Hidup Jani memang begitu membosankan. Makan, tidur, bernapas, bekerja, sudah itu saja. Seperti pagi ini, seluruh keluarganya sedang sarapan di meja makan saat dia keluar kamar sudah rapi siap kerja.
“Kak, sarapan dulu. Makanan kesukaan kamu nih.”
Jani berjalan mendekat, dia tersenyum melihat cumi krispi dengan sambal matah. “Bawain bekal di dong Ma, tapi cuminya aja. Aku mau bagi sama Andra sama Nadia. Mereka kan juga suka tuh.”
“Iya, kamu sarapan aja dulu, nanti mama bungkusin.”
“Yang banyak.”
“Tsk, gue makan apa kalo lo bawa pergi semua?” Vivi, adik Jani bersungut tidak terima. Kakaknya itu selalu saja mendapatkan apa yang dia inginkan. Kasih sayang orang tua, teman-teman baik, semua Jani dapatkan. Selama ini, Vivi selalu saja mengalah. Kali ini, permintaannya sederhana kan, dia hanya ingin diberi sisa cumi krispi.
“Udah sih, Dek. Nanti mama buatin lagi. Itu biar dibawa Kakak pergi dulu, dia mau berangkat kerja juga.”
Entah karena baperan atau apa, Vivi langsung meninggalkan meja makan tanpa sarapan. Semua orang hanya diam. Mendadak, suasana menjadi lebih dari suram. Dan Jani sadar itu adalah kesalahannya.
“Udah sih, Ma. Kasih Vivi aja, besok-besok kan masih bisa bikin cumi krispi lagi. Kalau gitu aku pergi ke kantor dulu, ya. Assalamualaikum.” Pamit Jani langsung pergi begitu saja setelah mencium pipi papa dan mamanya yang mematung.
“Ma.” Tegur Pak Hadi yang melihat wajah nanar istrinya.
Bu Intan hanya tersenyum. “Papa mau nambah lagi?”
Pah Hadi menggeleng. “Mama temuin Vivi aja. Ini cuminya nggak jadi dibawa Jani pergi.”
Bu Intan hanya mengangguk dan bergegas menghampiri Vivi yang pergi ke kamarnya. Saat masuk ke dalam kamar putri keduanya, Bu Intan mengembuskan napas berat. Dia berjalan dan duduk di tepi ranjang.
“Masak gitu aja ngambek sih, Dek. Kan mama tadi bilang kalau bakal masakin lagi.”
Vivi yang sok sibuk dengan rak bukunya mulai panas. “Ya gitu aja terus. Belain aja Kakak terus. Aku mah apa, anak pungut kali.”
“Vivi!” tegur Bu Intan. Jujur, sedari kecil, baik Bu Intan maupun Pak Hadi tidak pernah memanjakan mereka, mungkin itu juga yang membuat mereka keras kepala. Kalau Jani keras kepala maka sama juga dengan Vivi, adiknya. Bahkan, bisa dibillang, Vivi yang paling keras kepala di rumah.
Saat Panji pergi, Vivi baru kelas satu SMP. Dia mengerti segalanya. Dia bahkan bisa dibilang trauma melihat yang Jani lakukan. Kakaknya itu hampir gila. Vivi, dia kadang takut di rumah saat dulu melihat Jani mulai tertawa dan berbicara sendiri. Dan sekarang, saat Jani sudah biasa kembali, Vivi malah kesal sendiri. Dia tidak suka saat semua orang hanya fokus pada Jani. Dia juga ingin diperhatikan. Saat ada apa-apa, orang tuanya hanya membicarakan Jani dan Jani terus. Vivi merasa tidak dianggap. Bahkan, Vivi pernah minggat ke rumah neneknya karena merasa tidak dibutuhkan. Dia seperti diasingkan di rumah sendiri.
Memang benar kalau kedua orang tuanya memenuhi semua kebutuhannya dalam hal materi. Namun, dalam hal kasih sayang, Vivi tak merasakan apa-apa. Ya itu, Vivi sampai berpikir kalau dia hanya anak yang dipungut dari pinggir jalan.
***
Untuk menyibukkan dirinya sendiri, Jani menghabiskan waktunya untuk mengerjakan semua pekerjaannya ynag belum selesai. Dia bahkan sampai melewatkan makan siangnya padahal tadi pagi belum sarapan. Dan lagi, kemarin, dia terakhir makan ya waktu makan siang dengan Andra hanya dengan bubur pula. Dia memang betah menahan lapar, tapi tubuhnya yang tidak kuat. Kalau Nadia yang seperti itu, pasti dia sudah pingsan lebih dulu. Anak itu tidak bisa lapar terlalu lama.
Menjadi seorang copywriter mengharuskan Jani harus memiliki kreativitas yang tinggi. Dia harus pintar membuat konsep untuk konten yang akan diangkat nantinya. Jani sudah bekerja di fly.id selama lima tahun. Dan Panji sendiri, dia adalah CEO Laksana. Waktu itu, Panji pergi juga karena ada dinas. Terkadang, Jani menyesali kenapa Panji harus menjadi CEO segala. Namun pada akhirnya, dia sadar. Panji memang berasal dari keluarga terpandang. Jadi, tentu saja Panji melanjutkan perusahaan papanya.
Jani sendiri, dia juga dari keluarga yang berkecukupan. Papanya seorang petinggi Luggo Development yang bergerak di bidang properti. Karena itu tidak terlalu jomplang hubungan keduanya. Meskipun beda status sosial pun, kedua belah pihak tidak peduli. Karena kebenarannya, yang menikah itu sepasang hati, bukan perpauan kekayaan. Untung, baik keluarga Jani maupun Panji, tidak pernah mempermasalahkan status sosial. Bagi mereka, kebahagiaan putra-putrinya yang terpenting.
Jani lantas berdiri karena jam dua siang ada rapat mengenai kelanjutan program yang diambil dari konsepnya. Karena yang bertanggung jawab, tentu saja Jani yang mempresentasikan konsepnya yang sudah jadi. Dengan percaya diri, Jani menjelaskan tentang konsep yang dia ambil untuk menarik para konsumen untuk membeli ataupun menggunakan produk dan jasa yang perusahaan mereka tawarkan.
Semuanya berjalan lancar saat Jani presentasi. Kemudian, disusul beberapa rapat lagi dengan jajaran tinggi fly.id karena ada masalah genting yang harus dibahas segera. Kalau ditunda besok, tidak bisa karena weekend. Jadi, diusahakan hari ini selesai tanpa melewatkan esensinya. Orang-orang terpelajar seperti mereka tentu saja paham. Banyaknya rapat yang harus dijalani sekalipun, semua orang dituntut untuk tepat sasaran dengan arti tidak mudah bingung saat menghadapi banyaknya klien. Jadi, mereka semua sudah terlatih bekerja dalam keadaan tertekan sekalipun.
Rapat sudah berkhir setengah jam yang lalu, dan Jani masih terdiam di kursinya. Dia menyangga kepalanya yang berat. Sampai sebuah tepukan di punggung, menyadarkan Jani. Dia menyunggingkan senyum kecil saat melihat Andra yang menghampirinya.
“Kenapa? Berantem sama Vivi?”
Jani tersenyum. “Kok tahu.” tebaknya.
Andra memang selalu bisa diandalkan. “Ya tau lah, yang bisa bikin kepala kamu pusing kan kalo lagi berantem sama si anak pungut itu.” katanya.
“Ndra, Vivi tuh adik kandung aku. Dia denger kamu ngomong gitu, nangis kejer dia. Kamu kan tau, dia ngefans berat sama kamu.”
Bukannya bangga, Andra malah tersenyum miring. “Nggak ada yang perlu dibanggain disukai adik kamu, Jan. Yang ada pengen aku getok kepalanya. Bisa-bisanya kurang ajar banget sama kamu.”
Jani tersenyum kecil. “Dia itu manis. Cuma keadaan aja yang buat dia gitu. Lagian, aku juga turut andil kenapa dia bisa jadi kayak gitu.” Sebelum melanjutkan perkataannya, Jani mengembuskan napas pelan. “Dia takut sama aku.”
“Jan-“
Jani menggeleng. “Aku nyusahin semua orang, Ndra. Mama sama Papa terlalu fokus ke aku sampai lupa kalau masih punya Vivi.”
Andra menyesal mulai membahas Vivi kalau tahu jadi seperti pembahasannya. Dia tahu hubungan Jani dan Vivi sangatlah buruk. Mereka bahkan seperti orang asing meskipun hidup satu atap. Kalau dari sudut pandang Andra yang notabenenya sahabat Jani, tentu saja dia tiadk bisa membenarkan perbuatan kurang ajar Vivi pada kakanya sendiri meskipun semua orang selalu melakukan pembelaan atas gadis itu.
“Kamu jangan kesel sama dia, nanti kamu malah suka.” kata Jani sambil terkekeh.
“Dih, mana ada aku suka sama anak bau kencur kayak dia. Mending, aku sama Nadia aja. Lagian, dia juga single.”
“Ya udah buruna tembak, nanti keduluan orang. Kamu kan tau, yang naksir Nadia di kantor ini banyak.”
Andra mendengkus pelan. Dia agak tidak suka saat membahas hal semacam ini. Namun sudah terlanjur, jadi mau tidak mau, Andra akan melanjutkannya.
“Kamu sendiri gimana?”
“Aku?” Jani menatap Andra lamat-lamat. Mungkin, dia salah dengar. Lima tahun ini, selalu saja Nadia yang mengingatkannya. Andra tidak pernah sekalipun membahas Panji. Dan ini, untuk pertama kalinya, Andra membahas Panji.
“Mau sampai kapan kamu nunggu orang berengsek itu?”
“Ndra-“
“Panji udah pergi, Jan. Sampai kapan kamu mau kayak gini. Kamu cantic, kamu baik, kamu berbakat, banyak lelaki yang suka sama kamu. Kamu bisa mencoba untuk membuka hati kamu.” Andra menggeleng pelan. “Nggak seharusnya kamu terus-terusan kayak gini. Kamu berhak dan pantas buat bahagia.”
Jani tidak tersinggung, dia hanya tersenyum seperti sebelum-belumnya. “Apa yang buat kamu bahas Panji, Ndra? Lima tahun ini, kamu nggak pernah ngomongin dia. Aku jadi takut sekarang.”
Andra menggeleng, mungkin dari luar, Jani masih terlihat biasa saja. Bahkan, Jani mengatakannya begitu tenang. Andra pikir, Jani akan menangis. Namun pikirannya salah. Jani tetap tidak menangis. Sebagai sahabat, Andra tentu saja ingin yang terbaik untuk Jani. Dia dan Nadia sudah melakukan yang terbaik untuk Jani. Tapi rasanya, tetap tidak ada perubahan meskipun sudah lima tahun berlalu. Entah pelet macam apa yang Panji gunakan sampai membuat Jani tidak bisa melupakannya seperti ini.
Dan untuk kesekian kalinya, Andra kalah. Dia tidak pernah berhasil membuat Jani mengubah pikirannya. “Kamu kelihatan kurang sehat.”
“Aku kan emang sakit, Ndra. Lupa, aku pernah masuk rumah sakit jiwa? Memangnya, kamu berharap apa lagi dari orang gila ini?”
Andra tidak mau bicara lebih jauh. Dia lantas berdiri dan meninggalkan Jani sendirian di ruang rapat. Seperti tadi, Jani kembali menyangga kepalanya yang berat, sesekali tersenyum saat mengingat Panji.
***
Kembali lagi, di sini lah Jani berada. Berdiri di antara ribuan orang yang datang dan pergi. Bagi Jani, bandara adalah tempat yang menenagkan baginya. Terserah mau orang menganggapnya berlebihan atau apa. Bagi Jani, dia merasa tenang bisa melihat pesawat yang ada di sana. Entah yang akan pergi ataupun yang datang. Dia seperti itu bukan tanpa alasan. Seperti ya, sedari awal dia percaya kalau Panji masih hidup. Jadi, kalau Panji kembali, Jani ingin dia adalah orang yang menyambut kedatangan Panji pertama kali.
Seperti sekarang, wanita itu berdiri menatap orang-orang yang turun dari pesawat sampai masuk ke dalam bandara dan bertemu dengan sanak keluarga atau dijemout supir pribadi. Harapan Jani tak pernah berhenti mengalir. Dia percaya, sangat percaya. Nanti, Panji pasti akan kembali. Entah mereka di pertemukan di bandara atau di tempat lainnya.
Jani sadar, harapannya itu muluk-muluk sekali. Namun, biarlah dia tetap memiliki harapan. Kalau harapannya saja dihancurkan, bagaimana bisa dia hidup lebih baik lagi? Dia baik-baik saja, sudah membuat semua orang bahagia meskipun sedih di waktu bersamaan.
Hampir satu jam Jani di sana dan enggan pergi juga. Kepalanya yang berat tak dia hiraukan sedari tadi. Dia hanya ingin melihat kedatangan dan kepergian orang di bandara. Seperti hari itu, hari di mana Panji peri dan membawa serta seluruh kebahagiannya.
Pada akhirnya, Jani tidak bisa menahan apa yang memang seharusnya terjadi. Kalau dia berpikir mentanya kuat, maka fisiknya yang lemah. Tubuhnya sudah tersiksa sejauh ini. Dan dia merasa tubuhnya melayang saat kegelapan yang bertahta atas dirinya. Jani bahkan berpikir kalau Panji sedang mengajaknya pergi.