Khiya harus bangkit

1889 Kata
“Hubby...” Khiya masuk ke dalam kamar Farel. Meski Khiya merasa masih canggung, tapi gadis itu memberanikan diri. Lagian selama Farel belum pulih, Khiya harus terus mengurus suaminya itu, kan? Tidak boleh Khiya biarkan tembok besar yang dia bangun sendiri menghalangi kewajibannya sebagai istri. Farel menoleh. Punggungnya yang sejak tadi menunduk fokus pada kertas yang berisi banyak kata itu, sedikit ia renggangkan di sandaran kursi kerjanya. Khiya menjaga langkahnya masuk, sembari membawa nampan berisi air dan beberapa obat dan vitamin Farel. Meski tahu kenyataan bahwa Farel tidaklah mengingat dan melihat wajahnya, tapi tetap saja, debar jantung Khiya tidak bisa diajak kompromi. “Minum obat dulu.” Khiya mengambil alih meja kerja Farel, dan merasakan kertas-kertas yang berantakan. Tanyanya berhenti bergerak saat melihat, nama Sania di kertas putih yang entah kenapa Farel tulis itu. Bukan hanya satu kertas itu, bahkan di kotak sampai khusus kertas ada juga nama Sania yang Farel buang. Nama Sania dimana-mana, tapi Sania selalu memenuhi kepala Farel. “Sudah...” Farel memberi tahu Khiya, bahwa ia sudah meminum semua obat dan vitamin yang Khiya bahwa. Meski Farel tidak tahu kenapa ia mengatakan hal itu, tapi setidaknya dia merasa itu perlu. Khiya tersenyum meski hatinya terus mengawang kemana-mana. “Hubby mau makan buah gak? Biar aku ambilin.” “Boleh.” Khiya langsung bergegas ke dapur, mengambil potongan buah apel yang memang sudah siapkan. Khiya kembali ke kamar Farel, langkah gadis itu terhenti saat tanpa sengaja mendengar perkataan Farel, “Sania lagi? Ya Allah, apa yang terjadi pada hamba, kenapa hamba terus mengingat Sania? “keluh lirih Farel. Khiya mengintip, Farel nampak gelisah hingga tidak fokus pada tumpukan kertas di mejanya. Khiya menarik nafas panjang, berpura-pura tidak mendengar apa pun. Khiya melangkah masuk. “Hubby, ini buahnya.” Khiya meletakan piring berisi potongan buah di sebelah meja Farel. Farel tersenyum kecil, mengucap terimakasih sebelum kembali fokus pada kertas di mejanya. “Memangnya tidak bisa ditunda dulu, By? “tanya Khiya. “Hubby baru saja sembuh...butuh banyak istirahat.” “Sebenarnya kampus memberikan kelonggaran, tapi aku tidak enak dengan mahasiswa, mereka menunggu hasil kuis ini.” “Oh gitu...” Khiya mangut-mangut pelan. Matanya tanpa sengaja melihat secarik kertas, yang jelas ia kenali. Itu kertas milik Sania alias Khiya sendiri. Kertas itu di letakan di ujung meja, di sisihkan dari kertas yang lain. “Ini kertas apa, By ? Kenapa disisihkan ?” tanya Khiya, berpura-pura tidak tahu apa pun. Farel nampak diam sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Khiya. “Hem, tidak ada alasan, aku nanti akan koreksi kertas itu.” Khiya meraih kertas itu. “Sania,” ucap Khiya pelan namun mampu berefek besar pada Farel, pergerakan tangan Farel terhenti sejenak. Khiya mengetahui itu, dan memilih untuk diam. “Hubby, coba baca jawabannya...” Khiya menyodorkan kertas itu di hadapan Farel, mau tidak mau Farel membaca tulisan rapih di kertas putih itu. “Jawabanya bagus, kan? “ Farel mengangguk pelan. “Iya. Sangat bagus.” “Dia mahasiswi kamu, kan? “ “Iya.” “Apa dia pintar? “ “Ha? “ Khiya tersenyum. “Kata orang, biasanya murid yang pintar memiliki tempat yang spesial di hati gurunya. Apa itu juga berlaku pada dosen dan mahasiswinya ?” Farel tertegun. Khiya terus memperhatikan dalam diam, setiap ekspresi yang Farel tunjukkan. Dan dia menangis miris, di dalam hatinya. “Hubby, tadi Ibu telepon. “ “Ha? Ibu? Ibu tanya apa? “ “Iya. Ibu tanya keadaan Hubby, “ kata Khiya. “Sudah lama ya, Bi, kita gak ke sana. Aku kangen sama Ibu.” “Kamu mau ke sana? “tanya Farel. Khiya menimbang semuanya, mulai dari kondisi Farel hingga kemungkinan lain. “Besok aku masih cuti, kita bisa ke rumah Ibu, besok.” “Tapi keadaan, hubby? Apa udah pulih betul? “ “Alhamdulillah. Bisalah, kalo cuman ke rumah Ibu.” “Tapi, waktunya lama By...dua jam lebih.” “Iya, gak masalah.” Khiya tersenyum senang. “Kamu siapa-siapa aja besok.” “Iya, By.” “Kita berangkat pagi ya...” “Iya, By. Kalo gitu aku mau ke dapur dulu, mau buat kue bolu kesukaan ibu.” “Iya.” Khiya melangkah keluar kamar Farel dengan perasaan teramat bahagia. Ibu Farel bagi Khiya yang sejak dulu, telah kehilangan keluarganya, sudah seperti ibunya sendiri. Bahkan hubungan ini bisa ada di atas hubungan Khiya dan ibu mertuanya itu. Khiya mengenal mertuanya di toko klontong, kala itu Khiya kecil, kebingungan membeli apa yang bisa dia makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Dari sana mereka banyak bercerita dan menjadi akrab. Ibu Farel sering berkunjung ke rumah Khiya, mengajari Khiya banyak hal, mulai dari memasak, membuat kue, membersihkan rumah dan segala hal selayaknya ibu sendiri. Kehadiran Khiya juga mengisi kekosongan ibu Farel, karena Farel yang bersekolah di luar kota. Khiya sangat bersyukur Allah mengirimkan wanita sebaik itu dalam hidupnya. Khiya mendapatkan sosok ibu dari ibu Farel. Khiya bahkan bisa merasakan bagaimana rasanya, dibujuk untuk sekolah saat rasa malas melanda, dibuatkan sarapan sebelum berangkat sekolah dan hal-hal kecil yang tidak bisa dia dapatkan sebagai yatim piatu. Tepat saat Khiya SMA, keluarga Farel pindah ke luar kota. Ibu Farel tidak bisa berkunjung ke rumah Khiya lagi. Dan Khiya benar-benar harus hidup dengan kakinya sendiri, berbekal semua ilmu yang diajarkan, Khiya akhirnya berhasil hidup sendirian. Ia kehilangan kontak ibu Farel, dan mereka lost kontak bertahun-tahun lamanya. Dan kembali bertemu, saat Khiya bertemankan penyakit lupus. Dengan hati seorang ibu, menangisi kondisi Khiya dan meminta Farel menjaga Khiya. Dan semua ini awal dari bertemunya Farel dan Khiya. Farel menepati janjinya pada ibunya untuk menjaga Khiya. Tapi tidak untuk mencintainya. Lagi-lagi kenyataan pahit bersiwuran di benak Khiya. Khiya segera menepisnya. Dia sedang bahagia dan tidak ingin kebahagiaan terkontaminasi rasa sedih ini. “Astagfirullah, sangking senangnya, aku jadi lupa bawa nampan di kamar hubby.” Khiya kembali ke kamar Farel. Lagi dan lagi, nama Sania yang Khiya dengar menghentikan langkah Khiya. “Setidaknya pergi ke luar kota untuk beberapa hari bisa menangkan pikiran ini dari Sania.” Khiya tersenyum miris. Khiya pikir perjalanan yang akan memakan waktu dua jam lebih, Farel lakukan demi dirinya yang sangat ingin bertemu ibu mertuanya itu. Nyatanya, Khiya hanya bisa menelan kenyataan bulat-bulat. Bahwa semuanya tetap mengenai... Sania. . . Aliya menghela nafas panjang. Lagi dan lagi, dia harus mendengar sahabatnya itu menangis di balik sambungan telepon. Sebagai sahabat jelas Aliya tidak suka ini. Aliya tidak suka, Farel terus menyakiti Khiya tanpa dia sadari. “Yak...” suara Khiya parau, sudah sejak satu jam yang lalu Khiya menangis. “Khiya, gue benci banget kalo Lo nangis. Dan gue benci banget karena gue gak bisa tolong apa-apa biar Lo gak bangus lagi, “ Aliya mendesah kesal. “Kamu udah banyak bantu aku, Yak. Dengan kamu mau dengerin keluh kesah aku aja, ini udah sangat berharga buat aku.” Aliya membuang nafas kasar. “Khy, gue mohon sama Lo. Lo tahu kan gue gak akan kasih Lo saran buruk. Lo percaya gue, kan? “tanya Aliya. “Iya.” Khiya menyahut pelan. “Farel suka Sania dan Sania adalah Lo sendiri, Khiya yang sebenarnya. Itulah faktanya. Jadi.. Kalo Farel suka Sania karena sifatnya. Lo harus jadi Khiya dengan sifat Sania.” “Maksud kamu? “ “Lo tunjukin diri Lo, Khy. Lo gak boleh canggung atau apa lah gitu. Lo harus runtuhin tembok yang lo bangun sendiri, sama kayak Lo pas jadi Sania. Lo harus berani. Lo bisa menyampai Farel, kalo Lo udah lepasin ego Lo. Kalo Lo udah berani keluar dari tembok Lo dan berusaha buka tembok yang Farel bangun. Itukan trik yang Sania pake? Kenapa gak Lo pake sebagai Khiya? “ “Kali ini gak ada alasan, Khy. Lo mau cinta Farel kan? Lo harus lakuin itu! Kalo bisa, Lo ubah semua kenangan Sania menjadi kenangan Khiya.” Khiya termenung. Apa yang Aliya sampaikan memang benar. Jika Farel tidak mau melangkah dahulu, apa salahnya jika dia yang melangkah duluan ? “Selain nyingkin Sania, Lo harus mengisi kekosongan Sania juga. Ini waktu yang tepat buat Lo, Khy. Gue yakin, cepat atau lambat Farel bakal liat semua cinta dan ketulusan Lo.” “Sekarang, Lo jangan nangis lagi dong, nanti pagikan Lo mau ketemu ibu mertua Lo. Mending Lo tidur sekarang, mata Lo kasih timun biar gak sembeb besok,” kata Aliya lagi. Di seberang sana, Khiya tersenyum haru. Dia sangat beruntung dipertemukan dengan banyak orang baik, termasuk Aliya yang selalu mendukung dan menjaganya. “Siap, Bu. Perkataan calon istri dokter bakal segera di ACC.” Khiya terkekeh mendengar dengus Aliya seketika saat kata calon istri dokter disebutkan. “Mulai dah...,”protes Aliya tidak suka. “Sebelum percakapan ini jadi makin tidak sehat, mending gue kerjain skripsi gue. Bye maksimal..” “Ya semangat ya, negerjain skripsinya. Perhatian kesehatan kamu juga, soalnya kamu jomblo belum ada yang merhatiin kesehatan kamu.” “Eh...” mata Aliya membulat. Lagi-lagi Khiya melancarkan aksinya. “Udah dulu ya, Assalamualaikum,” kata Khiya dari sebrang sana. “Walaikumsalam.” Aliya mematikan panggilan telepon. Dan kembali fokus ke layar laptopnya, lima menit berkutat dengan layar itu, kepala Aliya pusing, lagi-lagi dia menemukan kebuntuan materi. Sejak tadi dia hanya merubah apa yang sudah ia ketik tanpa menambah apa pun. “Ya Allah, sulit banget...” keluhnya pelan, kepala Aliya makin berdenyut. Aliya menutup laptopnya dan merebahkan tubuhnya di kasur. “Skripsi susah banget sih, mau nikah aja lah...” gumamnya tanpa sadar. Setelah dua menit, gadis itu baru sadar pada perkataannya sendiri. “Astagfirullah....kenapa gue bisa mikir gitu ya...nikah itu bukan mainan yang bisa di jadiin jalan ninja buat kabur dari drama perskripsian.” Aliya mengacak-ngacak rambutnya, sebel sendiri. “Huft....” “Neng...” tiba-tiba suara dari luar pintu kamar terdengar. Itu suara ART Aliya. “Masuk aja, Bi. Gak Aliya kunci kok...” sahut Aliya. “Ada apa bi ?”tanya Aliya to the point. Mata Aliya menangkap kantong kresek warna putih di tangan ART-nya itu. “Ini neng, tadi ada orang yang ngirim ini buat neng Aliya. Dia titip pesan buat orang rumah dan buat neng Aliya juga, katanya jangan lupa jaga kesehatan.” “Itu aja bi? “ “Iya neng.” “Siapa orang yang nganter? Bibi kenal gak? “ “Gak tuh neng...bibi baru liat pertama kali.” “Gimana mukanya, Bi?” “Hem....ganteng neng. Hidungnya mancung banget, terus kulitnya udah kayak salju gitu, matanya juga sedang, kayak orang-orang keturunan Arab gitu neng.” Aliya berpikir keras sembari membuka kantong kresek putih. “Eh, apaan nih...” Aliya mengeluarkan dua cup minuman dari dalam kantong kresek itu. “Eh, ini wedang jahe, kan, bi? “ Aliya memastikan. “Iya bang, wedang jahe. Tumben orang kirim wedang, biasanya kan kopi atau cokelat gitu.” Aliya menemukan surat di dalam kantong kresek itu. Senyum langsung mengembang dari wajah Aliya. “Dia datang ke sini naik apa bi? “ “Motor gede, neng. Makanya bibi gak terlalu pasat liat mukanya, ada helm soalnya.” “Dia tadi gak mau mampir masuk, Bi? “ “Gak, pas bibi bilang kalo tuan sama nyonya gak ada di rumah, terus dia permisi pulang.” “Oh... “ “Emangnya itu siapa neng? Meni kasep banget.” “Calon ayah dari anak-anak Aliya,” jawab Aliya spontan. “Cie, neng Aliya, lagi kasmarani ye...bibi jadi penasaran siapa nama si kasep? “ “Rahasia, Bi...bibi kepo ih...” “Ye neng... Kasih tahu atuh, dikit doang.” “Gak mau, entar bibi naksir lagi,” canda Aliya. “Neng bisa aja nih, bibi mah Udah tua atuh neng gak bisa bersaing sama neng Aliya yang cantik,” balasnya. “Udah deh, bibi mau lanjut beres-beres dulu. Oh iya, kamar neng Aliya mau sekalian bibi beresin? “ “Eh, gak usah, Bi. Biar Aliya rapiin sendiri aja.” “Ya udah kalo gitu, bibi, pamit ya, neng.” “Eh, tunggu dulu Bi, biar kerjanya semangat, satu wedang jahenya buat bibi. Ini home made loh Bi, dijamin enak juga.” “Home Made, sejenis makanan apa neng? “ “Eh, hore made itu, buatan rumah bi. Jadi wedang buatan sendiri.” “Oh jadi, kalo bibi masak itu namaya homee made.” “Iya Bi.” “Wah, bahasa sekarang makin sulit ya neng, kebelit lidah bibi nyebutnya.” Aliya terkekeh. “Wedangnya enak banget, Neng, ini buatan si babang home made ya, neng?" “Babang home made? “ Aliya makin tertawa. “Namanya bukan babang home made, Bi..” “Namanya.....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN