Mencari kesempatan

1926 Kata
Khiya memikirkan kembali saran Aliya. Khiya jadi sulit tidur. Langkah raksasa yang akan Khiya ambil, membuat Khiya merasa sangat deg-degan, sama seperti saat dulu dia menjadi Sania. Rasanya seperti ada bom waktu di hatinya yang terus berdetak, mengingatkan Khiya dengan rasa euforia berlebihan. Khiya melirik jam dinding dan memutuskan untuk meredam debar deg-deganya dengan menunaikan solat malam. Dalam sujudnya, Khiya berdoa, semoga Allah membuka hati Farel untuk ia bisa masuk. Tidak lupa Khiya juga mendoakan keluarganya yang telah duluan ke surga. “Ya Rabb...sesungguhnya Engkaulah penjaga hati dan pembolak-balikan hati, maka sentuhlah hati dia... Dia yang hamba sebut sebagai suami. Jadikanlah rumah tangan ini, menjadi rumah tangannya yang hidup dan penuh ridho serta berkah-Mu. Jadikan lah kami saling melengkapi untuk meraih cinta-Mu. Jadikanlah cinta kami berlabuh di atas kapal cinta-Mu. Ya Rabb...sungguh hanya kepada-Mu hamba memohon dan berserah diri. Aamiin.” Setelah salat malam, rasa kantuk merambah Khiya. Khiya akhirnya tertidur dengan perasaan lega. Khiya tidak sabar menunggu hari esok, yang insyallah akan jadi lebih baik dari hari ini. “Hubby... Selamat tidur,” gumam Khiya pelan. Setidaknya Khiya harus berlatih sekarang, kan? Sebelum suatu saat dia akan benar-benar bisa mengatakan itu pada Farel, saat Farel menjadi orang pertama yang akan ada di sisinya saat dia bangun dan tidur. Itulah harapan sederhana Khiya. ** Khiya sudah siap dengan segala yang ingin di bawa. Kue, roti dan mengemasi baju Farel dan bajunya. Khiya sudah siap dan duduk dengan tenang di sofa menunggu Farel. Senyum mengembang sejak tadi di wajah Khiya. Sangat terlihat Khiya begitu bahagia. Farel baru pulang dari salat berjamaah di masjid, Khiya buru-buru menyalimi tangan suaminya itu. “Semua sudah siap, By,” lapor Khiya. Farel tersenyum kecil. “Semuanya sudah kamu bawa, termasuk obat? “ “Iya sudah, sudah aku letakan di tas kecil itu. Di sana ada obat dan vitamin hubby juga.” “Kalo gitu, aku ganti baju dulu, terus kita makan dan pergi.” “Iya. Aku juga sudah siapin sarapan pagi.” Keduanya lalu berpisah, Khiya ke dapur sedangkan Farel langsung ke kamarnya. Lima menit berlalu, Farel keluar dengan kemeja putih dan celana denim longgar, menghampiri Khiya yang masih nampak sibuk. “Hubby, kenapa pakai kemeja? Di sanakan dingin, lebih cocok kalo pakai jaket sport yang udah aku taruh di atas kasur hubby.” “Jaket itu warna merah.” Beberapa detik, Khiya mencerna gumam pelan Farel. Khiya memutar otak mencari di mana letak salahnya? Itu jaket milik Farel, dia yang membelinya sendiri, jadi mustahil dia tidak suka warna merah. Farel juga sering menggunakan jaket itu saat merasa kedinginan. Tapi kenapa sekarang, atau karena... Sania. Khiya tertegun. Sania terakhir kali menggunakan sweter warna merah. Apa itu yang ingin Farel hindari? Farel ingin ke rumah orang tuanya, agar tidak terus memikirkan Sania. Apa itu juga penyebabnya? Hal sepele itu ternyata sangat Farel perhatian, apa setelah hari itu, Farel akan selalu menghindari warna merah? “Kenapa? “tanya Khiya berani keluar dari pemikirannya. “Hem, kebakaran identik dengan warna merah. Aku hanya ingin menghindari itu.” Kali ini Khiya salah. Huft... Khiya harus benar-benar me-refreshingkan otaknya agar tidak terus-terusan mengenai Sania. Keduanya lalu makan dalam diam, menikmati roti dan segelas teh hangat. “Sudah selesai? “ tanya Farel, terlihat piring Farrl sudah kosong. Khiya baru saja menegak obatnya, lantas mengangguk pelan. Farel bangkit diikuti Khiya, yang langsung mengekor di belakang Farel. Farel mengambil tas sedang yang berisi pakaian dan membawa serba-serbi yang Khiya siapkan. Hal sepele tapi begity berarti bagi Khiya, Khiya tersenyum bahagia. “Biar semua aku aja yang bawa, kamu bawa tas isi obat aja,” kata Farel. Khiya mengangguk, Farel melangkah duluan keluar. “Oh iya, di sanakan dingin, Farel juga gak pake jaket. Sebaiknya aku bawa selimut kecil buat di jalan, takutnya Farel kedinginan di jalan.” Khiya memutar langkahnya ke kamar miliknya, mencari selimut sedang yang tidak terlalu tebal tapi tetap hangat. Itu selimut warisan orang tuanya. Jarang sekali Khiya pakai, bukan tidak suka, hanya saja Khiya takut benda-benda peninggalan mereka rusak atau apa. Ini benda-benda yang setidaknya bisa mengobati rindu Khiya pada mereka. “Khiya....” suara Farel terdengar dari teras rumah, membuyarkan lamunan Khiya tentang sepenggal cerita yang masih dia ingat. Khiya kehilangan orang tuanya saat usianya masih sangat kecil, tepatnya saat dia baru menginjak kelas tiga SD, banyak kenangan yang samar terlupakan olehnya. Kehidupan awal Khiya, Khiya dirawat oleh pamannya, sampai dia kelas enam SD, tapi lagi-lagi Khiya harus kehilangan satu-satunya keluarga yang dia miliki. Pamannya kecelakaan dan Khiya diusir dari rumah kontrakan pamannya. Khiya terpaksa harus kembali ke rumahnya sendirian. Di sana Khiya bisa hidup berkat uang asuransi orang tuanya yang tiap bulan di kirimkan pada Khiya, karena pamannya sebagai wali telah meninggal. Perjuangan hidup Khiya mulai dari sana, hingga ia bertemu ibu Farel dan semuanya. Khiya melihat ke jendela. Rupanya Farel sudah menunggunya. Khiya terlalu larut dalam pikirannya, buru-buru Khiya berlari keluar kamar. “Apa ada barang yang ketinggalan ?” tanya Farel, karena Khiya lama sekali keluar. “Gak ada. Tadi aku cuman ambil selimut ini doang.” Farel masuk ke mobil, Khiya juga melakukan hal yang sama. Keduanya membaca doa terlebih dahulu sebelum pergi. “Bissmillah,” gumam Farel, pelan. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membela langit yang masih berwarna biru gelap, khas warna langit saat bertransisi dari gelap ke terang. Matahari sudah sedikit nampak meski belum dengan sinarnya, embun masih bertengger di daun yang terlihat pohon-pohon nampak segar. Khiya suka suasana ini. Dia membuka kaca jendela mobil, dan tidak akan membiarkan kesempatan menghirup udara segar terlewatkan begitu saja. Senyum mengembang di wajah Khiya. Farel fokus pada kemudinya hingga tidak sadar betapa bahagianya Khiya. Ini perjalanan pertama mereka setelah menikah, yah... Meski sudah hampir satu tahun menikah, Farel selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk berpergian. Atau Farel yang tidak ingin menyisikan waktunya untuk Khiya? ‘Selain nyingkin Sania, Lo harus mengisi kekosongan Sania juga. Ini waktu yang tepat buat Lo, Khy.’ Khiya teringat perkataan Aliya semalam. Khiya tidak boleh menghilangkan kesempatan ini. “Hubby...,” panggil Khiya. “Iya? “Farel menyahut tanpa mengalihkan pandangnya dari kemudi. “Ibu senang banget pas dapat kabar kalo kita mau ke sana.” Farel tersenyum kecil. “Iya, ibu dari bulan kemarin udah nyuruh kita ke sana. Tapi bulan-bulan kemarin kita lagi sibuk-sibuknya, mana kamu juga kuliah. Oh iya. Gimana kuliah kamu? “ Khiya tersenyum senang. “Alhamdulillah lancar, By. Bentar lagi juga mau UTS.” “Kapan? “ “Bulan besok.” “Sama kayak jadwal UTS di kampus aku ya.” Khiya mengangguk sembari tersenyum simpul. Jelas sama lah... “Terus gimana pelajarannya? Ada yang gak kamu ngerti? Kamu bisa tanya aku, barang kali aku bisa bantu.” Hari ini Farel sangat manis. Bolehkah Khiya minta waktu untuk berhenti ? Dia sangat tidak menyangka hari ini perlahan tembok di antar mereka mulai mencair. Tidak hanya seputar obat lagi... “Iya. Kebetulan aku dapat dosen yang baik. Waktu itu aku ada tugas jurnal, dan beliau demgan senang hati membantu. Alhamdulillah jurnalnya dapat nilai bagus.” Farel tersenyum kecil. Ia kembali terkenang Sania. Saat Farel membantu Sania membuat jurnalnya. Farel merasa bersalah, dia membantu Sania dan tidak peduli pada Khiya, istrinya. “Teman-teman di sana juga baik-baik banget. Mereka selalu bantuin aku kalo lupa jadwal atau lupa kelas.” “Hem, alhamdulillah kalo gitu.” “Kalo hubby gimana? Kerjanya lancar? Gimana penelitian jurnalnya, udah selesai?” Farel menoleh. “Dari mana kamu tahu aku buat penelitian jurnal ?” Khiya terdiam. Ck, dia lupa Farel tidak pernah menceritakan itu. “Oh, aku pernah cerita ya, kalo gak salah? “gumam Farel. Setelahnya ia tidak menuntut jawaban pada Khiya. Khiya menghela nafas lega, karena sudah terselamatkan dari pertanyaan Farel. “Hubby...” panggil Khiya lagi. “Iya? “ “Hem...” Khiya malah bergumam, bingung bagaimana agar tidak terjadi hening. Tapi tidak ada pertanyaan di benak Khiya. “Ada apa Khy ?” tanya Farel. Khiya tidak tahu harus menjawab apa. Farel kembali fokus pada kemudinya. Keheningan kembali melanda keduanya. Khiya pun memilih untuk menatap ke arah lupa jendela, berharap ada transfer pertanyaan untuk mengisi keheningan ini. Tiba-tiba hawa dingin masuk lewat jendela, langit yang awalnya biru terang berubah jadi mendung. “Khiya, tutup aja jendelannya. Anginnya dingin,” kata Farel. Khiya menurut dan langsung menutup jendela mobil. Dari balik jendela mobil yang tertutup Khiya melihat setetes air mulai jatuh ke bumi. Pelan, pelan dan lama-kelamaan mulai deras. Khiya memperhatikan hujan dengan senang, tidak lupa ia membaca doa hujan... Berbanding terbalik dengan Khiya, Farel nampak terkenang ingat kembali pada Sania. Saat waktu yang dia habisnya untuk menemani Sania yang takut petir. Jedar! “Argh! “ Khiya spontan melompat kecil dari kursinya, beringsut mendekap lengan Farel. “Ya Allah, petirnya....” gumam Khiya, di balik lengan Farel. Khiya menutup matanya rapat karena takut. Farel melihat Khiya dan dia teringat sosok Sania. Mereka sama-sama takut petir. “Gimana kalo kita hidupin murotaal Al-Qur’an,” kata Farel menenangkan. Khiya mengangguk setuju, masih setia bersembunyi di balik lengan Farel, Khiya belum menyadari kalo posisi itu sebenarnya menyulitkan Farel, baik saat mengemudi atau saat hendak menyetel murotal di mobil. Tapi Khiya sangking takutnya tidak memperhatikan itu. “Apa surah favorit kamu? Ar-rahman? “tanya Farel. “Hem,” Khiya berpikir sejenak. “Aku pengen dengar murotal juz 29 sekalian mau murojaah,” sambung Khiya. Setelah terdengar lantunan surah Al-Mulk, Khiya perlahan melepaskan lengan Farel dan sekarang duduk di dengan posisi normal di kursinya. Mulut gadis itu bergerak tanpa suara, mengikuti lantunan suara murotal Al-Qur’an. Tanpa sadar Farel juga spontan melakukan hal itu. “Hubby hafal juga? “tanya Khiya, antusias. “Gak terlalu hafal, cuman sering baca sebelum tidur.” “Sama,” sahut Khiya lebih antusias dari tadi. Farel baru melihat warna Khiya ini. Khiya biasanya tidak terlalu suka memperlihatkan kebahagiaan dari nada suaranya. “Nanti pas kita sekamar, kita bisa baca Al-Mulk sama-sama ya, By.. “sahut Khiya spontan. “Hem.” Farel tersenyum canggung, pernyataan Khiya barusan terdengar seperti hem...Farel merasa bersalah untuk itu. Sebagai suami dia bahkan belum memenuhi kewajibannya. Kapan dia akan siap? Kapan Farel akan mulai lembaran baru dengan Khiya, seutuhnya? Farel menghela nafas panjang. Khiya mendengar itu. Khiya butuh waktu mencerna perkataannya sendiri. Setelahnya, dia baru sadar, bahwa dia terlalu lost control. Khiya memarahi dirinya sendiri, kalimatnya barusan seperti menuntut Farel untuk menunaikan kewajibannya sebagai suami. Farel mungkin merasa tidak nyaman sekarang, Khiya merasa bersalah. Khiya melirik Farel. Farel nampak fokus dengan kemudinya. Khiya menarik nafas dalam, mencoba menepis rasa tidak nyaman di hatinya, dan mencoba larut dalam lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. “Khiya....” panggil Farel. “Iya? “ “Apa aku selama ini membuat kamu sedih?” Farel tahu sebenarnya dia tidak pantas menanyakan hal itu, karena jelas Farel membuat Khiya sedih, bahkan sejak hari pertama mereka menikah, saat Farel memilih untuk belum berani melangkah lebih jauh bersama Khiya. “Hem...” Khiya bergumam pelan. Dia harus jawab apa? Dia bahagia? Atau sedih? “Maafkan aku, Khiya. Aku belum bisa membuat kamu bahagia.” Kalimat yang sebenarnya tidak Khiya inginkan. Khiya tidak suka membuat Farel merasa bersalah dan semakin membentangkan jarak mereka. “Hubby ..” Khiya harus berani. Dia tidak boleh terus-terusan menyembunyikan apa yang ada di hatinya. Bukankah Khiya ingin pernikahan ini berjalan selayaknya pernikahan yang sesungguhnya? “Aku tahu, kita menikah sebelum ada cinta hadir di antara kita. Dan kita sudah hampir satu tahun mengarungi rumah tangan ini. Kita mungkin harus memberi kesempatan untuk hubungan ini...sebuah hubungan tidak akan tubuh sendiri tanpa dipupuk dan di sirami,” kata Khiya pelan. “Apa kesempatan itu ada, Hubby?” . .

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN