Pingsan

2446 Kata
Khiya tidak bisa tidur. Dia sudah berusaha untuk memejamkan matanya, merebahkan tubuh di kasur dan mematikan semua lampu kamar yang hanya menyisakan lampu tidur saja. Tapi semua itu tidak berarti. Tubuhnya lelah tapi matanya tidak kunjung terbujuk untuk tidur. Rasa kantuknya seolah menguap. Semua itu karena efek obat yang baru saja Khiya minum. Khiya bangkit dari kasur dan duduk di meja belajarnya, terpaku melihat jam yang bergerak pelan. Detak jam pelan senada dengan detak jantung Khiya. “Mungkin kalo olahraga kecil, bisa bikin ngantuk...” Khiya mulai menggerakkan tangannya, lalu kakinya, lalu kepalanya. Sepuluh menit Khiya melakukan itu, dan dia malah semakin terjaga. “Huft...”Khiya ngos-ngosan. Ide buruk ternyata untuk melakukan olah raga kecil yang tidak membantunya sama sekali. Khiya menghempaskan tubuhnya di kasur. Memandangi langit-langit kamarnya yang berwarna biru seperti air namun Khiya lebih suka melihatnya seperti awan, dan saat dia melihatnya dia akan merasa seperti tengah bergabung di atas langit. Rumah milik Farel memang sangat indah. Semua di atur dan dibuat sedetail mungkin. Ya.. Bagi Khiya ini ‘hanya' rumah Farel. Sedangkan Khiya, dia hanya seperti tamu yang menetap selamanya di sini. Hanya itu. Tidak lebih. Entah kapan Khiya bisa menjadi pasangan Farel. Khiya rindu rumahnya. Tapi Khiya juga senang ada di rumah Farel. Rumah yang akan menjadi saksi bisu betapa dua manusia yang hidup bersama tapi seperti dua asing yang berbeda. Mereka bertahan dengan kewajiban dan tugasnya saja. Tapi tidak bertahan untuk saling membaur. Khiya terlalu nyaman di balik temboknya dan Farel juga begitu. Setiap mereka bertemu, yang terlihat hanya tembok yang melapisi mereka. Khiya mendesah pelan, bangkit dari kasur kembali ke meja belajarnya. “Dari pada gak bisa tidur mending ngerjain tugas aja deh...,” gumam Khiya. Lima menit ia fokus mengerjakan tugasnya, menit berikutnya Khiya mengalami stuck. Dia tidak mengerti tugasnya, ia mencari referensi di buku tapi tetap tidak mengerti. “Hufttt.... “ Khiya menyenderkan tubuhnya di bahu kursi, menatap banar tugasnya itu. Akibat tidak ikut kelas, dia jadi bingung bagaimana mengerjakannya. Frustrasi dengan tugasnya, Khiya meraih ponselnya, mencari hiburan, tapi tidak ada juga yang menarik perhatiannya. Kepalanya masih dipenuhi tugasnya yang mengantung. “Farel udah tidur belum ya? “ “Kenapa gak tanya sama pak dosen aja... siapa tahu di balas, walau peluangnya cuman dua persen. Kalo belum coba, mana tahu hasilnya.” Khiya mengetik sesuatu di ponselnya, ‘Pak, pak....bisa bantu saya gak? Tugas saya susah banget, saya gak ngerti, pak.’ ‘Ini pertama kali saya buat jurnal. Saya gak ngerti pak...’ ‘Pak bantu orang dapat pahala loh....’ Khiya mantengi ponselnya, harapan dua persen untuk dibalas menjadi harapan Khiya untuk bertahan melihati ponselnya. Meski Khiya lebih yakin pesannya akan berakhir sama dengan pesannya terdahulu. Tidak di read dan langsung di hapus. Mata Khiya terbelalak, saat status pesannya berubah menjadi terbaca hanya dalam hitungan dua menit. Belum selesai kaget dengan itu, terlihat status Farel mengetik.... Khiya makin kaget. ‘Kamu coba liat apa petunjuk yang dosen kasih.’ Seperti terhipnotis, Khiya langsung mengambil bukunya, perkataan Farel barusan seperti perintah yang harus segera Khiya tunaikan. ‘Udah, Pak...’ Satu menit. ‘Sekarang coba kamu pikirin hal menarik yang ada di sekitar kamu.’ Hati Kita berbunga-bunga hanya karena kalimat itu. Khiya kembali membaca dan otaknya seperti tercerahkan. “Ah, jadi aku tinggal masukin ini ke sini. Masyallah ternyata gitu. ‘Udah kepikiran temanya? ‘ Farel sangat peduli bukan? Tangan Khiya langsung gesit menjawab. ‘Komodifikasi. Saya kepikiran judulnya komodifikasi terhadap hijab. Tapi saya ragu, pak.’ ‘Jangan ragu. Coba saja dulu.’ ‘Iya, Pak.’ ‘Kamu mau klam apa di jurnal itu? ‘ ‘Hem, jilbab yang mengalami pergeseran makna karena dijadikan komoditi.’ ‘Bagus.’ Ahh.... Khiya mengambil bantal, menutupi wajahnya. Pujian pertama yang Farel berikan untuknya sukses membuat Khiya senang dan malu. ‘Mau pakai teori apa? ‘ ‘Hem, saya belum tahu pak.’ ‘Teori komodifikasi menurut Karl Max, gimana? Coba kamu liat jurnal yang saya kirim. Mungkin itu bisa jadi acuhan.’ ‘Iya, pak dosen. Makasih banget pak... ‘ ‘Sama-sama.’ ‘Pak dosen, kenapa belum tidur jam segini? Banyak tugas ya, pak? Enak gak sih pak jadi dosen?’ Hanya di baca. “Kayaknya kalo aku bahas hal pribadi gak akan di jawab deh,” gumam Khiya. Farel memang tidak suka kalo kehidupan pribadinya di tanyakan. Khiya lupa itu. ‘Pak, besok kita kumpul lagi, kan? Bahas penelitian bapak?’ ‘Iya. Jadwalnya di maju. Kamu bisa datang lebih awalkan? Jangan sampai telat.’ Khiya refleks menggigit bibir. Dia harap, dia bisa. ‘Tugas kamu sudah selesaikan ? Sebaiknya kamu tidur, biar besok gak telat.’ Khiya tersenyum. ‘Iya, pak...’ Khiya mencari emot tersenyum lebar tapi jarinya malah mengklik emot love. Khiya menepuk pelan jidatnya, kecerobohan yang dia sukai btw. Khiya tersenyum jahil membayangkan wajah kesal Farel. ‘Maaf pak, salah kirim emot.’ Read. ‘Tapi kalo di anggap serius juga gak pa-pa, Pak.’ Khiya memejamkan matanya menikmati rasa bahagia yang mengalir dibenaknya. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang beterbangan digantinya, membuatnya ingin terbang juga. Terbang jauh.... Untuk pertama kalinya Farel membantunya membuat tugas kuliah, seperti adegan romantis n****+-n****+ yang sering Khiya baca. Dosen yang menikahi mahasiswi nya... “Ya Allah...” Khiya tidak bisa menahan senyumnya untuk selalu terbit. Aneh memang.... Khiya tidak pernah berani untuk meminta Farel membantunya membuat tugas kuliah. Tapi saat menjadi Sania. Sosok Khiya yang pemberani akan berani menampakkan dirinya, todak terus bersembunyi di balik tembok tebal. Bisakah Khiya menjadi Sania saja? ** “Satu kesalahan kamu Farel.” “Kamu terlalu naif! “ “Semua orang bisa dengan mudah menipumu.” “Aku tidak sakit Farel. Kamu saja yang bodoh..” Farel terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam menujukan tengah malam. “Huft...” Farel memijat pelan kepalanya, sebelum bangkit dari kasur. Rasa haus memaksa Farel untuk ke dapur, mengambil barang segelas air putih. “Kenapa Khiya belum tidur?” gumam Farel. Farel berjalan mendekati kamar Khiya. Farel hendak mengetuk kamar Khiya namun segelibat ingatan menghentikan tangannya. “Satu....dua....tiga....” Samar-samar Farel mendengar suara Khiya dari dalam kamarnya. Khiya sedang berolahraga. Dia sakit? “Empat ..lima...enam...tujuh...delapan.” “Satu—“ Farel berbalik, kembali ke kamarnya. ‘Dia berpura-pura’. Farel benar-benar terganggu dengan kalimat yang dua hari belakangan ini hadir tanpa jeda di kepalanya. Farel menghidupkan laptopnya, matanya mulai mantap layar itu tanpa beralih sedikit pun, seolah jika dia berpaling maka layarnya akan hilang. Farel sengaja menyibukkan dirinya dengan semua huruf-huruf itu. Karena jika dia tidak sibuk, maka pikirnya hanya akan berputar tentang masalah tadi. “Ya Allah....” Farel menghela nafas panjang. Hatinya terasa gelisah. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Entah kenapa itu terasa seperti angin segar bagi keheningan yang terjadi. “Dia lagi....” Farel menatap ponselnya. Tertera nomor ponsel yang meski tidak Farel simpan, tapi Farel tahu siapa pemilik nomor itu. Yap. Sania. Biasanya Farel tidak mau membuka pesan dan menghapusnya. Tapi malam ini, entah kenapa Farel seperti tidak mau melakukannya. Dan tangannya, membuka pesan itu. “Dia butuh bantuan ?” gumam Farel. Tangan Farel sedikit ragu, tapi dia tetap mengetik sesuatu di sana. Meski yang mereka bahas memang benar, tapi Farel merasa ini tidak benar. Ada rasa tidak nyaman di hati Farel, semua ini terjadi murni karena Farel benar-benar menjaga dirinya dari apa yang mendekatkan dirinya dari zina. Termasuk hal-hal yang bisa menjadi pelantara zina. Zina tidak hanya soal berhubungan s*****l saja, ada juga zina mata—melihat apa yang bukan haknya. Zina hati—berangan-angan, zina tangan—menyentuh, memegang yang tidak halal baginya, dan semua itu akan di akan diikari atau dibenarkan oleh k*********a. Bagi Farel chatan dengan gadis yang bukan mahramnya, itu salah menurut Farel. Sama saja seperti mereka ber-duaan meski hanya secara online. Farel takut. Tapi.... Tapi kali ini, Farel malah semakin tertarik pada obrolan yang memang masih dalam batasan. Tanpa Farel sadari, waktu berlalu dan Sania membantunya melupakan kegelisahan yang ada. Farel tersenyum.. Ponsel Farel kembali bergetar. Emot love. Seketika senyum Farel runtuh. Farel tersadar. Ini salah.... batinnya. Ponsel Farel kembali bergetar. ‘Maaf pak, salah kirim emot.’ ‘Tapi kalo di anggap serius juga gak pa-pa, Pak.’ Farel langsung mematikan ponselnya. Menyimpan benda pipih itu di dalam nakas. “Ya Allah....” Farel merasa gelisah. Hatinya seolah penuh sesuatu yang entah apa. Farel melihat jam, sudah pukul dua dini hari. Farel bangkit dati kursi, berjalan ke kamar mandi. Terdengar suara gemercik air, lalu Farel kelur dengan wajah basah. Farel habis mengambil wudu. Hatinya gelisah, dan salat bisa menenangkan hatinya. Farel membentangkan sajadahnya. Melaksanakan salat tahajud dua rakaat lalu disambung dengan wirid dan dzikir. “Ya Rabb...sesungguhnya hanya kepadamu hamba berserah. Apa pun itu, Engkau lebih tahu,” lirih Farel. Hati Farel terasa tenang. Tidak terasa waktu berlalu, rasa kantuk sudah datang kembali. Farel melipat sajadahnya dan merebahkan tubuhnya di kasur. “Apa pun itu, Khiya tetaplah istriku. Dia orang yang sudah aku nikahi secara sah. Dan Allah telah meridhoi hal itu.” Farel memejamkan matanya, berharap gemuruh tanya akan berhenti bersuara dan membiarkan dia tidur. ** Khiya sudah bangun sejak tadi. Ia sudah memasak dan membereskan rumah. Hari ini Farel ingin bertemu Sania lebih pagi. Tapi meski begitu Khiya harus menunggu Farel pergi terlebih dahulu, setelahnya baru Khiya bisa pergi. Khiya juga sudah melapisi gamisnya dengan style ala Sania. Dan saat Farel pergi, Khiya buru-buru memesan ojek online dari smartphone-nya. Sebenarnya Aliya ingin menjemput Khiya dengan motornya, tapi Khiya melarang hal itu. Khiya menyuruh Aliya untuk istirahat dan tidak perlu mencemaskannya. “Assalamualaikum, pak, bapak udah di mana ya?” “Iya, saya Sania... apa bapak masih di daerah sana, macet ya pak?” “Ya ampun, saya buru-buru soalnya, Pak. Pak, saya boleh cancel gak? Iya, Pak, saya buru-buru banget. Maaf ya pak. Terima kasih sebelumnya, pak.” Khiya kembali memesan ojek online, kali ini Khiya beruntung dia mendapatkan ojek yang dekat dengan titik rumahnya. Hanya butuh dua menit, ojek online itu datang. Khiya buru-buru naik. Ia meletakan tasnya di tengah sebagai penghalang antara keduanya. “Pak, saya agak telat. Apa bisa agak cepatan dikit? “ “Bisa, Neng. Tenang aja. Abang tahu jalan tikus biar gak macet.” “Alhamdulillah,” Khiya berharap mereka cepat sampai. . Tapi tiba-tiba motor itu berhenti. “Kenapa, Bang? “ “Motornya kambuh neng. Masuk angin. Mogok.” “Astagfirullah, terus gimana Bang? “ “Ini pasti lama, Neng. Harus di bawa ke bengkel.” “Ya ampun...,” Khiya bingung. “Neng, mending neng naik ojek yang lain aja. Saya telepon teman saya. Butuh waktu tapi seperempat jam.” “Seperempat jam?” Khiya kaget. Dia tidak punya waktu sebanyak itu. “Atau neng, naik angkot aja....” Ide bagus. “Ini bang uangnya.” Khiya memberikan sejumlah uang sesuai aplikasi, meski ojek itu belum mengantarkan Khiya sampai ke tempat tujuan. “Saya naik angkot aja, Bang.” “Neng, gak usah bayar.” “Gak pa-pa, Bang.” “Makasih ya, Neng. Hati-hati, Neng.” “Iya, Bang....” Khiya buru-buru naik angkot. Tapi naas, lagi-lagi dia terjebak. Kali ini Khiya terjebak macet. Khiya mencoba menelepon Farel, tapi Farel terus menolak panggilannya. Khiya juga mengirim pesan, tapi Farel tidak membacanya. Khiya frustrasi, jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia sudah telat satu jam lebih. Tidak ada pilihan lain... Khiya akan sampai ke kampusnya dengan berlari. Khiya keluar dari angkot. Sinar matahari langsung menyapanya. Tapi Khiya tidak peduli, Khiya terus terbayang wajah Farel. Dia tidak mau Farel sampai kecewa karena dia tidak menepati janjinya. Farel tidak suka orang yang mengingkari janji. Dan Khiya sampai di kampus, setelah seperempat jam berlari. Khiya bermandikan keringat, tapi lagi-lagi Khiya tidak peduli. Ia memburu langkahnya ke perpustakaan, tempat mereka janjian untuk membahas penelitian Farel. Sesampainya Khiya di sana. Farel dan yang lain, baru hendak membubarkan diri. “Pak... Pak... Maaf...saya tadi—“ “Kamu telat,” sela Farel. “Tidak masalah, sejak awal saya memang tahu kalo kamu tidak serius membantu.” “Bukan gitu pak...tapi tadi tuh macet pak...” Farel berjalan meninggalkan Khiya, tidak peduli apa yang gadis itu katakan. “Pak, saya mohon, jangan keluarin saya.” “Pak, saya minta maaf...” “Pak, kasih saya satu kesempatan lagi...” Khiya menghadang langkah Farel. Farel tidak bergeming dan tetap pada keputusannya. “Pak gak akan pergi dari lapangan sebelum bapak kasih saya satu kesempatan lagi,” tekad Khiya. Farel mengangkat kepalanya sedikit, melihat matahari yang bersinar terik. “Kamu ngacam saya?” “B-bukan gitu, Pak.. tapi...” “Jangan suka mengancam orang. Kamu bukan anak kecil lagi,” kata Farel dingin. Khiya terlalu terbawa perasaan sampai mengatakan kalimat itu. Khiya lupa kalo dirinya tidak boleh kelelahan dan terpapar sinar matahari terlalu lama. Meski menjadi Sania, Khiya tetaplah Khiya yang mengidap penyakit lupus. “Silahkan saja di sini. Sinar matahari jam segini baik buat kulit dan mungkin buat mentalitas kamu juga,” kata Farel sebelum melangkah pergi. Khiya meringgis sedih. Sinar matahari di jam sekitar 9-10 memang baik untuk orang normal. Tapi tidak untuk Khiya yang mengalami sakit lupus. Matahari adalah hal yang harus Khiya hindari. . . Telat adalah hal yang paling tidak Farel suka. Dia tidak suka orang-orang yang biasa berorientasi dengan jam karet. Biasanya Farel tidak marah pada orang-orang telat, tapi Farel akan mengingat hal itu dan tidak akan percaya lagi. Begitulah yang terjadi pada Sania. Farel tidak percaya Sania lagi karena dia telat dan tidak menempati janjinya. Macet .... Alasan klasik. Hari ini macet.... Besok kesiangan Selalu ada alasan untuk datang telat. Orang tidak akan terjebak macet jika dia benar-benar serius memperhitungkan segalanya, mulai dari kapan harus berangkat dan jam-jam rawan macet. Mereka terjebak macet karena ulah mereka sendiri. Farel menghela nafas panjang, entah kenapa dia merasa kesal pada Sania, tidak biasanya dia sekesal ini. Farel melihat ponselnya, banyak notif panggilan tidak terjawab dan beberapa pesan. Farel langsung menghapus pesan Sania tanpa membacanya. Farel ke ruang dosen untuk mengambil berkasnya. Setelah menyuruh Sania keluar dari tim, Farel harus mencari fasilifator baru, untuk menghubungkan dirinya dengan narasumber. “Bu, itu ada apa ya ramai-ramai di koridor ?” “Ada yang pingsan, bu.” “Innalilahi......” Farel baru sadar keadaan saat kata innalilahi di ucapkan salah satu rekan kerjanya sesama dosen. “Siapa yang pingsan ?” “Itu mahasiswa semester satu, penerimaan beasiswa. Siapa ya namanya? “ Sania, batin Farel. Farel buru-baru menyimpan berkahnya di laci dan berjalan cepat kelapangan. Farel melihat para mahasiswi menopang tubuh Sania ke tepi lapangan. Farel hendak mendekat, tapi langkahnya membeku saat melihat Sania menatap ke arahnya. Farel segera membuang wajahnya, bukan karena dia merah atau kesal pada Sania—tapi karena hatinya meminta hal itu. Farel merasa tidak nyaman? Seolah ada dosa di sana.... **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN