“Hay....” seorang gadis tiba-tiba melambaikan tangannya ke arah Sania.
Sania menoleh.
“Nungguin pak Farel juga, kan?” katanya setelah sampai dan langsung duduk di kursi seberang Sania.
“Iya. Hem... mahasiswi yang dipilih pak Farel juga ya? “tanya Sania sopan.
“Iya. Saya Tika, anak sastra bahasa semester lima. Kamu? “
“Saya...kakak bisa panggil saya Sania. Saya mahasiswi jurusan komunikasi semester satu.”
“Oh....kamu hebat, baru semester satu udah bisa dipercaya membantu dosen buat penelitian.” Tika berdecak kagum. Sania jadi tersipu malu.
“Sebenarnya bukan ke pilih sih kak, tapi karena saya gak sengaja jatuhin kertas hasil laporan pak Farel.”
“Oh, is okey....itu namanya keberuntungan. Kamu bakal banyak dapat pengalaman dari penelitian ini.”
Sania tersenyum, senang. Selain pengalaman dia juga akan punya waktu untuk dekat dengan Farel.
“Akan ada dua mahasiswa lagi dari sastra bahasa semester lima juga. Btw, kamu udah dari lama di sini? “
“Hem.” Sania mengangguk pelan. Sania sudah duduk di sini sepuluh menit yang lalu di cafe tempat mereka janjian. Sania sangat bersemangat dan datang lima belas menit lebih dulu dari jam yang di tentukan.
“Aku dengar pak Farel, orangnya on time banget. Makanya aku datang lebih awal dikit. Takut telah.”
“Iya, Kak. Lebih enak menunggu ketimbang di tunggu ya.”
“Iya. Itu prinsip aku banget, makanya aku sering jadi tim nunggu. Kadang tuh pengen juga di tunggu orang, pengen datang pas orang-orang udah datang atau berangkat di jam pas-pasan kayak orang-orang. Tapi apalah daya, aku gak bisa gitu....”
Sania mengangguk setuju. “Sama Kak, aku juga gak bisa abai gitu. Kalo janjian jam 9, aku udah siap dari jam delapan.”
“Eh, panggil aku Tika aja, gak pake kakak, biar lebih nyaman.”
“Boleh, Kak?”
“Tenang aku gak gila hormat kok.”
Keduanya mengobrol asik, mengikis waktu hingga tidak terasa akhirnya semua telah berkumpul di sana. Farel juga sudah datang.
Pertama-tama mereka saling memperkenalkan diri. Rata-rata mahasiswa yang Farel pilih tidak terlalu banyak berbicara, dan terlihat lebih nyaman dalam lingkup kecil. Dua orang mahasiswa itu bernama, Bintang dan Putra.
Setelahnya, Farel membahas apa yang akan di lakukan untuk penelitian, metode yang dipakai dan tugas masing-masing.
“Jadi, Sania akan menjadi orang yang menghubungkan kita dengan narasumber saat nanti kita terjun penelitian, dia fasilitator kita,” kata Farel, mengakhiri pembagian tugas.
Semua orang di meja mulai sibuk entah melakukan apa. Sania yang tugasnya hanya sebagai penghubung dengan narasumber, jadi bingung harus apa.
Sania meraih ponselnya.
‘Pak... ini Sania'
‘Pak....’
Read.
Farel mengangkat kepalanya.
“Pak ada yang ingin saya katakan.”
“Kenapa kamu kirim pesan ke saya?” tanya Farel tiba-tiba pada Sania yang duduk di seberang kursinya.
Sania tidak menyahut dan malah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Ponsel Farel berdering lagi. Pesan dari Sania.
‘Pak...ada yang ingin saya katakan.”
Farel mendengus kesal.
’Apa?’
Balas Farel kali ini dengan mengirim pesan juga.
‘Pak, di save ya nomor saya. Nanti kalo saya kirim pesan jangan langsung di hapus. Minimal di baca dulu, Pak.’
Farel menghela nafas panjang. Sania kembali mengirim pesan ke ponsel Farel. Ponsel Farel bergetar, Farel langsung merubahnya menjadi mode senyap.
‘Berhenti kirim pesan, atau nomor kamu saya block.’
**
Khiya sudah siap. Ini kali pertamanya Farel akan menemaninya ke dokter untuk check up kesehatannya. Setelah pernikahan, Farel selalu berusaha untuk menemani Khiya ke dokter tapi apa daya, dia terlalu sibuk, sebagai dosen dan baru saja setelah menikah Farel membangun resto di puncak.
Khiya belum pernah ke sana tapi dari foto yang Farel tunjukkan tempat itu akan sangat memanjakan mata dengan view pemandangan puncak yang arsy dan juga klasik, ala-ala pondokan tapi dengan gaya moderen. Sangat cocok untuk bersantai bersama keluarga atau untuk acara formal seperti dinner romantis. Khiya harap Farel akan segera mengajaknya ke sana.
Khiya kembali mengecek penampilannya di depan kaca. Khiya memakai rok polos berwarna navie, kaos yang dibalut jaket rajut hitam dan jilbab instan satu warna dengan roknya. Sangat simpel. Bagi Khiya rumah sakit seperti rumah kedua untuknya dan dia tidak perlu sungkan untuk berpenampilan sederhana ke rumahnya, kan?
Setelah dirasa pas, Khiya langsung ke kamar Farel. Khiya mengetuk pintu kamar Farel beberapa kali tapi Farel tidak kunjung membuka pintu. Khiya iseng menekan gagang pintu, dan ternyata kamar Farel tidak dikunci. Khiya ragu untuk menyeruap masuk ke dalam, kejadian terakhir dia asal terobos masuk kamar Farel berakibat dia canggung karena melihat Farel tanpa baju.
Khiya maju-mundur untuk masuk ke kamar Farel. Ia melirik jam tangan yang terlilit, waktu terus berjalan. Khiya harus memanggil Farel. Begitu pintu di buka, Khiya melihat Farel tertidur pulas di kasurnya.
Khiya tertegun.
“Kasihan Farel, dia lelah..,” lirihnya pelan. “Khiya, selain penyakitan apa kamu juga beban hidup? Pergi aja sendiri, kasihan Farel. Kenapa kamu selalu merepotkan Farel....”gumam Khiya.
“Hubby, maaf, seharusnya aku menjadi teman hidup kamu, bukan beban hidup.” Khiya menghela nafas panjang.
Khiya berbalik, keluar dari kamar Farel.
“Duh, apa minta temenin Aliya aja ya? “ Khiya menimbang-nimbang pelan. “Malam sendirian gak enak, apa lagi naik taksi. “
Khiya menghela nafas panjang. Dia baru hendak mengambil ponselnya dari dalam tas, tapi benda pipih itu sudah duluan berdering.
Panggilan telepon dari Aliya.
“a*s—“
“Khy, gue ke rumah Lo ya? Suami Lo belum pulang kerja, kan? “ Aliya langsung nyerobot cepat, menyela perkataan Khiya.
“Farel udah pulang kerja.”
Khiya mendengar suara helaan nafas panjang dari seberang sana.
“Kamu kenapa, Yak? Angkat telepon langsung nyerocos aja, lupa salam juga.”
“Gue lagi kesel, Yak...”
“Kesel kenapa? “
“Lo sibuk gak sih, Khy? Farel bolehin Lo keluar gak? Gue butuh Lo buat mendengar semua keluh kesah gue, Khy.”
“Aku mau ke rumah sakit sih tadi, mau check up . Farel rencananya mau nganterin tapi dia kelelahan gitu, terus ketiduran. Aku gak tega banguninya. Gimana kalo kamu temenin aku ke rumah sakit aja? Aku tadi baru mau minta temenin kamu, keburu kamu telepon duluan.”
“Bagus kalo gitu. Gue langsung on the way ke sana. Btw, Khy, di rumah Lo ada makanan, kan? Gue lapar parah nih...”
“Kamu lagi aksi mogok makanan ya? Makanya udah besar juga masih aja melestarikan mogok makan. Kalo ada masalah itu diselesain bukannya malah nyiksa diri. Dosa tahu, Yak, tubuh itu titipan dari Allah SWT. Kamu mogok makan sama aja dzolim sama tubuh kamu.”
Aliya berdeham pelan. “Iya gue tahu gue salah, Khy. Tapi gue tuh dongkol parah, Khy...”
“Ya udah, aku tadi kebetulan buat brownis entar aku bungkusin buat kamu. Kamu mau yang cokelat sama keju ?”
“Semuanya enak, Khy. Dua-duanya kalo Lo gak keberatan.”
“Iya...dua-duanya aku bungkusin buat kamu.”
“Emang the best banget dah Lo, Khy. Gak sia-sia gue punya sahabat sebaik Lo.”
“Jadi kapan kamu mau ke sini? Dari tadi nggak selesai-selesai. Keburu malam nih...”
“Eh, iya, ya...ya udah aku matiin telepon ya, mau ngangetin mobil dulu terus langsung cau ke sana.”
“Eh, jangan ngebubut-ngebut.”
“Iya. Udah ya... Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Khiya lalu ke dapur mengambil brownis yang ia janjikan. Khiya melakukan itu dengan sangat hati-hati, takut suara berisik menganggu tidur Farel. Setelah selesai dengan hal itu, Khiya menuliskan kertas noted kecil di kulkas untuk Farel.
‘Hubby, aku pergi check up dulu ya. Kamu gak usah khawatir, aku pergi bareng Aliya.’
Khiya tersenyum.
Dua puluh menit berlalu, Aliya sudah menunggunya di depan pagar. Khiya sengaja meminta Khiya untuk tidak masuk pagar, lagu-lagi karena tidak mau mengusik tidur Farel.
“Mana brownis-nya? “ tanya Aliya begitu pintu mobil di buka.
“Belum juga duduk,” protes Khiya, menjatuhkan dirinya di kursi mobil. “Ini makan dulu, kalo kamu udah makan baru kita jalan.”
“Hu, so sweet banget sih kamu,” kata Aliya manis dibuat-buat.
“Seharusnya tanya kabar dulu kek, ‘Khiya apa kabar ?’ atau ‘Khiya gimana hari ini? Baik kan?’. Gitu seharusnya. “
Aliya terkekeh. “Lebay banget sih, Lo, Khy. Tadi pagi, siang kita ketemu, ngapain nanya kabar segala.”
“Itu namanya seni basa-basi, Aliya..”
“Idih, gue mah gak suka yang basi. Gue mah sukunya yang fresh, kayak brownis Lo ini, enak parah sih... Buat terus ya, buat asuhan gizi gue. Farel pasti suka juga sama brownis ini.”
“Farel gak suka brownis.”
“Ha, serius Lo? Farel gak suka makanan seenak ini? Parah...parah...parah....” Aliya menggeleng-geleng dramatis.
“Iya, dia agak alergi sama brownis? “
“Serius? Alergi kenapa? “
“Gak tahu. Tapi dia bisa muntah kalo kemakan brownis.”
“Suami Lo unik banget ya,” kata Aliya, bercanda. “Baru kali ini gue denger ada orang yang sampai segitunya sama brownis.” Aliya menghabisi potongan terakhir brownisnya.
“Ayo kita berangkat. Btw, Lo mau check up ke rumah sakit mana?”
“Ke rumah sakit Fatmah. Itu lebih dekat dari sini.”
Kening Aliya berkerut. “Rumah sakit Fatimah? Di dekat lampu merah itu? “
Khiya mengangguk.
“Mending kita cari rumah sakit lain aja, Khy.”
“Gak bisa, Yak. Aku udah buat janji sama dokternya.”
“Tapi Kya.....masalah gue kerja di sana.”
“Masalah? “
.
.
“Gue di jodohin, Khy. Gue berasa kayak hidup di zaman Situ Nurbaya tahu,” kata Aliya, miris
Khiya hanya mendengarkan saja, yang dibutuhkan Aliya sekarang bukan nasehat tapi pendengar yang baik untuk menumpahkan semua unek-uneknya sejak tadi.
Hal ini yang selalu Aliya suka dari Khiya. Dia tahu kapan harus menjadi pendengar yang baik dan kapan menjadi pemberi nasehat yang tepat.
“Bisa-bisanya orang tua gue jodohin gue sama orang yang bedanya sembilan tahun di atas gue. Lo bayangi deh, umur gue 23 dan calon gue itu umur 32. Apa gak gue sebel, Khy....” Aliya rasanya ingin makan brownis doubel cokelat plus brownis keju dan jangan lupa jus mangga yang pernah Khiya buat juga.
Jika sedang galau, nafsu makan Aliya meningkat tajam. Yang tadinya banyak akan semakin parah. Beruntung Aliya jarang galau dalam hidupnya, kalo dia sering halau mungkin dia sudah menjadi daging berjalan. Pasalnya apa saja bisa ia makan, bahkan makanan yang dia tidak suka sekali pun, seperti kulit ayam krispi.
“Aarrrg... sebel banget.” Aliya refleks memukul pelan stir mobil, melampiaskan rasa tidak berdayanya pada benda yang tidak tahu apa-apa.
Setelah hening terjadi. Khiya menunggu Aliya tenang dulu untuk bisa merespon curhatan sahabat baiknya itu.
“Udah tenang, Yak? “tanya Khiya memastikan.
Aliya mengangguk pelan. Masih terlihat gugatan nestapa di wajah gadis itu, tapi lebih baik dari pada tadi.
“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Khiya.
“Iya.”
“Kamu udah tanya apa alasan orang tua kamu jodohin kamu sama orang itu? “
Aliya menghela nafas panjang, ada hembusan lelah dari nafasnya. “Karena dia dokter. Alasan mama dan papa biar hidup gue terjamin. Dikira gue kulkas apa ya butuh jaminan.”
“Oh,” Khiya spontan merespon.
Aliya mendelik. “Oh doang? Jangan bilang Lo setuju sama pendapat orang tua Gue?”
Khiya menggeleng. “Bukan gitu. Souzon deh.”
“Habisnya Lo bilang Oh doang. Lo kayak secara gak langsung bilang, ‘Iya sih, emang benar, diakan dokter, masa depan kamu bakal lebih cerah. Gak masalah beda sembilan tahun doang. Jodoh mah gak mandang usia'. Kayak gitu. Kayak apa yang orang-orang pikirin.”
“Jadi gini, Yak. Aku bakal mencoba untuk melihat masalah ini dari pandangan kamu dan orang tua kamu. Kalo dari pandangan kamu, aku bilang ini gak fear karena kamu berhak untuk memilih pasangan kamu. Kamu bakal hidup bersama dengan dia, sebagai dia orang yang harus selalu bersama, sulit kalo dari sejak awal kamu udah gak suka.”
“Nah sedangkan dari sisi orang tua kamu, aku gak bisa bilang mereka salah, mereka orang tua, mereka yang melihat kita tumbuh dan besar. Mereka menjaga kita dengan harapan masa depan untuk kita. Mereka membesarkan kita dengan tangan mereka, mereka menghapus air mata kita saat kita tidak bisa apa-apa. Mereka selalu mencoba memberikan hal terbaik untuk kita, mereka rela untuk lelah hanya demi senyum bahagia kita. Mereka selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Termasuk suami untuk anaknya juga. Mereka gak rela kalo melepas tangan anaknya pada pria yang tidak bisa membawa senyum di wajah putri mereka. Ini bukan soal material aja, Yak.
“Mungkin dia memang dokter, tapi pasti ada poin utama yang buat orang tua kamu mau menjodohkan kamu sama dia. Jika dia dokter tapi jahat atau suka kasar, apa orang tua kamu masih mau jodohin kamu sama dia? Gak, kan.... Itu artinya bukan karena dia dokter tapi mungkin karena sifat dan hal lain yang bisa memenangkan hati orang tua kamu yang jelas sangat menjaga kamu. Mereka percaya, kalo dia bisa menjaga dan membuat kamu bahagia. Kamu percaya, kan sama orang tua kamu?”
Aliya tertegun. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aliya memilih membisu, Khiya mengerti itu. Aliya butuh ruang untuk mengerti semua ini.
Khiya mengambil ponselnya di dalam tas. Ia menganti sim menjadi sim card nomor ponsel Sania. Dan iseng ingin menganggu Farel sebagai Sania.
‘Assalamualaikum, pak dosen.’
‘Pak Farel, lagi ngapain?’
‘Pak, nomor saya udah di save belum ?’
‘Kalo belum gak pa-pa kok. Saya bakal perkenalkan diri terus.’
‘Pak ini nomor Sania. Salah satu mahasiswi bapak. Terima kasih, Pak.’
Khiya tersenyum kecil, setelah mengirim semua pesan alay itu. Terkadang saat sudah dewasa mereka juga butuh untuk kembali alay kan? Itu untuk menjaga keremajaan saja, itu menurut Khiya.
“Khy...” panggil Aliya tiba-tiba.
“Iya? “
“Khiya...” panggil Aliya lagi. Ada kata yang ingin gadis itu ucapankan tapi di bingung untuk mengatakannya.
“Dia sama gue beda sembilan tahun. Dia udah om-om dong berarti. Dia pasti tua, penampilannya kayak om-om genit, terus selera humornya garing abis, terus gayanya jadul parah.” Aliya bergidik ngeri. Pikirannya menerawang jauh.
“ Dan pas dia senyum, senyumnya serem kayak om-om.”
“Hwwaaaa, gue takut....”
“Gimana dong Khiya...” Aliya nangis bombay.
“Emang kamu belum liat fotonya? “
Aliya menggeleng dramatis. “Dia gak kasihin fotonya. Alasannya fotonya hilang. Gue jadi makin curiga....jangan-jangan dia emang kayak om-om yang lebih cocok jadi om ketimbang suami.”
“Hwwaaaaa, gue mau punya suami bukan orang tua.”
“Gimana, Khy. Kok gue jadi simalakam banget sih....” rengek gadis itu.
Khiya hanya bisa menggeleng pelan mendengar semua hipotesis yang bertebaran di kepala sahabatnya itu.
“Khiya kasih gue solusi dong...”
“Emang dia gak punya sosial media?”
“Nah itu juga, Khy. Orang modern jaman sekarang jarang gak punya sosial media, tapi dia gak punya, satu pun. Dia cuman punya w******p doang itu pun foto profilnya kucing. Gak ada foto dia dimana-mana.”
“Mungkin dia gak narsis, makanya cuman punya foto yang bagus sedikit. Dan mungkin dia, gak pake sosial media karena dia lebih nyaman aja untuk dekat dan kenal orang, langsung di dunia nyata ketimbang di sosial media. Mungkin juga dia gak suka kalo kehidupan pribadinya ada di sosial media. Atau mungkin dia takut sosial media.”
“Gak aneh loh banyak orang yang gak suka sosial media untuk love self. Dia mungkin gak mau kehidupannya berkaca dari kehidupan orang yang ada di sosial media yang selalu keliatan happy terus, terus secara gak sadar membandingkan kehidupan nyata yang pasti ada naik-turunnya.”
“Dan alasan terakhir mungkin selama ini dia terlalu sibuk buat mempersiapkan masa depan, sampai gak punya waktu buat santai di sosial media. Secara dia pasti sibuk banget buat kejar karir sebagai dokter.”
“Yah, tapi tetap aja Khya, aneh banget gak sih orang modern gak punya sosial media. Terus yang kamu bilang soal dokter itu. Buktinya banyak kok para dokter yang aktif di sosial media. Mereka juga dokter, buktinya bisa-bisa aja.”
“Kan tiap orang beda-beda, Yak. Gak bisa dipukul rata.”
“Nah makanya, dia pasti aneh,” kata Aliya, berapi-api. Yakin betul kalo semua hipotesisnya akan mencapai kata benar sesuai fakta.
Khiya hanya terkekeh pelan, menanggapi Aliya yang memang susah untuk dipengaruhi kalo sudah mode keras kepala.
.
.