Janii bertanya-tanya, seandainya dia melakukan apa yang diminta Panji dulu, apakah dirinya akan lebih baik atau malah lebih buruk, sekarang?
Tentu Jani ingat jelas bagaimana Panji tetap mengingatkannya tentang perasaan Andra, bahkan sampai di hari kepergiannya. Namun, apa boleh buat kalau Jani tetap bersih kukuh Andra tidak mencintainya. Atau bahkan, Jani akan terang-terangan mengatakan kalau Andra tidak boleh mencintainya.
Masalahnya jelas. Seingin apapun Jani berupaya, dia tidak bisa mencintai Andra dalam konteks arti cinta yang sesungguhnya pada lawan jenis. Ditambah, Jani tahu betul kalau Nadia menyukai Andra sedari dulu. Hanya saja selalu denial jika ditanyai. Padahal, turut sakit saat melihat Andra yang jomlo sampai sekarang didekati oleh perempuan lain.
Kalau ada yang bertanya apakah Jani pernah mencintai Andra, maka jawabannya adalah tidak. Jani tidak pernah mencintai Andra seperti dia mencintai Panji. Bersama Andra, Jani merasakan kenyamanan seorang kakak. Sedang bersama Panji, Jani merasakan kenyamanan bersama seorang lelaki yang bisa menjadi apa saja. Menjadi kakak, menjadi teman, menjadi sahabat, menjadi yang mendewasakan, Jani merasakan itu semua pada Panji.
Mungkin, karena memang dasarnya sudah cinta. Seburuk apapun, pasti terlihat paling baik di dunia. Tapi sungguh, ada hal yang Jani tidak suka bahkan nyaris Jani benci dari sosok Panji. Kekasihnya itu pelupa sekali.
Baiklah, tidak apa-apa kalau sebenarnya Panji pelupa. Semua orang melakukan itu. Tapi masalahnya di sini, Panji itu lupanya level ekstrem. Pernah sekali dia masak air sampai airnya habis dan pancinya gosong. Terus lagi, dia pernah lupa sebanyak tiga kali menaruh dompetnya. Satu kali kembali karena ada orang baik yang mau mengembalikannya. Duanya raib karena ya, mungkin ada yang lebih butuh. Jadi Panji ikhlaskan saja.
Namun tetap saja, mengurus KTP yang hilang di sana itu lho, Jani sampai mengomel dari Sabang sampai Merauke dan Panji tetap saja lupa.
Pernah sekali, Jani berinisiatif mengajak Panji ke dokter, memeriksakan kepala kekasihnya. Siapa tahu, ada gangguan. Siapa tahu, kan? Kan lebih baik mencegah daripada mengobati. Karena itu Jani sampai harus mendiami Panji agar mau diajak ke rumah sakit. Pada akhirnya, dia pasrah juga dimasukkan ke alat MRI. Dan tahu hasilnya? Panji baik-baik saja sodara-sodara sebangsa, setanah air. Dia tidak memiliki kelainan apapun. Memang lelaki itu saja yang pelupa.
Kala itu, dia bilang begini pada Jani.
“Apapun yang dikasih sama kita, apapun itu, harus disyukuri. Aku pelupa. Hikmahnya, aku sering lupa sama hal-hal yang menyakitkan, jadi aku bahagia. Tuhan punya rencana. Kamu aja yang nggak bisa baca, Jan. Mikirnya negatif mulu, kemarin kamu malah bilang aku kena kanker?”
Jika mengingat itu, Jani tertawa. Apalagi ekspresi wajah Panji. Seumur-umur, siang menjelang sore kala itu, di taman rumah sakit, Jani melihat Panji memutar bola matanya malas pertama kali di depan matanya. Dan itu, lucu sekali. Jani sempat meniru beberapa kali dan berakhir gagal total malah seperti orang melotot ke arah atas.
Ya, tidak semua kenangan itu buruk. Salahnya Jani, karena dia terlalu menutup mata dengan pintu-pintu kebahagiaan yang lain dengan dalil mengenang Panji. Padahal jelas-jelas, sebelum pergi dinas, kapanpun itu, yang sebelum-sebelumnya, ataupun kepergiannya yang terakhir, Panji selalu mengatakan hal yang sama pada Jani.
“Kepergian salah satu dari kita, itu bukan akhir dari dunia, sayang.”
Dulu, Jani sempat menganggap kalau Panji mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang tidak setia.
Maksudnya begini, Jani menganggap kalau Panji adalah sejenis manusia yang nantinya akan mudah mengikhlaskan, melupakan, dan kembali menemukan tambatan hati yang baru. Namun, Panji menyanggah pemikiran kekasihnya tersebut.
Panji kembali mengatakan kalau. “Orang yang diam, bukan berarti tidak bergerak.”
Dia berkali-kali menegaskan kalau jangan sekali-kali melihat seseorang dari luarnya saja. Dan Panji, dia adalah orang yang tidak pernah lelah mengingatkan Jani akan hal tersebut. Dasarnya memang Jani yang keras kepala, perempuan itu terkadang suka men-judge sesuka hatinya. Namun, setelah Panji pergi, dia baru sadar semua perkataan penting yang sering Panji lontarkan kepadanya. Dan sayangnya, Jani baru sadar saat Panji sudah tidak di sisinya lagi. How sad?
Entah sudah hari ke berapa, Andra mendiaminya seperti abg labil. Dan Jani tetap sama pada pendiriannya. Andra tidak mencintainya. Dia tidak suka kerap kali ada orang yang mengatakan Andra suka kamu, Andra sayang kamu, yang dalam artian lebih dari sahabat.
Kebenarannya, Jani mau bersahabat baik dengan Andra karena anaknya tidak bikin repot. Sudah begitu, mereka sudah dekat sedari kecil. Jadi, sampai sebesar ini, di usia matang yang katanya emak-emak lambe turah sudah cukup matang untuk menikah, mereka belum juga menikah-menikah. Kalau kata Andra, belum ada yang pas. Kalau kata Nadia, yang diinginkan tidak peka. Dan kalau kata Panji, tentu saja kekasihnya belum kembali.
Baiklah, bahas saja permasalahan ini lain kali. Mereka akan sensitif kalau sudah membahas ke pernikahan-pernikahan itu.
Hingga, lamunan Jani terhenti ketika Nadia bertepuk tangan tepat di depan wajahnya. “Heh ngapain? Ngalamun jorok, ya?!”
Jani yang tersandar langsung mencibir sambil memicingkan matanya. Kemudian, dia pusatkan perhatiannya pada Nadia seorang.
“Omong-omong, Mak! Kamu kenapa jadi ikut-ikutan sensi sama aku? Padahal, aku nggak ngapa-ngapain. Tapi didiemin kemarin-kemarin. Andra juga gitu, aku didiemin masak.”
Sebagai respon yang tak terlalu berarti, Nadia hanya mengangkat bahunya tak acuh. “Tahu, capek kali. Orang yang diharapakan tidak peka-peka.”
Jani langsung menatap Nadia serius saat ini. “Kamu ngomong apa, sih? Kamu nyindir aku, kan? Nad? Berapa kali aku bilang, aku nggak suka Andra dan Andra nggak suka aku. Kamu tahu sendiri aku gila sama abang sepupu kamu.” Selesai mengatakan itu, Jani mengomel sesuka hatinya meski Nadia masih di sana, mendengar semua perkataannya.
“Andra cinta sama kamu, Jan. Dia bener tulus sayang sama kamu.” kata Nadia serius, dia sampai harus menatap Jani dalam demi membuat Jani percaya.
Dan Jani, sudah dibilang dia tidak suka saat Andra dibilang mencintainya. Dia selalu tidak suka apa-apa yang mengusik hatinya. Dan kali ini, Jani benar-benar terusik.
Baiklah, Jani memang selalu membagi suka dukanya dengan Andra. Namun, itu bukan berarti kalau Andra bisa seenaknya mencoba menggantikan posisi Panji dihatinya. Bahkan, lelaki itu tahu betul kalau itu tidak akan terjadi. Tapi kenapa hal semacam ini tetap menjadi perdebatan di antara ke tiganya.
“Kamu tahu Nad, aku cinta mata sama Panji. Aku nggak suka tiap kali ada yang bilang cinta. Jangan mengasihani aku seperti ini.”
“Dia cinta, Jan! Bukan kasihan!” Nadia mempertegas.
“Dan kamu?” Jani menatap Nadia tak kalah dalam. “Kamu mencintainya.” Katanya telak.
Nadia hanya mengembuskan napas kasar. “Tapi dia cintanya sama kamu. Aku masih bisa jatuh cinta sama yang lain.”
“Nadia! Kamu cinta sama Andra nggak setahun, dua tahun! Tapi dari kecil. Dari kita suka main sepeda-sepedaan. Andra pantas mendapatkan perempuan baik seperti kamu, yang mampu membalas cintanya. Aku nggak bisa.” Jani frustasi sendiri. Seolah-olah, dia merasa kalau dirinya yang paling bersalah di permasalahkan ini.
Janu bisa melihat dengan jelas raut sendu di wajah Nadia meski bibirnya tersenyum. “Sayangnya yang dia mau itu kamu, Jan. Bukan aku. Andra cintanya sama kamu.”
Kemudian, hening seolah menyapa. Jani sudah merasakan jantungnya berpacu cepat sejak melihat Andra berdiri di depan ruangannya, dengan tatapan datar tak percaya. Dan Jani berani bertaruh, Andra mendengar segalanya. Dia mendengar semuanya.
“Ndra?”
Mendengar lirihan Jani sambil menatap depan, Nadia ikut menoleh dan terkejut bukan main melihat Andra berdiri di sana dengan tatapan dingin.
Mereka sepakat saling diam, sampai Andra sempat mengatakan sesuatu sebelum pergi.
“Laki-laki ini tidak butuh dikasihani.” Katanya terlihat betulan kecewa.
IniJani tidak mungkin mengejar Andra yang pergi. Dan saat melihat ke arah Nadia lagi, perempuan itu turut meninggalkannya juga, masih sempat-sempatnya menyindir. “Selamat, Jan. Karena keegoisan kamu, persahabatan kita hancur sekarang.”
“Hancur apanya? Aku tidak melakukan apapun! Nad! Nadia!”
Jani meremas rambutnya frustasi saat Nadia pergi menyusul Andra. Dan saat itu Jani sadar, dirinya memang seegois itu.
***
Tentu Nadia mengejar Andra. Dia ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi atau lebih tepatnya kebenaran yang ada.
“Ndra tunggu!” kata Nadia memohon. Dia sampai repot menahan tangan Andra agar lelaki itu mau berhenti.
Dan benar saja, dia mau berhenti meski tetap memasang wajah datar, masam yang tak enak dipandang.
“Aku bisa jelasin.”
Andra malah tertawa melihat raut wajah Nadia yang terlihat khawatir. “Jelasin apa, Nad? Kita memang sahabat, tapi nggak sedekat itu dalam urusan hati.”
Nadia langsung mencelos mendengar nada bicara Andra yang terlihat muak kepadanya.
“Kamu pikir aku tidak laku sampai kamu mengemis di depan Jani atas namaku? Kamu tahu kalau Jani tidak suka! Kenapa tetap dilakukan?!”
Nadia masih diam, ini kali pertama Andra marah kepadanya yang benar-benar marah. Padahal, Nadia tidak pernah sedikitpun berniat jahat yang merugikan Andra. Alasannya sudah jelas, Nadia mencintai Andra. Dia bahkan rela melihatnya bersama orang lain asal bahagia. Terdengar menjijikkan, ya? Biarkan saja. Nadia merasa lebih baik saat Andra baik-baik saja meski lelaki itu tidak pernah melihat ke arahnya sekalipun.
“Jangan coba-coba mencintaiku lagi. Cintamu hanya akan menjadi penghalang hubunganku dengan Jani.”
Andra sudah berbalik saat Nadia mengatakan kalimat ini. “Kenapa nggak minta sama, Tuhan? Dia yang buat aku jatuh cinta sama kamu. Kenapa aku yang disalahkan?” lirihnya tak paham.
“Kamu nggak berhak ngelarang aku di saat kamu sendiri nggak pernah lihat ke arahku, Ndra. Kamu nggak punya hak sama sekali!” Nadia menatap punggung Andra nanar. Benar kecewa dengan lelaki di depannya. Dia merasa direndahkan, merasa tidak diinginkan. Seharusnya, kalau Andra tidak suka, cukup diam. Tidak perlu mengatakan hal menyakitkan itu yang jelas-jelas dia tahu kalau Nadia menyukainya sedari dulu. Karena itu Andra selalu menjaga jarak dengan Nadia selama ini. Dia merasa kalau Nadia lah penghalang antara dirinya dengan Jani. Padahal, Jani sudah berkali-kali bahkan ratusan kali mempertegas kalau dirinya memang hanya menginginkan Panji, bukan yang lain, termasuk Andra sekalipun.
Andra yang terlalu buta sampai menyia-nyiakan Nadia yang baik hati. Perempuan itu selalu ada untuknya. Selalu mendukung apapun yang Andra lakukan. Dia juga tidak pernah mengeluhkan yang tidak-tidak. Yang ada, Nadia selalu bilang kalau Andra lelaki yang baik dan bla bla bla.
Nadia tidak paham, dan tentu saja dia kecewa. Masalahnya, cinta itu fitrah yang patut disyukuri. Kenapa malah Andra dengan kejamnya bilang kalau dia tidak boleh mencintai dirinya.
Ia“Kamu boleh, Ndra, nggak cinta sama aku. Tapi kamu nggak punya hak buat minta aku nggak jatuh cinta sama kamu.”
Sekiranya itu kalimat terakhir yang Nadia katakan sebelum benar-benar pergi mendahului Andra yang masih terdiam kaku di tempat semula. Sedangkan Jani yang mendengar, hanya bisa menatap sendu kekacauan di depannya.
“Lihat, Nji. Gara-gara aku, semuanya hancur. Apa karena aku juga kamu pergi?”
***
Yang Jani tahu, dia malas pulang. Jadi, dia pergi ke taman sambil membeli cimol, memakannya sendirian di bangku taman, sesekali menatap anak kecil yang berlarian ke sana ke mari.
Rautnya yang datar, tak berekspresi apa-apa. Yang ada, dia malah jadi ditakuti anak-anak yang sedang bermain karena wajahnya tidak bersahabat.
Sudah jelas Nadia mendiaminya. Andra tidak usah ditanya, Jani tidak peduli. Lama-lama, dia malah tidak nyaman kalau begini terus-menerus.
Maksudnya, sedari dulu mereka bersahabat dan tiba-tiba muncul istilah cinta. Ini bukan lagi masalah kecil, tapi masalah besar.
Jani percaya diri kalau dirinya itu cantik dan berharga. Dia pantas untuk dicintai. Tapi, bukan berarti dia bangga saat sahabatnya sendiri jatuh cinta padanya.
Kalau dengan Panji, itu tentu persoalan yang berbeda. Mereka saling mencintai. Dan Panji berani mengatakan yang sejujurnya, tanpa takut persahabatan itu hancur. Karena Panji sadar, memang kodratnya wanita dikejar, bukan mengejar. Karena itu dia jujur dan berakhir lah dia bersama dengan Panji.
Sedang dalam kasus Andra, lelaki itu memilih untuk mencintai dalam diam. Jani tidak tidak peka dan sering pula pura-pura tidak tahu walaupun sebenarnya dia tahu, langsung masa bodoh saja. Dia tidak terlalu memikirkan cinta yang katanya indah itu.
Dia saja masih bingung sampai sekarang, kenapa malah dirinya yang diami? Jani merasa kalau dia dijadikan korban di sini. Lebih tepatnya, dia korban ketidakberanian Andra. Harusnya lelaki itu menyelesaikan segala percintaan rumit ini saat ada Panji agar selesai dengan baik. Kalau begini, Jani malah yang didiami. Padahal, dia tidak meminta Andra untuk mencintainya. Dia juga tidak meminta Nadia berhenti untuk mencintai Andra. Karena Jani sadar, cinta itu datang seperti air yang mengalir, begitu lembut, memabukkan dan tak bisa dihindari apalagi ditunda-tunda.
Pokoknya Andra yang salah di sini. Pertama, karena Andra tidak jujur sedari awal ya meskipun jujur hasilnya tetap sia-sia. Tapi, kan, sudah berusaha?
Kedua, karena dia lelaki. Lelaki itu selalu salah. Ya itu buktinya Andra. Dia salah. Titik, Jani tidak mau tahu.
Saking fokusnya memikirkan cinta segi ruwet dalam otaknya, Jani mengernyit melihat Vivi d**a cantik ke arahnya. Jani yang kaget, langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
“Kak Jini!!!”
Baiklah, suara cempreng itu, Jani tidak bermimpi, itu memang adiknya yang beberapa tahun ini begitu sangat membencinya dan sekarang, dengan tiba-tiba, dia tersenyum lebar sambil menyapanya.
Dan tunggu, Oh Tuhan, dia tidak salah lihat, kan? Lelaki yang diapit lengannya oleh Vivi, lelaki itu, dia?
Janu sampai menepuk keras keningnya, mencoba mengembalikan kewarasan yang sedari di kantor tadi ingin hilang.
“Kenapa bisa di sini?” tanyanya pertama kali. “Dan kenapa bisa sama dia?”
Vivi yang sudah berhenti di depan Jani hanya cengengesan. Menampilkan senyum yang begitu Jani rindukan beberapa tahun terakhir ini.
Jani bahkan tidak ingat, terakhir kapan Vivi bisa tertawa selebar itu. Dia nyaris berkata kasar terus-menerus beberapa tahun terakhir ini. Jani bahkan meyakini kalau Vivi bukanlah adiknya lagi. Gadis itu sangat membencinya. Seakan-akan, Jani adalah sumber masalaj yang mebuat hidup semua orang jadi menderita. Ya, meskipun memang itu kenyataannya. Namun, Jani terlalu sulit untuk menerimanya.
Untuk sesaat, Jani merasa kalau semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali seperti sedia kala. Yang Jani yakini, dia akan bahagia. Dan itu yang akan terjadi. Mereka semua akan bahagia.
Detik itu juga, Jani balas tersenyum. Senyum yang mana, dulu pernah tenggelam bersama kabarnya Panji yang pergi.
Seandainya mengembalikan Jani yang dulu semudah itu. Pasti sudah dilakukan semua orang sedari dulu. Bagi mereka kebahagiaan dan kesembuhan Jani yang utama. Meski terkadang, Jani tetap keras kepala walau sudah diingatkan berkali-kali kalau kekasihnya telah tiada.
"Aku habis diajak jalan Bang Panji. Dia sudah pulang tahu! Kakak jangan suka main darah!"
Jani melempar tatapannya pada Dafa yang menatapnya seolah ingin tahu. Dan sebagai jawaban, Jani hanya tersenyum tipis. Senyum yang bahkan, Dafa tidak mampu untuk memandangnya. Karena, dia mendadak tidak bisa melihat apa-apa kecuali cahaya putih menyilaukan mata.