Seperti yang Jani janjikan pada Nadia waktu itu, di sinilah mereka sekarang. Di ballroom hotel Ormord yang luasnya seperti lapangan sepak bola.
Jani sendiri yakin kalau dirinya seperti orang hilang sekarang. Nadia sudah melipir entah ke mana dan Andra hilang juga saat ditarik salah satu koleganya.
Mengembuskan napas berat, Jani hanya bisa terdiam di sudut ruangan seperti orang tidak berguna dari banyaknya orang yang ada di sana. Keputusannya sedari awal memang salah. Seharusnya, dia tidak perlu ikut kemari. Nadia dan Andra juga berakhir meninggalkannya. Baru saja ingin keluar dari ballroom itu, langkah Jani terhenti melihat Andra dengan senyum menjengkelkan datang menghampirinya.
“Muka kamu kusut bener, deh.” Jani hanya cemberut dan tidak jadi keluar dari sana. Yang ada, dia malah berbalik menatap panggung yang mulai ramai diisi beberapa orang.
Andra tak mengambil hati ekspresi Jani. Dia malah merangkul bahu Jani yang terbuka. Iya, Jani mengenakan dress panjang dengan lengan kecil yang menyampir di pundahnya.
“Jangan pegang-pegang!”
Andra tertawa saat Jani malah menjauh.
Perempuan itu tidak sadar saat banyak mata keranjang yang menatap ke arahnya. “Jangan jauh-jauh kalau nggak mau digangguin p****************g di sini.”
Jani menoleh, menatap Andra dengan mata yang memicing. “Kamu kali yang mata keranjang.”
Sebagai respon, Andra hanya mengangkat bahunya tak acuh dan tersenyum tipis sampai Jani tidak bisa melihatnya.
Tentu, Jani berjalan menjauh dari Andra, mencari spot tersendiri untuk menghindar dari semua orang. Biar saja mereka pergi. Toh, dari awal Jani memang tidak ingin pergi bersama mereka. Dia hanya terpaksa. Ditambah paksaan Mas Andi yang memintanya secara khusus karena malam ini bisa dibilang hari terakhir pertemuan dengan sang kepala divisi. Mulai besok, Mas Andi tidak akan menginjakkan kaki di fly.id lagi kecuali ada penggilan darurat yang mengharuskan Mas Andi datang lagi. Karena bagaimana pun, Mas Andi masih memegang janggung jawab, apalagi kekosongan kepala divisi saat ini.
“Jan, siap-siap diangkat jadi kepala divisi.” kata Mas And julid.
Jani mencebikkan bibirnya, kesal. “Apaan deh, enggak ya.”
“Aslinya seneng dia mah, sok jaim aja.” Andra menimpali.
Nadia ikutan angkat bicara. “Kalo gak mau, buat aku aja gimana?”
Baik Mas Andi, Andra dan Jani hanya meringis pelan, seolah meratapi hal yang buruk kalau sampai Nadia yang jadi kepala divisi setelah Mas Andi pergi. Nadia yang sadar ditatap meremehkan, hanya mendengkus kesal dan mencak-mencak sendiri. “Mentang-mentang aku nggak ada gandengannya, dinistain lagi.”
“Gandengan apaan? Kamu ke sini juga sama kita, Nad.” Jani menambahi.
Nadia langsung melihat ke arah Jani. “Iya, aku jadi obat nyamuk kalian. Mas Andi sama Mbak Yuli, kamu sama Andra, aku sama setan!”
Dan benar saja. Mau tak mau, semua orang tertawa. Harusnya, ada Mbak Tanti agar kumpul kali ini lebih ramai. Namun, sementara ini sudah lebih dari cukup. Mas Andi sampai bela-bela meningalkan Mbak Yuli dengan Andra demi berbicara secara empat mata dengan Jani. Ya…apa lagi kalau bukan tentang kepala divisi yang baru.
"Lumayan loh, Jan. Keep dulu aja, masalah ada kandidat yang lain, yang penting kan kamu udah accept.”
“Aku udah nyaman sama temen-temen, Mas. Aku nggak mau naik jabatan.”
Mas Andi bingung mendengar penuturan Jani. “Lhah kenapa? Kan masih sekantor itu. Mau kamu muter-muter kayak gangsingan juga tiap hari ketemu sama mereka-mereka aja.”
Baiklah, Jani memang harus menjelaskan. “Mas tahu kan, alasan aku kerja yang sebenernya?”
Mas Andi diam, tak repot menjawab. Iya dia tahu. Dia tahu Jani bekerja hanya untuk mengalihkan perhatiannya. Hanya untuk mencari kesibukan sesuai dengan bakat dan minatnya. Selain itu, Mas Andra juga tahu sekilas tentang percintaan Jani yang berakhir mengenaskan.
Namun tetap saja, Mas Andi merasa Jani kelewatan kalau sampai melewatkan hal sebagus ini.
“Kesempatan nggak selalu datang dua kali, Jan. Bisa jadi, ini kesempatan terakhir kamu buat buktiin ke atasan kalau kamu mampu dan lebih dari Mas. Mas aja yakin kamu bisa jadi manajer yang lebih baik. Kamu pintar, cerdas, kreatif lagi.”
Jani menunduk sejenak, menatap lantai yang tidak ada menarik-menariknya sama sekali.
"Aku nggak ngejar jabatan sumpah, aku malah takut kalau naik malah nggak bisa mikul tanggung jawab yang dikasih ke aku.”
Mas Andi mengembuskan napas berat, dia tidak akan memaksa Jani. Perempuan itu masih bekerja saja dia sudah bersyukur. Jadi, Mas Andi iya-iya saja saat Jani tetap kuekueh tidak mau dipilih sebagai kandidat yang baru.
***
Waktu bergulir begitu cepat sampai Jani pegal sendiri karena berdiri sedari tadi. Pesta orang kaya mah beda, apa-apa selalu berdiri, padahal kan enak duduk, tidak capek. Tidak kasihan dengan peremuan-perempuan yang sudah dandan cantik apa, capek pake heels berdiri sedari tadi.
Membosankan, sekiranya itu yang Jani rasakan sekarang. Dan syukur beribu syukur, Andra mau dia paksa untuk berdiri berdampingan dengannya karena benar, ada beberapa lelaki yang mengajak Jani berkenalan. Kalau Andra tiak di sampingnya sekarang, mungkin sudah banyak yang antre untuk meminta nomor telefon Jani. Andra, lelaki itu memang penyelamatnya. Jani akui itu.
Namun, Andra membenci fakta barusan. Dan mungkin, memang seperti ini yang Tuhan kehendaki sedari dulu.
Semua mata tertuju ke arah panggung di mana, ada MC aka Master of Ceremony meminta perhatian semua orang yang berada di ballroom itu. Dan untungnya lagi, ballroom seluas lapangan sepak bola ini memudahkan semua orang untuk bisa melihat pusat panggung karena saking luas tempatnya.
Untuk sejenak, Jani membisu melihat direktur utama dari Ormrod tengah berdiri di panggung sana dengan wanita baruh baya yang Jani yakini adalah istrinya. Ini pertama kalinya Jani melihat mereka. Salahkan saja dirinya yang paling anti diajak ke pesta. Nolep macam dia mah sulit dibujuknya.
Jani tak menangkap apa yang pak direktur bicarakan. Namun yang pasti, jantungnya bergemuruh tak tenang melihat Dafa yang ternyata tak jauh dari tempatnya, (mereka masih berada di barisan terdepan dekat panggung) naik ke atas panggung dan tersenyum tanpa beban. Dia berpelukan erat dengan Pak Kana.
Andra yang berdiri di samping Jani sedari tadi hanya mengamati dalam diam. Dia juga tidak tahu kalau akan seperti ini. Kalau tahu, dia juga tidak akan mau datang ke pesta dan memilih mentraktir Mas Andi beserta kawan-kawan yang lain asalkan Jani tidak melihat Dafa lagi.
Bukan apa-apa, pasalnya, hawa hari ini terasa begitu suram dan Andra belum bisa membaca apa yang akan terjadi. Tiga tahun di fly.id, baru sekarang Jani menghadiri pesta resmi dari undangan kantor dan untuk pertama kali ini pula dia menyesal menghadiri suatu pesta. Pasalnya, ini bukan sekedar pesta orang kaya untuk menghabiskan uang tapi sekaligus mengabarkan berita gembira yang Jani rasa, dia tidak perlu dan sangat amat tidak perlu mendengarnya. Kalau boleh meminta, Jani ingin kemampuan mendengarnya hilang sejenak saat mendengar grasak-grusuk di depan sana.
“Saya juga ingin mengabarkan kabar bahagia. Anak saya, Dafa Arkana akan segera menikah dengan putri dari sahabat saya sendiri. Rania Putri Hutomo.”
Sorak-sorai langsung memenuhi ballroom, berbanding dengan Jani yang mendadak sunyi. Setelah kalimat itu, dia seperti tidak mendengar apa-apa. Yang Jani lihat hanya bayangan acak Panji yang tersenyum menggoda ke arahnya.
Dan jika ditilik lebih, Jani hampir limbung kalau Andra tidak menahan pinggangnya.
“Ndra.” Andra terpaku saat Jani berbalik dan menyembunyikan wajah di dadanya. Tubuh perempuan di depannya ini bergetar hebat tapi tak terdengar isakan sama sekali.
“Jan.”
"Tolong.” jeritnya tertahan.
Kepalanya menggeleng kecil seolah mengusir beban bertahun-tahun lamanya.
“Dia bukan Panji.” kata Andra. “Kita pulang, ya.” Andra sudah berbalik sambil menggenggam tangan Jani. Namun, Jani tetap diam saat Andra berusaha membawanya pergi.
Jujur, Andra benci berada di posisi seperti ini. Dia ingin memaki, tidak mungkin dia memarahi Jani dalam keadaan seperti ini. Apa sebegitu sakitnya patah hati? Hah, Andra juga tahu rasanya. Lupakan saja. Baiklah, Andra kembali ke sisi Jani dan menatap perempuan itu lekat-lekat. Dia tidak akan meninggalkannya. “Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Jan. Bukan tanggung jawab kamu untuk nggak sedih sekarang.”
Jani menggeleng, meyakinkan dirinya sendiri beserta lelaki yang ada di depannya sekarang. “Aku mau uji nyali.” Katanya.
“Jan! Yang bener aja!” desis Andra tajam. Apa maksud perkataan perempuan di sampingnya ini coba? Apa patah hati membuatnya kehilangan akal berkali-kali. “Kamu nggak akan dapat apa-apa. Dia bukan Panji!”
Jani menoleh, menatap Andra dalam. Matanya yang memerah menunjukkan rasa sakit yang perempuan itu emban sekarang.
“Kenapa jatuh cinta sama Panji harus sesakit ini, Ndra? Dia dimana?”
Andra menatap Jani nanar. Apa iya dia harus mengingatkan Jani setiap jam, setiap waktu, kalau pria yang dia tunggu kepulangannya sudah kembali ke pelukan Tuhan.
“Pulang, ya? Ayo kita pulang.”
Andra jujur tak tahu harus bagaimana lagi. Dia menggenggam tangan Jani erat, berharap perempuan itu mau menurut kepadanya untuk kali ini saja.
Pupus sudah. Bahu Andra merosot saat Jani tersenyum ke arahnya. “Aku nggak akan pulang sebelum acaranya selesai.”
Bersamaan dengan Jani yang melepaskan diri dan kembali melihat ke arah depan, bersamaan itu pula sosok Dafa ini kebetulan melihat ke arahnya.
Jani bisa melihat tatapan datar yang Dafa berikan. Tapi, dia membalasnya ramah dengan senyuman manis. Senyuman yang biasanya dia berikan kepada Panji. Dan benar saja, melihat Jani tersenyum ke arahnya seperti itu, Dafa berpaling kembali. Dia tidak punya waktu untuk meladeni orang tak penting macam perempuan yang baru didapatinya tadi.
***
Jani sengaja pergi saat Andra kembali setelah pamit ke belakang sebentar. Dia duduk di gazebo dan menatap langit dalam diam. Handphonenya juga sengaja dia matikan. Acara di dalam juga belum selesai. Memang Jani saja yang ingin melarikan diri. Di dalam sana bukanlah tempatnya. Tidak akan ada yang menerimanya di sana kecuali sahabat dan teman-teman kantor yang memang sudah mengenalnya sejak dulu.
Hingga, asap rokok membuat Jani sesak. Dia menekan dadanya berkali-kali, mencoba bernapas layaknya orang normal seperti biasa, tapi gagal. Namun, perempuan itu mencobanya sekali lagi dan berakhir gagal lagi.
“Tolong…” lirihnya. Orang yang merokok ini baru sadar saat ada orang lain di sayap kiri. Tanpa pikir panjang, dia buru-buru membuang dan menginjak puntung rokoknya sampai padam baru menghampiri perempuan yang terlihat kesusahan untuk bernapas.
“You…you okay?” tanyanya memastikan.
Jani memejamkan matanya dalam-dalam dengan d**a membusung. Dia tidak sadar sudah mencengkeram tangan lawan bicaranya erat-erat. “I couldn’t breathe.” lirihnya hampir tumbang.
Pria yang memegangi Jani, yang tak lain adalah sosok Dafa ini bingung harus melakukan apa.
Dia hampir membopong tubuh Jani kalau saja tidak mendengar pekikan tajam dan sedetik kemudian tubuhnya terangkat terdorong kasar
“Woi! Lu apain temen gue?!” Andra jongkok, kemudian membuka tas Jani yang terjatuh di rerumputan dan mengambil inhaler dari sana. Kemudian, dia membantu Jani untuk menggunakannya.
“Napas,” kata Andra tercekat. Dia mengusap punggung Jani sangat dingin. Hingga, saat perempuan itu kembali menemukan napasnya, dia melepas inhaler itu dan mencoba bernapas dengan paru-parunya sendiri. “Ndra?” lirihnya dengan mata terpejam.
"I’m here.” Bisik Andra sambil menguatkan genggamannya pada tangan Jani.
Jani membuka matanya, kemudian tidak tahu kenapa malah menangis pilu di depan Andra. “Aku mau pulang. Aku mau ketemu Panji.” lirihnya.
Andra mengangguk, dia tarik tubuh ringkih perempuan itu dalam dekapannya. Kemudian, mengusap punggungnya yang bergetar pelan. “Nggak papa.” Bisiknya. “Ayo kita pulang.”
Dengan bantuan penuh Andra, Jani bangkit. Dia bahkan tak menganggap Dafa ada meski pria itu berdiri seperti patung di sana. Dafa sendiri masih diam. Sampai kesadarannya berhasil dia dapatkan saat ada perempuan cantik yang menepuk lengannya pelan. “Daf, what’s wrong?”
Perempuan yang tak lain adalah Rania ini langsung menatap arah di mana ada sosok perempuan yang tengah dipapah oleh sosok laki-laki.
"Siapa?” tanyanya lagi.
Dafa mengusap wajahnya kasar, “orang asing.” katanya. Dan setelah mengatakan itu, dia pergi lebih dulu meninggalkan Rania yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Karena sudah larut juga, Rania bergegas menyusul Dafa ke dalam dan tak terlalu mengambil hati perlakukan Dafa yang mendadak dingin kepadanya. Ternyata, Dafa memutuskan untuk berdiam diri di meja bar dengan minuman yang dia biarkan di depannya.
Pikirannya masih memutar kejadian tadi.
Bagaimana tubuh dingin itu meminta bantuan padanya. Padahal, jelas-jelas dia yang membuat perempuan itu sakit. Dafa mengusap wajahnya kasar sekali lagi. Niat hati ingin merokok dan mencairkan sesuatu dalam benaknya, malah dia berakhir membuat ulah dan orang lain menjadi korbannya.
Harusnya, dia merokok lebih jauh lagi. Tapi sungguh, dia benar-benar tidak sengaja tadi. Kalau tahu di sekitarnya tadi ada orang yang punya asma, Dafa lebih memilih menghirup asap mematikan itu seorang diri. Dia tidak akan mengajak orang lain untuk ikut mati bersamanya.
“Daf?” Dafa meringis pelan saat bahunya di tepuk. Dia tahu Rania akan menyusulnya ke sini. Karena itu, dia langsung menarik tangan Rania ke depan dan memeluk perut wanita itu erat.
"Kenapa? Ada masalah?” tanya Rania lemah lembut. Dia menyugar surai hitam legam milik kekasihnya penuh sayang.
“I am sorry.” lirih lelaki itu pelan.
“Hm?” Rania menyerngit bingung. “Why you apologize to me? You didn't make a mistake.”
“I did.” Kata Dafa.
Tak mau semakin merasa bersalah karena membela dirinya sendiri. Rania langsung menarik kepala Dafa dan meminta perhatiannya. "Kamu nggak enak badan, hm? Kening kamu panas. Kita balik ke kamar ya, aku temani sampai tertidur.”
Mau tak mau, Dafa tersenyum. Dia bergegas bangkit dan berjalan berdampingan dengan memeluk pinggang kekasihnya itu erat. Seolah-olah, memang Rania perempuan yang paling dia cintai dan tidak akan pernah dia tinggalkan bagaimana pun keadaannya.
Sampai kamar yang memang sengaja dipesan untuk berisitirahat, Dafa memilih tiduran berbantalkan paha Rania di sofa. Dia selalu nyaman saat tertidur seperti ini. Ah salah, dia selalu nyaman saat ada yang mengusap kepalanya ketika lelah dan ingin tidur tapi tak kunjung bisa tertidur.
Beberapa saat berlalu, mereka seolah sepakat untuk diam. Rania menatap satu titik hitam di TV Plasma yang ada di depannya sekarang, dengan tangan yang masih setia mengusap kepala Dafa pelan. Hingga, gumaman pelan yang Dafa ciptakan sukses membuat perhatian Rania kembali kepadanya.
"Ran kenapa?" tanyanya. Tangan kanannya yang tadi tergelak di pinggir sofa langsung terangkat untuk mengusap sisi wajah Rania.
"Kenapa bangun lagi?" Rania merutuk karena Dafa masih sempat-sempatnya terbangun. Padahal tadi, Dafa sudah tidur betulan. Perempuan itu tahu saat kekasihnya yang dalam pangkuannya ini tertidur betulan atau hanya sekadar memejamkan mata.
Ekspresi Dafa tetap dingin. Namun, dia sedikit mengangkat kepalanya untuk mengecup singkat pipi Rania.
"Terima kasih sudah hadir di hidupku,"
"Ya...ya, kamu harus membayar mahal," Rania tertawa, beralih mengusap surai hitam legam milik Dafa.
"Hm, aku pasti akan membayarnya."
"Dengan apa?"
Pertama-tama, Dafa menatap Rania dalam. Sampai, seulas senyuman tipis terbit di wajahnya yang rupawan. "Marry me, Rania."