BAB 4. Rindu yang Meluap Tiba-tiba

1722 Kata
Setelah ciuman kami yang tidak sengaja, dia membuka pintu dan terdengar berbicara cukup lama dengan seorang wanita yang aku yakin sekali itu Sarah. Sementara aku sendiri masih duduk sambil meringkuk di pinggiran meja besar miliknya. Pantatku sakit dan kakiku sakit terkena kursi. Rasanya ingin menangis tapi aku malu melakukannya. Lagipula ini juga kesalahanku karena menarik kerah bajunya tiba-tiba dengan kesal tadi. Tapi aku tidak suka ketika dia mengatakan aku berubah jadi kasara karena pacar-pacar bule. Pengulangan kata pacar yang dia ucapkan seperti memiliki arti aku memiliki banyak pacar di Paris dulu. Padahal sekalipun selama tujuh tahun aku di sana, aku tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Melupakannya saja sudah cukup sulit untukku, boro-boro bisa membuka hatiku untuk orang lain. “Ada yang sakit?” ucapnya dengan nada lembut membuat aku mendongak dan melihatnya sedang berjongkok di hadapanku dengan ajah khawatir. Perasaan rindu yang selama ini berusaha aku tahan, menyeruak begitu saja. Mataku memanas melihatnya dalam jarak sejenak ini. Aroma tubuhnya masih sama dan dari jarak ini bisa aku cium dengan jelas. Aku mengangguk dengan bodoh menanggapi pertanyaanya sehingga membuat air mataku jatuh. Dia terlihat panik, atau khawatir aku belum bisa menafsirkannya. “Apanya yang sakit?” tanyanya lagi. Suaranya lembut sekali dan aku malah menangis kencang. Regarta terlihat panik dan menepuk punggungku pelan. “Mau ke dokter?” tanyanya pelan. Aku menggeleng. “Terus mau pulang?” tanya laki-laki itu lagi. “kerjaan belum selesai.” Balasku masih terisak. “Tapi kalau kamu mau pergi sama pacar kamu nggak papa aku pulang.” Tambahku lagi sambil menghapus kasar air mataku. Tanganku langsung di tahan oleh laki-laki itu. “Jangan kaya gitu hapus air matanya! Pipi kamu merah tuh.” Omelnya. Dia kemudian mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan memberikannya padaku. “Aku nggak mau kemana-mana kok, mau lanjut lembur apa pulang?” tanyanya. Aku berpikir beberapa detik. “Lembur tapi besok aku libur, kaki aku sakit, badan sakit.” Ujarku berusaha bernegosiasi dengan suara yang masih terdengar seperti ingin menangis. Dia terlihat mendesah tapi kemudian mengangguk setuju. “Aku ambilin kotak obat, kaki kamu berdarah.” Ucapnya kemudian beranjak mencari kotak obat. Tidak lama kemudian dia kembali lagi dan langsung menarik kakiku untuk di obati. Tidak lupa sebelumnya dia menaruh jasnya di pangkuanku karena aku memakai rok. “Besok kalau kerja jangan pakai rok sependek ini, untung tadi nggak sobek pas jatuh. Kalau sobek keliatan semua.” Ucapnya sambil tangan dan matanya fokus menngobati lukaku. Diam-diam aku tersenyum melihatnya. Ketampanannya bertambah seiring dengan semakin dewasa umurnya. Laki-laki ini sekarang bukan hanya terkenal menjadi pengusaha terkenal, tapi dia juga seorang dokter yang hebat. Dua pekerjaan itu bisa berjalan beriringan dan itu mengagumkan sekali. “Dengerin aku ngomong nggak dari tadi?” tanyanya kemudian mendongakkan wajahnya menatapku. Aku mengatupkan bibirku kemudian mengangguk. “Apa tadi yang aku bilang? Ulangi!” “Jangan pakai rok pendek kalau kerja.” cicitku pelan. Kaget sekali karena tiba-tiba saja dia mengacak rambutku dengan gemas sambil memujiku anak baik setelah aku setuju untuk tidak lagi memakai rok pendek. Apa dia tidak tahu bahwa kondisi jantungku sekarang mengkhawatirkan. “Ayo lanjut kerja lagi! Bisa berdiri nggak?” tanyanya sambil membenarkan letak kursiku dan memastikan tidak ada yang rusak. “Bisa.” Jawabku sambil berusaha berdiri dengan menahan pegal. Dia terus memperhatikanku hingga aku kembali duduk di kursi dan kami melanjutkan pekerjaan. Mungkin karena sudah cukup malam dan kakiku sakit sehingga dia tidak menyuruhku beli kopi lagi. Tidak seperti ketika kami mulai lembur tadi, dia menyuruhku bolak-balik beli kopi sampai membuat aku ingin mengamuk. Setelah aku perhatikan, dia tidak bohong. Pekerjaanya memang banyak terlihat dari banyaknya berkas yang dia tinjau. Entah kenapa aku cukup bangga dengan perkembangannya sejauh ini. Dia menjadi Regarta seperti yang aku harapkan dulu, atau bahkan melebihi ekpektasiku. Setelah itu aku tidak ingat apapun, tahu-tahu aku sudah di bangunkan oleh Regarta di dalam mobil yang sudah terparkir di depan Apartemen yang aku tempati. Aku sedikit linglung sebentar kemudian menoleh ke arahnya yang sedang menatapku malas. Aku meringis merasa bersalah. “Kayaknya aku ketiduran yah?” kekehku sambil menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Aku kaget sekali melihat arlojiku sudah jam satu malam. “Dasar tukang tidur!” dia mencibir. “Ini kamu baru selesai kerja jam segini apa aku udah ketiduran lama di mobil kamu?” tanyaku bingung. Dia tersenyum kesal yang artinya jawabannya adalah opsi yang kedua. Aku ketiduran lama di mobilnya. “Maaf.” Cicitku merasa bersalah. “Aku udah telpon Mela sama Riska katanya mereka lagi nggak di sini, bisa nggak naik ke kamar kamu?” tanyanya. Aku menggigit bibirku tidak yakin. Dia kemudian mendesah, memakaikan lagi sabuk pengaman yang tadi sempat aku lepas. “Loh mau kemana?” tanyaku kaget. “Tidur di Apartemenku aja.” Balasnya membuat mataku melotot nyaris keluar. “Jangan macam-macam Regarta! aku bisa jalan sendiri! Turunin aku di sini!” Aku berteriak kencang tapi dia tidak menghiraukannya dan terus melajukan mobilnya. “Regarta tolong jangan aneh-aneh ih, aku capek!” ujarku memohon. “Kalau ada maunya doang manggil ada masnya, kalau lagi jengkel manggil nama doang sama calon suami. Nggak sopan!” dia malah mengomentari hal lain. “Aku pulang ke ruamh deh, yah? Jangan ke Apartemen kamu, Please!” “Mom san Dad belum pulang dari Denmark kan? Kamu sendirian juga, bahaya!” “Di Apartemen kamu lebih bahaya!” ucapku setengah berteriak. Dadaku bergemuruh hebat. Debarannya menggila membayangkan kami akan tidur di tempat yang sama selama satu malam. Aku yakin sekali Apartemen Regarta tidak mungkin Apartemen kecil yang hanya memiliki satu kamar, tapi aku tetap saja gugup sekali. “Bahaya emang aku mau ngapain? Tidur doang Wendy! Besok pagi aku juga ada oprasi dan kamu nggak masuk kantor juga kan? Besok aku suruh Riska dan Mela buat jemput kamu.” “Mereka di kampung sampai akhir bulan mas ih,” “Lah terus gimana? Kaki kamu bengkak gitu?” “Pulang ke rumah ayah sama bunda aja kalau gitu.” Putusku. Lebih baik aku di rumah Ayah dan Bunda Regarta daripada aku harus berada di Apartemen laki-laki ini. “Jauh, besok aku ada Operasi. Semalam doang di Apartemen aku. Besok tungguin aku pulang terus kita ke rumah Bunda.” Ucapnya terdengar tidak ingin di bantah. Karena itu aku terpaksa setuju. *** Sesampainya di Apartemennya, dia langsung menggendongku begitu saja dan memasuki lift kusus yang mengantar kami ke lantai paling atas. Sesuai dugaanku, Apartemen Regarta tidak mungkin Apartemen biasa saja. “Tunggu di sini, aku ambilkan baju ganti.” Ucapnya setelah mendudukkan aku di sofa empuk dengan perpaduan warna abu dan putih itu. Wangi khas Regarta langsungbtercium begitu kami memasuki Unit ini tadi. Tapi aku kesal karena hatiku masih seberdebar ini hanya karena di perlakukan baik olehnya. Seperti usahaku untuk melupakannya selama ini sia-sia saja. “Pakai ini!” dia menyodorkan kaus dan celana pendek yang perkiraanku jika aku yang pakai akan menjadi celana di bawah lutut. “Ayo aku antar ke kamar1” ucapnya lagi. Dia kemudian kembali menggendongku ke salah satu kamar yang rapih sekali. Banyak sekali lukisan gedung-gedung di dalamnya. “Terimakasih. Aku mau ganti baju dulu.” Cicitku pelan. “Bisa nggak ke kamar mandinya? Atau mau di gantiin bajunya?” ucapnya dengan nada jahil. Aku langsung melempar bantal yang ada di sampingku ke arahnya. Dia menangkapnya sambil tertawa. “Keluar ih!” kesalku. Regarta kemudian berbalik dan benar-benar keluar dari ruangan ini. Aku memastikan selama beberapa menit, meyakinkan diriku bahwa dia benar-benar keluar. Setelah itu aku berusaha untuk bangun perlahan menuju ke kamar mandi. Di sana sudah tersedia sabun, sampo, sikat gigi sekali pakai dan handuk. Entah kenapa aku tersenyum karena perlakuan sederhana ini. Seandainya saja kami tidak pernah putus, mungkin hubungan kami sekarang sudah jauh lebih baik. Atau mungkin kami sudah menikah sejak tiga tahun lalu ketika aku menyelesaikan studyku. Aku segera menyingkirkan semua pikiran itu dan buru-buru mandi lalu berganti baju dan keluar dai kamar mandi. Aku kaget sekali hingga nyaris jatuh karena ketika aku keluar dari kamar mandi, laki-laki itu sedang bersandar di tembok menungguku. Regarta terlihat sudah menggunakan baju santai dengan wangi sabun mandi. Rambutnya juga terlihat sedikit basah. “Aku bisa sendiri loh mas, sana kamu tidur!” usirku. Regarta tidak menghiarukan aku dan memapahku menuju tempat tidur. Tapi yang membuat mataku melotot adalah dia merebahkan dirinya di sampingku setelah aku tiduran. “Ngapain di sini?” tanyaku dengan pelototan. “Ini kamarku dan ini satu-satunya kamar yang repih dan berfungsi di Apartemenku, jadi kita berbagi kasur hanya semalam saja.” Jawabnya membuat aku menganga. “Jangan ngarang Regarta!” kesalku sambil memukulinya dengan bantal. Laki-laki itu tertawa ringan kemudian menatapku geli. “Aku baru pindah ke Apartemen ini sebulan yang lalu Wendy, aku belum sempet beresin apapun. Kamu tahu sendiri mantan kamu yang ganteng ini sibuk sekali kan?” balasnya sombong. “Ya kamu kan bisa tidur di sofa!” protesku. Dia menggeleng. “Tidur di sofa tidak baik untuk ketampananku.” Balasnya sambil mengambil gulingku dan memeluknya erat. Aku berusaha mengambilnya lagi tapi dia menahannya. “Masa aku sih yang haru tidur di sofa.” “Udah ih, ribet banget deh! Tinggal tidur doang beberapa jam doang tidur sama aku kamu nggak akan hamil. Kecuali kalau aku apa-apain.” Balasnya yang langsung membuat pukulanku mendarat di pundaknya. Dia mengaduh tapi sambil tertawa puas. Terlalu melelahkan berdebat dengannya, karena itu aku memutuskan untuk tidur membelakanginya saja sambil memeluk guling yang tadi sudah berhasil aku rebut. Tapi bukan Regarta jika tidak membuatku naik darah. Tiba-tiba saja dia mengambil guling yang sedang aku peluk dan melemparnya ke sembarang arah. “Regarta ihh! Kenapa di buang gulingnya? Kan lagi aku pakai?” teriakku jengkel. “Karena satu doang jadi nggak adil. Masa aku nggak pakai. Kalau kamu butuh sesuatu buat di peluk, mending peluk aku aja biar kita saling peluk jadi adil kan.” Balasnya sambil tersenyum menyebalkan. Aku kembali merebahkan tubuhku dengan jengkel. Aku bisa mendengar dia sedang cekikikkan karena berhasil menggangguku. “d**a aku lebih hangat dan empuk dari guling loh Wendy!” kekehnya terus menggangguku. “Tidur mas! Katanya besok ada operasi kan? Jangan mancing keributan terus, kesabaranku ada batasnya. Sekali lagi ngeledek, aku jambak rambut kamu sampai botak.” Balasku sambil memejamkan mata. Aku sudah lelah sekali, badanku sakit dan kakiku juga sakit. Orang ini malah terus membuat aku jengkel. Sepertinya menjadi istrinya akan membuat aku darah tinggi. Sekarang saja dia terdengar masih nmentertawai ucapanku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN