmine dicegat oleh seorang cowok saat dia sedang berjalan di koridor menuju Kantin. “I-iya?” Jasmine yang selalu pemalu dan canggungan tentu saja merasa gugup saat menghadapi orang asing, apalagi orang asing itu adalah kaum Adam. “Di mana ya ruang administrasi?” “Ruang tata usaha maksudnya?” “Iya.” “Lurus saja terus, nanti pas ada belokan kamu bisa belok kanan, belok kiri sedikit. Nah, nanti kamu akan melihat tulisan di atas pintu yang bertuliskan ruang tata usaha.” “Okey, thanks. Jasmine.” Ucap cowok itu yang kemudian berlalu pergi sambil mengibarkan senyuman manisnya. Deg! Jasmine langsung terkesiap begitu cowok itu menyebut namanya. “Dari mana dia tahu nama aku? Aku kan tidak memperkenalkan diri aku, juga tidak ada nama aku di seluruh seragam aku. Aneh banget. Padahal aku tidak merasa mengenalnya.” Jasmine jadi memikirkannya. Krucukk... krucukkk... Tapi, berhubung perutnya kelaparan, Jasmine pun akan melupakannya sejenak. Dia kembali melajutkan perjalanannya menuju Kantin sendirian sebelum bel masuk Sekolah berbunyi. “Bu, nasi uduk polosnya satu ya.” Jasmine memesan sarapan di salah satu warung di Kantin Sekolah. Setelah mendapat pesanannya, Jasmine segera duduk di meja. Untuk sementara waktu, dia akan menenangkan pikiran dan perasaannya sejenak yang sejak tadi bergelut dengan emosinya tentang persoalan pernikahannya yang belum juga usai. Setidaknya, sarapan nasi akan membuat pikirannya tenang karena perutnya terisi dengan baik. Namun, “Hai, Jasmine!” Kala datang menghampirinya. Tanpa bermaksud mengganggu Jasmine tapi Jasmine sangat terganggu dengan keberadaan Kala. “Biasa sarapan nasi ya?” Tanya Kala basa-basi. Jasmine mengangguk pelan tanpa mengangkat wajahnya sedikit pun. “Kamu sendirian saja?” Jasmine kembali mengangguk pelan. Pertanyaan Kala mulai membuat Jasmine kesulitan menelan makanannya. “Mau pulang bareng tidak nanti?” Kala bertanya cukup gugup untuk pertanyaannya kali ini. Jasmine pun menggelengkan pelan kepalanya. “Kenapa? Bukannya kamu biasa pulang naik bis? Aku naik motor loh. Kan bisa lebih cepat sampai dan tidak perlu desak-desakan.” “Maaf, aku tidak bisa. Aku— mau kembali ke kelas.” Ucap Jasmine tergesa-gesa. Sampai-sampai suara dorongan kursi terdengar kencang. Tapi, Kala menahan cepat kepergiannya dan hampir saja menyentuh tangan Jasmine. “Tunggu!” Dengan cepat pula Jasmine menyembunyikan tangannya di balik tubuhnya. “Ada apa lagi?” Kala memiringkan kepalanya untuk melihat Jasmine yang terus menundukkan wajahnya tanpa mengangkatnya sedikit pun. “Jasmine, apa kamu tidak bisa melihat ke arahku sebentar saja?” “Maksud kamu?” “Jangan pura-pura tidak tahu soal perasaan aku ke kamu, Jasmine! Harus berapa kali lagi aku ungkapkan perasaan aku ke kamu kalau aku—“ Kala mulai melangkahkan kakinya untuk lebih mendekat dengan Jasmine. Dan, sikapnya itu membuat Jasmine ketakutan menghadapinya. Kaki Jasmine pun reflek mundur ke belakang. Lalu, tiba-tiba saja... “Apa yang mau kamu lakukan pada Jasmine?” Seseorang datang untuk membantu Jasmine. Sontak. Jasmine langsung terperanjat kaget melihat orang itu kembali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN