BAB 5. Bangun Pagi Di Samping Regarta Adalah Bencana

1420 Kata
Aku terganggu dengan ucapan Sarah di depan pintu ketika aku dan Wendy baru saja jatuh dari kursi. Aku juga terganggu dengan kedatangannya. Kenapa sekarang dia terasa berlebihan? Padahal biasanya pertemuan kami hanya sebatas pekerjaan saja dan jika tidak ada acara yang harus kami datangi atau pekerjaan yang harus kami lakukan bersama, dia tidak akan menemuiku karena aku melarangnya. Tapi belakangan ini dia mulai sering melanggar laranganku. “Aku datang ke sini mau temani kamu lembur karena aku peduli, kenapa kamu marah? Aku yang nemenin kamu dari kamu masih belum jadi apa-apa, kalah sama yang baru datang setelah bertahun-tahun menghilang.” Ucapan Sarah dengan nada kecewa itu membuat aku terganggu. Dia selalu mengatakan bahwa dia tidak mungkin memiliki perasaan padaku sekalipun hubungannya dengan Jeff sudah berakhir tiga tahun lalu. Hal itu membuat aku akhirnya setuju untuk membiarkan orang lain berpikir kami berdua pacaran karena aku pribadi juga mendapat keuntungan dari itu. Syaratnya adalah dia tidak boleh menyukaiku karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa mencintainya. Tapi kenapa dia bersikap seolah-olah aku berselingkuh darinya setelah kedekatanku dengan Wendy? Padahal aku dan dia tidak ada hubungan apapun. Sarah mulai menyebalkan dan sepertinya aku harus mulai membangun jarak dengannya. Aku bangun pagi ini sambil tersenyum lebar karena Wendy terlihat kedinginan dan memelukku erat. Membenamkan wajahnya di bawah ketiakku dengan ekspresi yang lucu sekali. Jika kami sudah menikah, sudah bisa aku pastikan bahwa aku akan membangunkannya dengan nakal dan mungkin kami akan berakhir di ranjang hingga sore hari. Tapi aku masih harus bersabar untuk memiliki gadis ini seutuhnya. Wendy masih perlu di jinakkan, perpisahan kami yang cukup lama membuatnya seperti menjaga jarak dariku dan menjadi galak sekali. Tapi ada sifat-sifatnya yang tidak berubah sama sekali. Seperti caranya menangis dan berbicara manja demi membujukku untuk mengijinkannya libur kerja kemarin. Aku gemas sekali. Aku tidak lupa untuk mengabadikan momen romatis ini supaya suatu hari nanti aku bisa membuatnya kesal dengan hasil fotonya. Aku mengambil ponselku di nakas lalu mengecup bibirnya dan memotretnya. Aku cekikkkan sendiri melihat hasilnya yang bagus. Bahkan dalam keadaan tidur saja, Wendy bisa secantik ini di kamera. Wajar saja perasaanku padanya tidak mudah berubah sekalipun waktu sudah berlalu cukup lama sejak momen kami sebagai sepasang kekasih dulu. Aku mengambil beberapa foto lagi dan berhenti ketika dia menggeliat dan semakin mengeratkan pelukannya. “Siapa yang tadi bilang nggak mau peluk aku hmm?” bisikku pelan kemudian kembali megecupi bibirnya pelan. Di lanjutkan mengecupi seluruh wajahnya, lehernya dan kepalanya sampai puas. Tidak lupa aku memberinya tanda kemerahan di leher agar dia mengamuk saat tahu nanti. Selalu menyenangkan melihat wajah kesalnya. Aku melihat Arlojiku dan waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Aku hanya tidur kurang lebih tiga jam saja. Tapi rutinitas ini sudah biasa aku lakukan sehingga aku sudah terbiasa. Pelan-pelan aku melepaskan diri dari pelukan erat gadis nakalku, kemudian menyelimutinya dengan rapat dan mengecup keningnya sebelum beranjak ke kamar mandi untuk siap-siap bekerja. Hari ini adalah jadwalku di Rumah Sakit. Aku baru memutuskan terjun ke Perusahaan setelah aku menyelesaikan pendidikan Spesialisku dan bisa bekerja dengan lebih fleksibel di Rumah Sakit. Aku berusaha mati-matian agar bisa lulus lebih cepat dari sekolah kedokteran agar tidak terlalu lama membuang waktuku sehingga bisa segera membantu Ayah. Berkat kerja keras dan doa semua orang, aku berhasil melakukannya. Semuanya tidak mudah dan sekarang pun aku masih sering keteteran masalah waktu dan jam tidur. Tapi untungnya semua bisa aku lalui dengan terus belajar menyesuaikan diri. Setelah aku selesai mandi dan sudah rapih, aku membangunkan Wendy untuk sholat subuh. Gadis itu terlihat mengerjapkan matanya berkali-kali dengan wajah yang cemberut, lucu sekali. “Sholat dulu! Mau jadi apa nggak sholat!” ucapku lalu mengambil sajadah dan Mukena Bunda yang beliau tinggal di tempat ini untuk bisa di gunakan Wendy. “Pusing banget kepala aku, ini semua gara-gara kamu.” ucapnya jengkel, tapi tetap bangkit dari tempat tidur dengan bersusah payah menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Aku tersenyum geli melihat wajah merajuknya yang menggemaskan itu. Lima menit kemudian dia keluar setelah berwudhu dan menerima uluran mukena dariku. Aku menjadi imamnya untuk pertama kali. Rasanya menyenangkan beribadah bersama seperti ini. Aku jadi tidak sabar menunggu pernikahan kami nanti. Dan berharap hari-hari kami setelah menikah nanti akan seindah ini juga. Dia terlihat masih mengentuk setelah selesai Sholat dan wajahnya masih di tekuk. “Pokoknya ini salah kamu aku jadi pusing.” Wendy terus mengomel sambil kembali lagi kasur dan menjatuhkan dirinya di sana. “Pakai selimutnya lagi! Udara pagi ini dingin.” “Jangan berisik mas, aku masih jengkel.” Balasnya ketus membuat aku tertawa ringan. “Nanti aku pulangnya gimana? Apa aku ikut kamu aja ke Rumah Sakit terus nanti turunin aku di halte yang persimpangan itu yah? Dari sana udah deket ke Apart aku.” Ucapnya lagi dengan suara khas bangun tidurnya yang terdengar seksi. “Nggak bisa, aku buru-buru.” Balasku membuatnya mendengus kesal. Aku kemudian menghampirinya sambil menyerahkan dasi padanya. “Pakaikan!” perintahku membuat Wendy mendelik kesal. “Nggak mau! Pakai aja sendiri.” Balasnya sambil melengos kemudian menutupi wajahnya dengan bantal. Aku tertawa lagi dan segera mengambil bantal itu lalu melemparnya ke sembarang arah. “Mas ihh!” protes Wendy kemudian cemberut. “Pakaikan makanya dasi aku, nanti aku ambilin lagi bantalnya.” “Masa bajunya warna begitu dasinya biru sih mas?” ucapnya sambil memperhatikan dasiku yang tadi sudah di terimanya dengan terpaksa. Wendy turun dari ranjang dengan sedikit pincang menuju tempat dasiku di tata dengan rapih dan mulai serius memilihkan dasi yang cocok untukku. “Ke sini!” perintahnya dengan melambaikan tangan. Aku menurut sambil mengulum senyum. Rasanya menyenangkan sekali di perhatikan seperti ini. Benar-benar terasa seperti suami istri dengan rutinitas paginya. Aku membungkuk ketika Wendy memakaikan dasi yang memang terlihat lebih cocok untuk bajuku sekarang. Bulu mata lentiknya bergerak-gerak lucu saat dia mulai serius mengikatkan dasiku. Tidak sabar menikmati pemandangan ini setiap hari. Rasanya aku ingin buru-buru menikah. “Udah, penjepitnya pakai yang mana yah?” gumamnya mulai memilihkan penjepit dasi yang juga ada di lemari yang sama. Biasanya aku enggan memakainya apalagi jika bukan ke acara penting karena malas, tapi pagi ini berbeda. Ada yang terlihat antusias membuat aku terlihat rapih dan lebih tampan, karena itu mana mungkin aku menolaknya. “Aku bertanya-tanya, orang gila macam apa yang mau membeli jepitan dasi seharga hampir satu milyar. Ternyata orang gilanya kamu.” ucapnya ketika melihat jepitan dasi paling mahal yang aku punya. Aku tertawa geli. “Itu hadiah dari Chiko, emang agak gila dia, soalnya uang banyak.” Balasanku membuat Wendi menganga tidak percaya. “Chiko?” tanyanya lagi. “Huum, kamu belum ketemu dia yah?” “Belom mas.” “Yang dia pakai setiap hari dari atas sampai bawah bisa buat beli rumah.” Ungkapku membuat Wendy kembali menganga. Tapi setelah itu, dia terlihat tersenyum mencurigakan. “Kayaknya boleh nih kapan-kapan minta jajan sama Chiko. Dia kaya sekarang.” Kikiknya membuatku menatap malas. “Dasar Matre.” Cibirku, tapi dia tidak peduli. “Pakai ini aja mas. Oke, pas banget.” Ucap Wendy sambil tersenyum bangga. Aku tentu saja tahu bahwa Wendy sangat menyukai dunia fasion. Karena itulah dia jauh-jauh ke Paris untuk belajar. Dan aku senang sekali karena dia mempraktekkan selera fasionnya itu padaku pagi ini. “Nanti aku pulang sendiri naik taksi agak siangan deh.” Gumamnya setelah kembali membenamkan wajahnya di kasur lagi. “Nunggu aku pulang aja, aku nggak sampai sore. Kamu bisa istirahat seharian di sini. Mau makan tinggal pesen, nggak usah bayar. Mau apa-apa tinggal telpon resepsionis.” Balasku sambil memakai kaus kaki. “Enaknya hidup jadi orang kaya.” Kikiknya. Aku tersenyum geli. Dia pikir aku tidak tahu kalau dia juga kaya? Gaya berpakaiannya memang sederhana, tapi aku tahu kekayaanya tidak main-main. “Aku berangkat yah, nanti aku pesenin sarapan sekalian di bawah. Mau sarapan jam berapa?” tanyaku. “Jam delapan.” Gumamnya tanpa menoleh. Aku menggoyangkan tubuhnya da dia mendengus jengkel. “Apa sih mas, aku ngantuk ih...” Omelnya. Aku menyodorkan tanganku. “Apa ihh...” “Salim lah.” Ucapku sambil tersenyum lebar. “Salim, salim apaan sih? Udah sana pergi!” “Salim dulu atau aku di sini aja dan salah kamu kalau sampai pasien aku kenapa-apa.” Kekehku geli. Wendy mendesah jengkel tapi kemudian meraih tanganku dan menciumnya. Walaupun setelah itu melemparnya dengan kesal, aku tetap senang karena aku berhasil mendapatkan ciuman tangannya pagi ini. “Cium dulu dong!” “Mau mati cepet Regarta?” teriaknya marah dan hendak melempar bantal ke arahku tapi aku lebih dulu lari sambil tertawa lantang. Selalu menyenangkan meledeknya. Ekspresi kesalnya sungguh menggemaskan sekali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN