4. Perumpamaan

2362 Kata
Dengan balutan dress navy sebatas lutut dan rambut yang tergerai rapi, Jani datang membawa kotak kecil di genggamannya. Kalau dihitung mundur, tanggal ini bertepatan Panji berangkat waktu itu, 16 Mei, musim hangat yang menyesakkan d**a. Dan di penghujungnya dipenuhi dengan duka lara. Di sini, Jani berharap Panjinya datang. Dia sungguh merindukan lelaki itu. Baiklah, Panji memang bukan lelaki romantis. Dia juga bukan lelaki humoris. Dia hanya lelaki yang cuek bebek dan pendiam. Sudah menjalin kasih selama itu pun, terkadang Jani masih merasa kesal sendiri. Harusnya, dia sudah terbiasa. Mengingat, sedari kecil Panji sudah begitu. Namun, dia tetap mencintai Panji. Mencintai yang benar-benar tulus tanpa pamrih hingga perempuan itu hanya ingin kebahagian untuknya. Kenapa seperti itu? Entahlah, Jani juga tidak tahu. Yang Jani tahu, dia merasa kalau Panji bahagia, maka dia akan bahagia juga, bahkan lebih dari lelaki itu. Tidak ada yang tahu bagaimana Jani bisa memperoleh teori seperti itu. Namun yang pasti, dia bahagia saat Panji baik-baik saja. Baru saja keluar dari pekarangan rumahnya, Jani tersenyum melihat Andra juga keluar dari gerbang rumahnya yang menjulang tinggi. Tak lama kemudian, Nadia menyusul. Perempuan itu sibuk dengan dompet yang ada di genggamannya. “Katanya nggak ikut?” ungkap Jani lebih dulu, mengingat pembicaraan mereka tadi. Nadia langsung mendongak. Dia tersenyum simpul melihat Jani. “Udah selesai lah, kan mau lihat si Bagas baperin anak orang, Mak.” candanya. Mereka lantas berjalan beriringan. Di saat Jani dan Nadia bercanda tawa membahas apa yang Andra sendiri tidak pahami, dia terus diam sampai Jani harus menegurnya. “Diem aja, sakit gigi, Ndra?” “Nggak. Sakit hati.” Ralatnya membenarkan tebakan Jani. Mendengar respon seperti itu, Jani langsung mendorong bahu Andra menjauh dan tertawa sendiri. “Alay banget kamu. Makanya buruan nyusul, masak diduluan si Bagas.” Andra memutar bola matanya jengah. Wanita itu pasti tidak mengaca dirinya sendiri. Dia sendiri saja masih terlarut akan kepergian Panji malah menyuruh orang segera menyusul. Dasar perempuan! “Nggak, males ngidupin anak orang.” jawab Andra akhirnya. Ya, dia memang agak gimana kalau sudah membahas yang menjurus ke pernikahan. Masalahnya, calonnya tidak ada! Nadia dan Jani yang mendengar langsung membelalak tak percaya. “Ya terus gimana kalau nggak mau ngidupin anak orang?” Jani menggeleng. “Aneh, kayaknya kamu ikutan setengah gila kayak aku deh, Ndra.” Tuh kan, jani sadar kalau sebenarnya dia tidak terlalu waras. Jadi, saat ada orang mengatainya gila atau mempertanyakan kewarasannya, Jani tidak terlalu peduli. Kalau memang itu kebenarannya, mau diapakan lagi? Disanggah pun, orang-orang yang suka nyinyir tidak akan berhenti sampai di sana. Jadi, daripada lelah mengurusi mulut-mulut tidak enak mereka, lebih baik tidak usah di masukkan ke dalam hati. Hidup Jani jauh lebih berharga daripada digunakan untuk mendengarkan omongan sampah orang-orang yang tidak tahu apa-apa. “Udah sih, Jan! Kayak nggak tau si Andra, aja. Dari dulu emang gitu masih kamu pertanyain kewarasannya.” Nadia menimpali. Jani tertawa, kemudian mengapit lengan Nadia dan berjalan mendahului Andra yang tertinggal di belakang. Lelaki itu hanya mengembuskan napas panjang. Bertahun-tahun berlalu, dan dia tetap saja seperti ini. Pengecut. Saat sampai di pelataran kediaman Laksana, mata Jani berbinar melihat lampu yang berkelap-kelip terpantul oleh air kolam renang yang luas. Dulu, dia senang bermain dengan Panji di sana. Iya dulu, lama sekali. Terkadang, Jani bertanya-tanya kenapa dia bisa sangat begitu mencintai Panji. Kalau ada orang yang bertanya dia kenapa, Jani sendiri tidak tahu jawabannya. Yang dia tahu, mencintai orang begitu sangat, sangat memilukan bagi dirinya sendiri. Sampai sekarang, Panji masih ada di setiap doa rahasianya pada Tuhan. “Kak Jani!” Jani tersadar dari lamunannya dan bergegas melihat ke arah sumber suara. “Ya?” “Sini!” Tersenyum kecil, Jani lantas menghampiri lelaki muda yang tadi memanggilnya alias Bagas. Bagas Laksana, adik dari Panji Laksana. Iya, keluarga Laksana. Seperti kehidupan yang terus berjalan, tentu saja keluarga Laksana tetap menjalankan hidupnya tanpa Panji. Bukan dilupakan, hanya saja, memang hidup seharusnya tetap berjalan, tidak peduli ada yang datang ataupun pergi. “Cie cieee yang mau gandeng istri.” Jani menenggor bahu Bagas, untung tidak sampai kejebur kolam. Bukannya menjawab gurauan Jani, Bagas malah memeluk wanita itu erat. Mereka memang dekat. Bahkan, Bagas mengakui kalau dia lebih dekat dengan Jani daripada dengan Panji, kakaknya sendiri. Kakaknya terlalu dingin. Daripada bicara baik-baik, Bagas ingin sekali mengusik kakaknya agar mau bicara. Selain cuek, Panji juga irit bicara. Jangankan orang lain, Jani saja yang kekasihnya kadang kesal setengah mati. Apalagi saat lelaki itu sakit, dia akan memilih diam daripada manja dan mencari perhatian. Ya memang seperti itu, setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengungkakan apa yang dia rasakan atau tidak sama sekali. “Sehat-sehat ya, Kak.” gumam pemuda itu pelan yang nyaris mendekati lirihan. Bagaimanapun, Jani sudah dianggap kakak sendiri oleh Bagas dan akan terus seperti itu. Jani tersenyum, dia usap lembut punggung Bagas. “Kakak sehat, kamu jangan khawatir. Kamu juga sehat-sehat, ya kerja, ya makan. Jangan kerja doang, makannya berantakan!” Bagas tertawa kecil dan bergegas melepas pelukannya dari Jani. “Keasikan kerja, Kak. Mumpung masih muda. Kapan lagi, kan?” Jani mengangguk mantap kemudian menghampiri Pak Wira dan Bu Hana yang berdiri tak jauh dari tempatnya. “Hallo Om, Tante.” “Sayang…” Jani menerima uluran tangan Bu Hana. Mereka berpelukan erat sampai memungkinkan mendengar detak jantung sama lain. “Kamu kurusan.” kata Bu Hana pertama kali. “Masak, Tan? Aku kan selalu segini.” canda Jani. Bu Hana melepas pelukannya, dia genggam tangan wanita muda itu dan untuk sejenak, Jani merasa takut. Dia takut kalau harus diminta mendengar kenyataan lagi. Kenyataan yang sebenarnya tidak pernah bisa dia terima hingga sekarang. Imannya terlalu lemah hingga tidak bisa menerima takdir yang digariskan oleh Tuhan bertahun-tahun lamanya. “Tante nggak minta apapun sama kamu. Tante cuma pengen--" “Aku ikhlasin Panji. Iya, kan, Tan?” Bu Hana menunduk, masih menggenggam tangan Jani erat. Sampai akhirnya, Beliau mau melihat ke arah Jani lagi. "Sayang dengar, Panji sudah pergi. Kamu harus melanjutkan hidup kamu. Jangan… jangan siksa diri sendiri. Mama kamu bilang kemarin kamu pingsan di bandara lagi” Bu Hana terdiam sejenak, memberi waktu untuk Jani mencerna perkataannya sebelum memutuskan untuk melanjutkannya kembali. “Apa yang kamu dapet lima tahun selalu pergi ke bandara waktu sore hari? Apa Panji kembali?” Jani menatap nanar mata Bu Hana yang berkaca-kaca. “Panji tidak pernah kembali.” Jani menggeleng, menolak mentah-mentah perkataan Bu Hana. “Panji bukannya tidak pernah kembali, Tan. Tapi hanya belum kembali saja. Dia akan pulang, aku janji.” “Sayang…” Bu Hana menatap Jani sedih. “Sudah. Cukup. Kamu haris terima kalau Panji sudah pergi. Jangan seperti ini. Kamu harus melanjutkan kehidupan kamu. Kalau Panji masih ada, dia pasti sudah kembali. Tapi…” Bu Hana menggeleng, tak mampu melanjutkan perkataannya. Bagaimana pun, dia juga seorang ibu. Ibu yang melahirkan Panji dan merawatnya sampai sebesar itu sampai kemudian hari Panji pergi dan tak pernah kembali. Jani tidak ingin memperkeruh suasana. Dia bergegas pamit sebelum Bu Hana meledak karena kekeraskepalaannya. Dan Bu Hana, dia hanya bisa memandang pilu punggung Jani yang menjauh untuk kembali bergabung dengan teman-temannya. Sebenarnya, Jani tidak sok kuat. Dia memang kuat. Buktinya, dia tidak melakukan percobaan bunuh diri lagi. Dia mampu sembuh dengan dukungan orang-orang terdekatnya dan tentunya atas kehendak yang di Atas juga. Setelah bertahan satu jam di sana, akhirnya Jani pamit juga. Dia memutuskan pulang lebih dulu setelah memastikan Bagas resmi bertunangan dengan kekasihnya. Sedangkan kedua orang yang bersamanya tadi, alias Andra dan Nadia masih bertahan di sana karena mengenang kenangan lama dengan teman-teman yang lain. Saat keluar dari perumahan Panji, Jani menenteng sepatunya. Dulu, saat jalan-jalan dengan Panji, Jani sering melakukan ini. Saat Panji menenteng pantofel miliknya, maka Jani akan melepas high heels yang tak seberapa tingginya karena Jani sudah termasuk tinggi. Tapi tetap saja, Panji lebih tinggi darinya. Karena itu, Panji sering mengerjai Jani dengan menyembunyikan barangnya di lemari di atas kusen pintu dengan mudah. Kebenarannya, Jani berjalan di jalan yang benar. Di sebelah kiri, dan di pinggir juga. Dari arah depan, ada mobil yang berkecepatan sedang dan sepertinya tamu dari keluarga Laksana juga. Jani tak terlalu peduli sampai langkah kakinya terhenti sempurna saat mencium bau yang sangat dikenalnya. Itu parfum kesukaan Panji. Itu parfum yang selalu dipakai Panji bahkan itu yang Jani ingat saat berpisah di bandara waktu itu. Selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah menemukan seseorang dengan harum seperti itu. Dan sekarang, hari ini, detik ini, Jani mencium harum yang sangat dia rindukan. Dengan senyuman yang mengembang, Jani menoleh ke belakang. Senyumannya menguap melihat sepasang sejoli berjalan menuju gerbang depan kediaman Laksana. Untuk sejenak, Jani percaya kalau dirinya sebenarnya gila. Itu bukan Panji. Panji tidak mungkin menggandeng wanita lain, kan? Itu pasti bukan Panji. Hanya bermodal bau parfum tidak terlalu akurat juga. Jani menggeleng dan kembali melanjutkan langkahnya. Dia pasti terlalu lelah hari ini sampai berhalusinasi seperti itu. Baiklah, dia akan istirahat kalau bisa. Iya, kalau bisa. *** Musim panas belum berlalu, hari juga baru bertambah tiga hari semenjak Jani kembali membau seseorang dengan harum yang sama. Bahkan, setelah pesta itu, Jani ngotot ingin menginap di kamar Panji dan tentu saja diperbolehkan dengan senang hati oleh pemilik rumah. Tanpa ragu, Jani membuka lemari pakaian Panji. Dia tersenyum saat kembali mencium harum itu lagi. Harum yang sangat dia rindukan. Itu yang selalu Jani ingat saat Panji ada di dekatnya ataupun mendekapnya. Setelah mengambil kemeja berwarna hitam, Jani membawanya ke dalam ranjang dan memeluknya erat sambil meringkuk. Dia tidak membutuhkan apapun untuk saat ini. Dia hanya merindukan Panji. Kalau semua orang tetap menentang keinginannya yang tak pernah bosan untuk mengenang Panji, dia pasti yang akan jatuh lagi. Jatuh saat melihat keluarganya menangis pilu sedangkan dia tertawa dengan gilanya. Sebenarnya, tanpa mencium bau itu pun, Jani bisa melihat Panji di mana-mana. Dia bisa melihat Panji di manapun saat dia menginginkannya. Jani bisa menciptakan Panji dengan pikirannya sendiri. Seperti sekarang, dia tengah berbicara dengan seseorang yang seakan-akan berada di sampingnya padahal di sana tidak ada siapa-siapa selain sprei yang masih rapi karena belum ditiduri. “Aku kangen sama lagi masak, Nji?" Jani mengeluh, "kemarin aku tau ada orang yang punya parfum sama kayak kamu. Aku kira, kamu satu-satunya orang yang pakai parfum itu.” Kemudian, Jani mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut Panji dengan sayang. “Aku gila, ya?” Jani tersenyum melihatnya menggeleng. "Kenapa diam saja. Aku seperti bicara dengan angin.” Persis setelah mengatakan semua itu, tidak ada lagi bayangan Panji yang dapat Jani tangkap. Dia, memang berbicara dengan angin semu. Panji, tidak berada di sana. Dia menciptakan Panji dengan pikirannya sendiri. Dan itu, sangat menyakitkan. Jangan kira Jani akan baik-baik saja. Sudah dibilang dia sadar kalau dirinya itu sakit. Terkadang, dia masih minum pil antidepresan saat tidak bisa tidur. Dan akhirnya, dia berakhir dengan halusinasi sepanjang malam tanpa tertidur sama sekali. Karena apa, karena dia tidak ingin Panji menghilang. Karena Jani tahu, setelah dia membuka matanya setelah terpejam, Panji sudah pergi. Lelaki itu sudah tidak berada di sisinya. Yang menemani Jani hanya lah kekososngan belaka. Panji, lelaki itu memang tidak pernah kembali barang sekali.. Seperti ini? Tentu saja Jani sudah terbiasa. Dia sudah terbiasa berbicara dengan angin yang dia anggap Panji. Meski terlihat menyedihakn di depan orang lain, Jani senang bisa melihat Panji. Bahkan dalam suatu waktu, Jani rela menyakiti dirinya sendiri asalkan bisa melihat Panji lagi dan lagi. Seperti halnya saat dia mencoba bunuh diri, dia selalu saja melihat Panji menatap marah ke arahnya kemudian saat dia tersadar, Panji tidak pernah benar-benar berada di sana. Tidak ada yang Jani sesali. Dia bersyukur Tuhan membuatnya jatuh cinta pada Panji. Dia tahu, semua yang terjadi memang untuk yang terbaik. Dan mencintai Panji adalah hal terbaik dalam hidupnya. Lelaki itu mengajarkannya untuk menjadi lebih baik lagi. Bahkan sampai akhir, satu yang Jani sesali. Dia belum sampai mewujudkan keinginan Panji. Dulu, dulu sekali, Panji pernah berkata padanya kalau dia ingin memiliki kekasih yang berkerudung. Namun nyatanya, Jani tidak berkerudung. Kadang, Panji menyindir dengan halus kodrat wanita itu seharunya menutup aurat. Jani tahu, tapi dia belum siap. Dan Panji, lelaki itu tidak pernah memaksanya sedikitpun. Sampai Panji pergi sekalipun, Jani belum bisa mewujudkan keinginan lelaki itu. Jani percaya Tuhan sepenuhnya. Dia juga tahu betul kewajibannya, tapi tetap saja dia merasa berat. Ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya dan dia ingin mencari tahu apa itu. Sampai suara ketukan di jendela, membuat Jani tersadar dari lamunan panjangnya. Awalnya, Jani tidak terlalu peduli. Tapi karena frekuensi ketukan itu semakin jelas ditambah suara bising, Jani langsung melihat ke arah jendala dan berakhir memutar bola matanya malas ketika mendapati Andra memanjat dinding untuk sampai di luar jendela kamar Panji. “Mau ngapaian lagi, sih? Aku mau tidur.” kata Jani lebih dulu sebelum dimarahi. Andra tak merespon apa-apa. Dia memilih menunjuk langit yang tidak begitu cerah. “Langit.” katanya asal. “Iya tahu itu langit. Anak kecil juga tau kalau itu langit!” balas Jani sewot. Namun, Jani tetap mendongak untuk melihat ke atas sana. Andra tertawa hambar mendengar nada sinis dari lawan bicaranya. Dia nekat memanjat dinding memang ingin menemui Jani. Dia akan memberika petuah-petuah yang baru dia upgrade dari berbagi sumber dan semoga kali ini berhasil. “Kamu tahu siapa istri yang paling dicintai Rasulullah?” Kening Jani berkerut. “Saidatina Khadijah," jawabnya yakin. “Kenapa, kamu tau alasannya?” tanya Andra laho. Ksli ini, lelaki itu sudah berhasil duduk di tepi jendela. “Karena Beliau yang mendampingi Rasul di masa-masa sulit. Seseorang yang rela habis-habisan demi membantu menegakkan Islam pada zamannya.” Andra mengangguk, “pintar.” pujinya. “Tumben kamu tanya.” Jani sedikit duduk di sekat jendela, menatap langit yang tak pernah membosankan meski ditatap setiap hari. “Beliau adalah satu-satunya istri yang tidak pernah dimadu oleh Rasulullah. Dan perjuangan wanita hebat itu berhenti saat Allah meminta malaikat mencabut nyawanya.” Jani diam mencoba mencerna dan dia memang sudah menangkap maksud dari perkataan Andra. “Itu karena aku yang masih hidup, Ndra. Coba aja aku yang mati, aku rela lihat Panji bahagia dengan wanita lain.” Dan pada akhirnya, Andra selalu kalah saat mencoba menyadarkan Jani dari mimpi buruknya. Lelaki itu bukannya tidak mampu tapi Jani yang tidak mau. Jani terlalu suka menggenggam luka akan kepergian Panji yang masih terasa begitu menyakitkan hingga sekarang. Bahkan, sampai detik ini sekalipun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN