Pura-pura sakit?

2333 Kata
Khiya memburu langkahnya, kelas pertama sudah terlewat akibat Khiya bangun kesiangan karena menjaga Aliya, di tambah lagi Khiya harus mondar-mandir dari rumah sakit ke rumah terus ke kampus. Sedikit melelahkan, tapi alhamdulillah kondisi Aliya sudah membaik, dia juga tidak mengalami trauma hanya shock. Dan kemungkinan setelah dzuhur Aliya akan pulang ke rumah. Di rumah sakit juga ada Fauzan yang menjaganya, Khiya jadi bisa tenang pergi ke kampus. “Duh, aku belum sarapan...” Khiya memegangi perutnya yang sudah menggelar musik kroncong sebagai aksi demo karena belum juga di sini, padahal jam sudah menujukan pukul sembilan. “Belum minum obat juga,” Khiya bergumam pelan. “Apa beli roti di kantin dulu ya, masih da waktu lima belas menit sebelum jam kedua di mulai.” Khiya bangkit dari kursinya, dia tersenyum saat berpapasan dengan beberapa teman sekelas. Mereka juga kadang menyapa Khiya. Meski tahu nama asli Khiya, tapi mereka lebih suka menyapa Khiya, dengan sebutan Sania. Tidak ada alasan untuk itu, mungkin karena Khiya memperkenalkan dirinya pertama kali sebagai Sania. Kata orang kesan pertama itu sangat berarti. Khiya sangat bersyukur untuk itu, Farel jadi hanya tahu dia sebagai Sania. “Bu, rotinya dua sama sebotol air mineral ya...” kata Khiya. Khiya sengaja memesan dua roti, bukan lantaran dia rakus, tapi Khiya berencana memberikan satu roti itu untuk teman sekelasnya yang duduk sendirian di sudut kantin. Dari awal dia memang terlihat menarik diri dari pergaulan, entah karena dia terlalu malu, atau memang karena alasan tertentu. “Hay, boleh gabung duduk? “tanya Khiya. “Iya, duduk aja.” Gadis itu mendongak melihat Khiya sekilas lalu memberikan senyuman di bibirnya, sebelum kembali menelungkupkan wajahnya di atas tumpukkan tangannya. “Apa saya ganggu kamu? “ Gadis itu menggeleng pelan. “Kamu di kelas A komunikasi juga, kan? “tanya Khiya berbasa-basi. “Iya,” jawabnya pelan. “Sama saya juga. Nama saya—“ Gadis itu mengangkat kepalanya, “Kamu Sania kan? Siapa orang yang gak kenal kamu... kamu bisa dapat beasiswa dan juga cantik. Semua orang pasti kenal kamu.” Khiya tersenyum tipis, sedikit tidak nyaman dengan pujian itu. “Andai saya bisa seperti kamu, saya bisa dapat beasiswa itu, pasti saya gak akan selelah ini,” katanya pelan. Gadis itu mencoba membuat matanya terjaga tapi matanya malah terus minta untuk di tutup. “Kamu kuliah sambil kerja? “ “Iya.....” “Masyallah, kamu hebat banget...” “Hebat? “ gadis itu sedikit kaget mendengar pujian Khiya, seolah pujian itu diletakkan pada tempat yang salah. “Kamu orang pertama yang bilang itu hebat. Gak ada yang hebat dari itu...semua ini terjadi karena saya tidak pandai. Saya malah terjebak di keduanya. Saya tidak bisa fokus kuliah atau bekerja dengan baik.” Gadis itu tersenyum miris. Mungkin ini salah satu alasan kenapa gadis itu menarik diri dari pergaulan, dia merasa tidak punya waktu untuk dibagi dengan orang lain. Dia terlalu sibuk dan kelelahan. “Kamu mau roti? “ Khiya menyodorkan roti pada gadis itu. Gadis itu terlihat ragu, tapi karena tidak enak menolak, ia menerimanya. “Terima kasih.” Khiya tersenyum, “Kita belum kenalan, nama kamu siapa? “ “Aku, hem, percuma kamu kenal nama aku, toh bentar lagi kayaknya aku gak akan kuliah lagi.” “Tapi kita baru aja masuk kuliah.” “Iya kamu baru, tapi aku, karena kemarin semester satu gak lulus, aku ngulang lagi.” Khiya bingung mau merespon apa, takutnya apa yang dia katakan akan semakin memperburuk perasaan gadis itu. “Bentar lagi masuk mata kuliah bahasa inggris,” kata Khiya pelan. Gadis itu mengangguk. Kali ini dia agak sedikit tersenyum, sedikit antusias. “Itu mata kuliah yang paling aku suka. “ “Wow benar, kah? “ Khiya tidak kalah antusias. Gadis itu mengangguk pelan. “Satu-satunya soft skill yang aku punya,” kata Gadis itu sembari mengunyah roti dari Khiya. Khiya pun melakukan hal yang sama. Keduanya lalu bercerita banyak hal, tidak di sangka mereka ternyata nyambung. “Kamu minum obat apa? Kamu sakit? “ Khiya tersenyum kecil. “Mustahil manusia hidup di dunia tanpa ujian, kan? Setiap yang turun ke universitas dunia, maka mereka akan selalu mendapat ujian. Entah itu ujian secara fisik, ekonomi, atau kesehatan. Semua dapat kadar ujian masing-masing sesuai dengan kemampuannya.” Gadis itu tertegun. Perkataan Khiya seperti menamparnya karena selalu mengeluh, seolah dia manusia paling sengsara di dunia. “Kamu benar—“ “Eh, mana barang yang kemarin aku suruh beli?” Tiba-tiba seorang gadis berpakaian modis dengan rambut panjang, dengan setengah wajah yang di tutup masker dan topi hitam, menyela percakapan mereka. Gadis itu bangkit dan memberikan sesuatu yang berbalut kantong plastik berwarna merah tua. “Harganya dua puluh ribu.” “Oke, ini uangnya,” katanya lalu langsung pergi. “Kamu bisnis juga? “tanya Khiya, saat gadis itu kembali duduk. “Jualan kecil-kecilan, hanya supleyer obat.” “Oh, obat apa? “ “Apa aja... kayak contoh gadis itu, dia beli obat bius.” “Buat apa? “ guman Khiya pelan. “Entahlah.....” Gadis itu mengangkat bahu. “Kayaknya bentar lagi kelas di mulai, kamu mending balik ke kelas.” “Kamu? “ “Hem...” Gadis itu menggeleng pelan. “Kalo gitu, see you next time ya... Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Khiya melewati koridor dan tanpa sengaja mendengar percakapan beberapa mahasiswi yang tengah berkumpul di dekat tembok. “Aku punya ide bagus, buat dapat perhatian pak Farel.” “Gimana kalo kita pura-pura, jatuh keseleo di depan pak Farel. Pasti beliau harus nolongi kita.” “Dasar modus.” Khiya mendengus mendengar itu, sembari tetap melanjutkan langkahnya. . . Farel keluar dari ruang dosen, untuk kembali mengajar setelah jam istirahat. Tiba-tiba mahasiswi yang paling dia hindari, menghentikan langkahnya. “Pak, nomor saya sudah di save, kan ?” katanya sembari menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Farel. Dan seperti biasa Farel akan menganggap gadis itu hanya seperti angin lalu, tidak dianggap sama sekali. “Pak, tadi saya gak masuk kelas bapak. Sebagau gantinya, saya di kasih tugas apa pak? “ “Pak...” “Pak... Assalamualaikum, pak.” Farel menghela nafas panjang. Salam wajib di jawab. “Waalaikumsalam.” “Alhamdulillah ternyata suara saya kedengeran, saya kira angin nutupin kuping pak dosen.” Farel tidak peduli sindiran itu, ia mempercepat langkahnya. Membuat Sania nampak kerepotan menyeimbangkan langkah kecilnya dengan langkah jenjang Farel. “Pak, saya mau kasih tahu hal penting....,” Sania memburu langkah Farel, setengah berlari. “Pak, bapak harus hati-hati.....” Farel tidak tahu harus bersikap apa pada mahasiswinya ini. Jika dia guru, mungkin dia akan memarahinya, tapi dia mahasiswa, orang yang sudah masuk dalam kategori dewasa, bukan anak kecil melakukan sesuatu karena murni kepolosannya. “PAK! Ini beneran WARNING! “ Farel menghentikan langkahnya. “Kamu mau nilai D di nilai kamu? “ Perkataan Farel berhasil membuat, langkah Sania langsung berhenti. Sania menggeleng-geleng dramatis. “Jangan ikuti saya lagi! “ Gadis itu benar-benar mematung, berhenti mengikuti langkah Farel. Farel tersenyum lega. Dia bisa ke kelas dengan tenang tanpa gangguan gadis itu. Farel melirik jam tangannya, dan tiba-tiba bahu Farel menabrak seseorang. “Aw, pak....” Mahasiswi jatuh di hadapan Farel. “Ya ampun...kamu gak kenapa-napa? “ Farel baru hendak melangkah. “Pak, pak...” Farel menoleh dan saat berbalik. Farel kaget karena entah dari mana Sania muncul dan spontan langkah Farel mundur karena Sania berada tepat di depannya. “Pak, jadi kapan kita diskusi lagi? “ “Kamu, minggir sana, saya mau nolongi orang dulu.” “Gak perlu, pak...bapak sama diakan bukan mahrom, gak boleh tahu nyentuh yang bukan mahrom-nya. Jadi biar saya urus.” Sania berbalik, masih menghadang Farel. “Tolong dong yang cewek bantuin, kasihan nih...” teriak Sania. Teriakan Sania, refleks memanggil semua pemiliki telinga untuk mendekat. Mahasiswi langsung mengerubuti gadis itu dan berniat menolong. “Bapak, bapak gak usah nolongin dia...,” bisik Sania, pelan. “Dia tuh—“ “Kenapa kamu selalu menganggu saya?! Kamu ini sebenarnya punya rasa malu tidak? Berapa kali saya harus mengusir kamu?” desis Farel, tajam. “Sekarang menyingkir dari hadapan saya.” Bibir Sania mengerucut, dengan terpaksa dia menyingkir dari hadapan Farel. Farel menghampiri gadis itu. “Apa perlu di bawa ke rumah sakit? “tanya Farel, peduli. Gadis itu langsung mengangguk semangat. “Iya pak, kaki saya sakit banget.... kayaknya kaki saya keseleo gak bisa gerak.” “AWAS, ADA KECOA! “ teriak Sania tiba-tiba. “Aaarggghh... di mana? “ “Itu di...di mana ya? “Sania terkekeh. “Kakinya gak sakit lagi? Wah kata kecoak bisa nyembuhin kaki yang keseleo. Ajaib banget ya...” Sania menggeleng-geleng dramatis. Farel tertegun. Sania menatap Farel. “Pak mulai sekarang hati-hati ya, jangan mudah percaya cewek zaman sekarang. Mereka cuman berpura-pura sakit supaya dapat perhatian bapak,” kata Sania sebelum pergi. ‘Berpura-pura sakit....’ Farel teringat Khiya dan kertas medis itu. Berpura-pura sakit, kalimat itu berputar di kepala Farel. ** Farel dan Khiya pergi ke swalayan untuk membeli keperluan bulanan, mulai dari sayur dan lauk pauk. Mereka tidak bisa untuk setiap hari berbelanja terlebih sekarang Khiya juga kuliah. Farel menatapi Khiya, gadis itu terlihat bersemangat memilih sayur-mayur, dia sudah berencana akan membuat sayur lodeh sepulang dari sini. Dia juga membeli bahan untuk membuat brownis untuk Aliya. Farel ikut tersenyum saat melihat Khiya tersenyum memilih sayur. “Gendong....” Seorang anak kecil, laki-laki berusia sekitar 3 tahun, menghampiri troli belanja mereka. Berdiri sembari mengangkat tangannya ke arah Khiya. Khiya langsung menghampiri, berjongkok menyamai tinggi badannya dengan anak kecil itu. “Gendong...,” rengeknya lagi. “Mau gendong? “Khiya bingung. Ia menoleh ke kanan- ke kiri, mencari siapa orang tua anak itu. “Gendong...” Kali ini anak kecil itu hampir menangis jika Khiya tidak langsung mengendongnya. “Namanya siapa?” tanya Khiya, lembut. “Balan...” jawabnya cadel, khas anak kecil. “Mau itu...” katanya menunjuk pada kaca es di depan mereka. “Mau es cream? “ Balan mengangguk, membuat pipi tembennya memantul-mantul. Farel gemas melihat itu, begitu pun Khiya, Khiya tidak tahan untuk mencubit pelan pipi cabi itu. “Balan suka es cream? Kakak juga suka es cream...” Farel berinisiatif untuk mengambil es cream dari dalam lemari es, tapi gerakan Khiya lebih cepat, darinya. Khiya mengambilnya es crame sembari tetap menggendong anak kecil itu. “Hubby, mau es cream juga? “ Farel menggeleng. Farel memang tidak terlalu suka es cream. “Mau coba? “Khiya menyodorkan es cream miliknya pada Farel. “Rasanya enak banget.” Farel tidak enak untuk menolak. Farel hendak menggigit es cream itu. Tapi yang terjadi, ujung es craem itu malah bertanggar di cuping hidung mancung Farel. Dan pelaku utamanya, anak kecil itu yang tanpa sengaja menyenggol tangan Khiya. Khiya spontan tertawa. Farel baru melihat Khiya bisa tertawa selepas ini. Farel ikut tertawa, meski dia tidak merasa ini lucu. “Ini namanya es cream rasa hidung,” kata Khiya di sela tawanya. “Baran...” Seorang wanita paru baya menghampiri mereka. “Baran...akhirnya mama ketemu kamu...” katanya, pelan. Terlihat raut wajah lega di sana. “Mama, cariin kamu dari tadi...” “Ternyata nama kamu Baran...” Tangan Khiya kembali bertengger di pipi cabi Baran. Baran mengangguk-ngangguk. Sangat mengemaskan. “Maaf, tadi Baran tiba-tiba datang terus minta di gendong. Mungkin Baran capek jalan.” “Iya tidak masalah. Justru saya sangat berterima kasih sudah mau jagain Baran. Tadi saya milih sayur, dan Baran gak tahu tiba-tiba main ke mana,” katanya. Seorang ibu selalu mencemaskan anaknya, bahkan meski anaknya sudah dianggap dewasa di mata dunia. “Ayo sekarang, Baran turun....kita pulang.” “Gak mau, Ma. Balan mau sama kakak ini...Mama gak mau gendong Balan. Balan mau di gendong kakak.” “Eh, kok...gitu kasihan kakaknya harus gendong Baran. Baran kan udah besar, udah bisa jalan, harus belajar jalan.” “Gak mau, Ma... Balan mau sama kakak ini aja...” Baran mengalungkan tangannya di leher Khiya, enggan lepas. “Baran, gak boleh gitu, nak...” Wanita paru baya itu, mencoba melepaskan Baran dari Khiya. “Gak mau, ma...” rengeknya. “Tidak masalah, Bu. Biar Baran, saya ajak keliling-keliling dulu. Mungkin setelah itu dia mau lepas. Akan saya bujuk perlahan,” kata Khiya. Farel memperhatikan Khiya. Tatapan tulus Khiya pada Baran terlihat jelas di sana. “Duh, jadi malah ngerpotin...” wanita paru baya itu nampak tidak enak. Tapi Khiya berhasil dengan seni meyakinkannya, bahwa dia tidak keberatan sedikit pun untuk mengajak Baran—bocah lucu dan menggemaskan itu. “Jadi Baran mau ke mana? Baran mau liat sayur-sayuran? Di sana ada banyak warna yang bagus...” “Iya, mau...” Farel memperhatikan Khiya, dia masih bertugas mendorong troli belanjaan hingga hanya bisa mengikuti dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Bak seorang ibu peri, sangat pandai mengambil hati anak kecil itu. Dia memperkenalkan beragam warna-warna dengan cara yang menarik, meski Baran mungkin tidak terlalu mengerti, tapi bocah itu sangat bahagia. “Sekarang mau liat ikan...,” kata Baran lagi. Khiya terus menuruti keinginan Baran. Mereka berkeliling, hampir semuanya mereka singgahi. Farel heran, apa Khiya tidak merasa lelah? Sedangkan dia yang hanya mendorong troli sudah merasa sangat lelah. Baran tertidur dalam gendongan Khiya. Khiya kembali memberikan Baran pada ibunya. Farel melihat sorot sedih dari mata Khiya saat Baran lepas dari gendongannya, diambil alih ibu Baran. Ikatan mereka sudah terjalin meski dalam waktu yang singkat. “Jadi anak yang sholeh ya Baran sayang...” Khiya mengecup sekilas pipi Baran. “Terima kasih sekali lagi...” “Saya yang seharusnya terima kasih, bu... Baran anak yang lucu dan baik... “ “Kalo gitu, saya pamit pulang ya..” Khiya mengangguk sedih, di kerasnya genggaman mungil tangan Baran dari tangannya. “Dahhhh...” Khiya melambaikan tangannya mengiringi wanita paru baya dan Baran. Mata Khiya berkaca-kaca. Farel juga merasa seperti baru saja kehilangan. “Aw.... “ Farel kaget karena tiba-tiba badan Khiya seperti limbung ke arahnya. Dan jatuh dalam pelukannya. “Kamu sakit? “ Khiya memijati kepalanya. “Hubby, tolong papah aku ke mobil kepala aku rasanya sakit banget, aku takut jatuh kalo jalan sendiri. Penyakit aku kambuh lagi.” Farel teringat perkataan Sania, ‘pura-pura sakit’. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN