“Khya, gue tunggu di parkiran aja ya...gue gak mau masuk.”
Mobil Aliya berhenti. Mereka sudah sampai di rumah sakit yang terbilang sangat luas dan juga sibuk. Terlihat dari suasana rumah sakit yang tidak pernah sepi orang yang keluar atau masuk pintu utama.
“Yakin mau nunggu di sini? Takutnya lama loh..” tanya Khiya sebelum turun dari mobil.
“Yakin, dua ratus persen.”
“Hem, ya udah, aku masuk dulu ya..”
“Iya...”
Seperginya Khiya, Aliya sibuk dengan ponselnya. Apa lagi yang bisa gadis berusia dua puluh tiga tahun itu lakukan selain membuka aplikasi youtube atau i********:, mencari hiburan untuk membunuh waktu menunggu. Meski sudah terbilang usia dewasa, sebenarnya Aliya tidak pernah menjalin hubungan percintaan atau berpacaran, selain karena pacaran dalam agama Islam dilarang, Aliya juga tidak pandai untuk berbasa-basi dengan gombalan atau hal-hal bucin yang biasanya dilumrahkan dalam pacaran.
“Apaan sih ini... “Aliya bergidik geli melihat beranda youtube-nya yang entah kenapa muncul video dua bocah alay yang sedang jatuh cinta. Bukannya iri , Aliya malah mau muntah.
Spontan jari Aliya langsung menekan tombol home.
“Huft...dasar, mengganggu kenyamanan mata aja. Masih bocah tuh belajar buat masa depan, bukannya sok-sokan ngomongi masa depan. Pake segala panggilan mama-papa lagi. Ihh..amit-amit cabang kebo.” Aliya mengetuk pelan kepalanya lalu membuangnya ke udara. Khas orang-orang jaman dulu.
Aliya kini beralih pada aplikasi i********:. Dia mengecek di expoler . Dan lagi-lagi di sana juga membuat mood Aliya makin buruk. Pasalnya semua yang ada di pencariannya mengenai dokter. Entah dokter yang tengah selfi, dokter yang tengah berbagi tips atau dokter yang kena demam joget-joget. Aliya tidak mengerti, kenapa semua ini muncul di semua sosial medianya, padahal dia tidak pernah mencari hal semacam ini, ia hanya sering mengatakan dokter saja akhir-akhir ini. Dan tada, sosial medianya penuh dengan hal berbau dokter.
Aliya curiga, apa jangan-jangan benar konspirasi mengenai setiap orang di awasi oleh mata-mata. Aliya bergidik ngeri jika benar itu terjadi, sepertinya Aliya akan mengikuti pendiri f*******:, bbbbbb untuk menutup camera ponselnya dengan selotip.
Tiba-tiba ponsel Aliya bergetar, ada telepon panggilan dari Khiya.
“Assalamualaikum, Khy ...kenapa? “
“Yak, di dalam mobil ada kertas jatuh gak ? Kertas pemeriksaan aku bulan kemarin, gak tahu di mana.”
“Bentar, gue cari dulu.” Aliya menghidupkan senter ponselnya untuk membantu pengcahayaan di mobilnya.
“Ada Khy. Kayaknya jatuh pas Lo turun.”
Di seberang telepon terdengar Khiya menghela nafas lega. “Syukur deh, kalo ada.”
Bisa Aliya bayangkan pasti wajah sahabatnya itu sudah sangat cemas. “Ya udah, Gue bawa ke tempat Lo deh. Lo di ruangan mana....oke gue otw.”
Aliya mengakhiri panggilan dan segera menyusul Khiya.
“Khy, ini kertasnya.”
Khiya tersenyum sumringah. “Makasih ya, Yak.”
“Aku langsung ke mobil ya..”
“Bentar lagi aku di panggil, gak mau ikut masuk ke dalam? “
“Ngapain? “
“Gak ngapa-ngapain sih, temenin aja. Kita bisa ke mobil bareng-bareng nanti. Dari pada di mobil sendirian, gak ngapa-ngapain juga, kan?”
Aliya menimbang-nimbang sejenak, tidak masalah jika dia menemani Khiya masuk ke dalam. Toh sama saja, dia sudah kepalang tanggung masuk rumah sakit.
“Lagian aku juga gak enak, di ruangan berdua doang sama dokter. Dokternya cowok.”
“Ya udah deh...tapi gue main ponsel di sana gak papa, kan? “
“Iya, kamu bisa duduk di ranjang pasien kalo gak nyaman duduk di sebelah aku.”
“Oke.”
Dua menit menunggu, nama Khiya di panggil.
“Semoga kondisi aku membaik ya, Yak...,” kata Khiya saat berjalan menuju ruangan dokter.
“Aamiin. Lo harus positif thingking. Gue selalu doain Lo. Dan ingat, Lo gak sendiri di sini, banyak orang yang sayang sama Lo. Jadi Lo harus semangat. Oke? “
Khiya mengangguk seraya melangkah masuk bersama Aliya. Sesuai rencana Aliya hanya akan duduk diam menunggu Khiya. Toh, tidak ada yang bisa dia lakukan juga di sana, selain mendengar sedikit-sedikit yang Aliya pahami dari penjelasan dokter muda di hadapannya itu.
Dari yang Aliya tangkap sih, kondisi Khiya tidak seburuk terakhir kali Khiya check up, ya meski tetap masih terbilang buruk, tapi dokter muda itu sangat pintar dalam memainkan kata-kata hingga terdengar seperti kabar gembira dan semua akan baik-baik saja. Khiya juga terlihat tidak terlalu cemas seperti tadi, setelah mendengar penjelasan dokter ini. Diam-diam Aliya salut pada dokter di hadapannya . Dokter itu punya ilmu seni menenangkan orang yang sangat baik.
Aliya ingat jelas, saat pertama kali menemani Khiya untuk memeriksakan penyakitnya, saat itu dokter itu mengatakan semuanya dengan blak-blakan, apa adanya. Memang hal ini tidak salah, tapi hal ini bisa mempengaruhi psikis orang. Apa salahnya jika menggunakan kata-kata yang bisa menenangkan disela-sela kenyataan pahit?
Kala itu, fisik Khiya yang down semakin down, Khiya menangis seharian dan itu malah memperburuk segalanya. Bukan hanya pada Khiya, dokter itu juga mengatakan hal menyakitkan pada keluarga pasien, saat mereka keluar dari ruangan itu. Keluarga pasien yang tidak tega melihat pasien yang kesakitan dan tidak mau operasi, mereka meminta alternatif lain. Dan dengan santai dokter itu bilang, ‘ya sudah kalo nggak mau operasi, tungguin aja sampai mati.’
Aliya yang bukan siapa-siapa saja, rasanya sakit mendengar hal itu dari orang yang katanya berpendidikan tinggi. Kenangan buruk itu masih Aliya ingat jelas. Dia jadi mengerti bahwa ilmu tidak akan berguna tanpa akhlak yang baik.
“Yak, udah selesai,” kata Khiya. Dia bangkit dari kursi yang langsung disusul oleh Aliya.
“Dokternya baik, ya... Kamu sama dia aja kalo mau check up lagi..,” kata Aliya, pelan. “Meski keliatan masih muda, dia udah profesi banget.”
“Iya, Yak... Alhamdulillah, akhirnya bisa dapat dokter yang cocok.”
“Iya.”
“Astagfirullah...aku lupa lagi ngambil kertas pemeriksaan tadi.”
“Khiya... Lo mah dari tadi.”
“Tunggu bentar, biar aku ambil.” Khiya baru hendak berbalik, ponselnya berdering. “Farel telepon ...” kata Khiya.
Aliya memutar bola matanya. “Ya udah, biar gue aja yang ambil. Lo terima telepon aja dari suami tersayang...”
“Apaan sih, Yak.... biar aku ambil dulu deh kertasnya.”
“Udah gak usah, gue aja. Kasihan entar suami Lo cemas kalo gak akan panggilnya.”
“Hem....”
“Keburu mati tuh panggilan. Udah gue ambil dulu kertasnya.”
Aliya berbalik kembali ke ruangan tadi. Di ruangan itu ada dokter tadi dan dua suster yang tengah merapihkan ranjang pasien.
“Permisi dok, maaf tadi kertas pemeriksaan teman saya ketinggalan. Saya boleh ambil, kan? “
“Oh iya, silakan masuk,” jawab dokter muda itu ramah. Dia juga tersenyum pada Aliya. Senyum yang spontan membuat Aliya juga ikut tersenyum.
“Tadi saya pikir kalian udah pulang, makanya kertas itu saya simpan di nakas itu.”
“Belum dok, tadi untung ingat pas belum jauh.”
“Biar saya ambilin, dok,” sahut salah satu suster yang kebetulan berada di dekat nakas. “Atas nama Khiya, kan dok? “
“Iya,” sahut Aliya langsung menghampiri suster itu.
“Ada dua kertas atas nama Khiya.”
“Coba saya liat.”
Suster meletakkan kertas itu di meja.
“Ini kertas yang benar. Tolong jaga baik-baik Khiya. Dia tidak boleh terlalu lelah.” Dokter itu memberikan kertas itu pada Aliya.
Aliya mengangguk khidmat.
“Senang bisa bertemu kamu di sini Aliya,”
Tunggu dulu....
Dari mana dokter ini tahu namanya? Mereka belum pernah bertemu, dan sejak tadi baik Khiya dan dirinya tidak pernah menyebutkan nama ‘Aliya.’
Jadi...
Seperkian detik Aliya membisu.
Aliya tahu siapa dia...
“Ini kertasnya...” Dokter menyodorkan kertas itu pada Aliya.
“Au! “ Tangan Aliya mendadak nyeri, sindrom aneh yang Aliya miliki saat grogi.
“Tangan kamu kenapa? “ tanyanya cemas, “Biar saya periksa.”
Aliya malah mundur menjauh.
“T-tidak perlu.” Aliya melihat kertas tadi dan segera mengambilnya. Lalu pergi dari ruangan itu.
.
.