Malas bertemu Mama, aku memilih masuk kamar dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Biarlah dianggap anak yang tidak sopan, tapi aku sudah terlalu muak dengan semua kelakuan mama tiriku itu.
Aku tahu dia tidak benar-benar menyayangiku. Kalau bukan demi uang, sudah pasti ia tidak akan sudi mengakuiku sebagai putri sambungnya. Selama ini Mas Bima memang sangat memanjakan Mama. Apa pun yang wanita itu minta pasti Mas Bima penuhi, termasuk ketika ia meminta sejumlah uang yang nominalnya sangat besar dengan alasan untuk dijadikan modal usaha.
Entah suamiku yang terlalu baik atau Mama yang pandai mengambil hatinya. Namun yang jelas, aku sering kali dibuat malu oleh tingkah tidak tahu diri istri papaku itu.
"Aku yakin, kamu akan berterima kasih setelah tahu kejadian yang sebenarnya."
Kalimat yang dilontarkan Mas Bima beberapa menit yang lalu kembali terngiang. Entah apa maksud ucapannya tersebut dan aku dibuat bingung karena Mas Bima bersikap seolah sedang melindungiku dari seseorang. Apa benar ada orang yang berniat mencelakaiku?
Hah!
Memikirkannya membuat kepalaku bertambah pening. Setelah tadi siang harus sabar dan menahan diri menghadapi cacian dari Maura, kedatangan Mama yang tiba-tiba, dan sekarang aku harus memecahkan teka-teki dari ucapan Mas Bima yang membuatku bingung.
Sepertinya berendam air hangat bisa menjernihkan pikiranku. Sebelum menghadapi suami dan adik maduku nanti malam, akan lebih baik aku memanjakan diri sendiri agar lebih relaks dan segar.
Sepertinya, aku sudah mulai terbiasa melihat kemesraan mereka. Entah karena aku sudah kebal, atau mungkin hatiku sudah mati rasa.
*******
"Besok Mas harus ke luar kota selama tiga hari. Tolong kamu siapkan pakaian Mas."
Aku mengabaikan ucapan Mas Bima dan lebih fokus menemani Vano menggambar. Meski kami berada di ruangan yang sama, tapi Mas Bima menganggapku seolah tidak ada. Sudah dipastikan apa yang ia ucapkan barusan ditujukan untuk Salwa, bukan untukku.
"Dua hari, Mas?" ulang Salwa.
"Ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Jangan bepergian sendiri. Minta antar Pak Karman ke manapun kamu mau pergi," ujar Mas Bima. Sangat kentara ia mengkhawatirkan istri mudanya.
"Vano mau dibawain oleh-oleh apa?" Mas Bima menghampiri kami yang duduk di bawah. Vano menoleh sekilas, kemudian menggeleng lemah.
"Vano gak mau oleh-oleh, Pa."
Kening Mas Bima mengernyit. "Terus Vano mau apa?" tanyanya seraya mengelus rambut putra kami.
Vano menoleh ke arahku. Putraku nampak ragu ingin menyampaikan keinginan pada papanya. Aku yang paham, menganggukkan kepala, sebagai isyarat agar ia berbicara saja.
"Malam ini, tidur sama Vano sama Mama ya, Pa," pintanya lirih hampir tak terdengar. Mas Bima nampak terkesiap, pun denganku yang tidak pernah menduga Vano akan mengajukan permintaan seperti itu.
"Sayang, malam ini Papa tidur sama Bunda Salwa. Papa harus--"
"Ya, malam ini Papa tidur sama Vano, sama Mama juga," sela Mas Bima sebelum aku menyelesaikan ucapan. Aku memalingkan wajah saat mata kami sempat saling beradu tatap. Aku tahu, Mas Bima mengabulkan permintaan Vano hanya sampai putra kami tidur dan setelahnya, ia akan kembali ke kamar Salwa.
"Yeeayy! Terima kasih, Pa."
Ah, aku terharu. Ternyata semudah itu membuat putraku bahagia, tetapi sayangnya Mas Bima nampak sulit mengabulkan permintaan Vano, apalagi jika berhubungan dengan diriku. Namun, aku tidak ingin mengecewakan Vano. Sebisa mungkin aku menunjukkan raut bahagia agar ia tahu bahwa mamanya ini baik-baik saja bersama papanya.
"Vano tidur di tengah," ucapnya setelah kami berada di kamar. Aku mengiyakan sembari menata bantal agar putraku tidur dengan nyaman.
"Selamat bobo, Sayang. Mimpi yang indah, ya," bisikku setelah mengecup kening Vano yang sudah menutup mata. Mas Bima melakukan hal yang sama. Ia membisikkan kata-kata pengantar tidur untuk putra kami.
Hening.
Vano sudah terlelap dan aku serta Mas Bima masih terjaga. Tidak ada pembicaraan di antara kami. Mas Bima nampak larut dalam pikirannya sendiri dengan mata yang fokus menatap langit-langit kamar. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Bisa saja ia sedang khawatir meninggalkan istri mudanya sendirian.
"Vano sudah tidur," ucapku memecah keheningan.
Mas Bima menoleh dengan alis bertaut. "Lalu?"
Mata kami saling tatap. Ah, aku gugup ditatap lekat olehnya seperti itu.
"Mas bisa pindah ke kamar Salwa. Nanti kalau Vano bangun, a-aku akan bilang kalau Mas sedang di kamar mandi," ujarku tergagap.
Mas Bima menghembuskan napas kasar. Ia memejamkan mata seraya berkata. "Tidurlah, Namisya. Malam ini aku tidur di sini bersama kalian," jawabnya. Aku menatapnya sendu. Demi Vano, Mas Bima rela menekan ego dan tetap berada di sini, meski aku tahu ia sangat tidak nyaman tidur satu ranjang denganku.
Aku sadar, Mas Bima sebenarnya memang pria yang baik, bahkan teramat baik. Ia sangat menyayangi Vano, bahkan ia rela menerimaku yang sudah mengkhianatinya demi kebaikan putra kami.
Ah, aku makin sadar diri. Sangat tidak pantas wanita sepertiku menjadi pendamping pria baik sepertinya. Mungkin, suatu saat aku harus ikhlas pergi dari kehidupan Mas Bima dan membiarkan ia bahagia bersama Salwa.
Aku berusaha memejamkan mata dan mengesampingkan segala tanda tanya tentang sikap Mas Bima yang sering berubah-ubah. Biarlah malam ini aku menikmati kebersamaan kami sebelum hari-hari ke depannya harus kembali menerima kenyataan bahwa Mas Bima bukan hanya milikku.
*******
"Mas berangkat. Jaga diri kamu baik-baik." Mas Bima mengecup kening Salwa setelah istrinya itu mengecup punggung tangannya. Hatiku gerimis menyaksikan adegan tersebut. Dulu, perlakuan manis seperti itu hanya Mas Bima berikan untukku.
"Mas juga hati-hati di jalan. Jangan lupa jaga kesehatan." Salwa memeluk Mas Bima. Ia menangis dalam pelukan suami kami. Aku memalingkan wajah dan menghapus lelehan bening yang tiba-tiba menetes. Sebesar itukah cinta Salwa untuk Mas Bima hingga ia nampak tidak rela ditinggal beberapa hari saja?
"Hei, sudah. Jangan nangis." Mas Bima mengurai pelukan mereka, kemudian memegang bahu istri mudanya. "Mas janji akan pulang secepatnya setelah urusan di sana selesai."
Salwa mengangguk dan tersenyum. Mas Bima menoleh ke arahku dan Vano yang berdiri tidak jauh dari mereka. Menyaksikan adegan romantis sepasang suami istri yang nampak berat untuk berpisah.
"Papa berangkat. Vano baik-baik di rumah sama Mama, sama Bunda Salwa. Jangan nakal ya, Nak. Nurut apa kata Mama," ucapnya seraya mengelus rambut putra kami dan mengecupnya cukup lama.
"Iya, Pa. Papa juga hati-hati di jalan."
"Pasti, Sayang."
Mas Bima menghembuskan napas berat. Ia menoleh ke arahku yang berdiri di samping Vano.
"Hati-hati di jalan, Mas," ucapku dengan mengulas senyum tipis. Aku tidak berharap banyak dari moment ini. Mas Bima tidak mungkin memperlakukan aku sama seperti Salwa.
"Ya. Jaga diri kamu baik-baik. Jaga Vano juga."
Aku mengangguk. Tanpa ia minta, tentu saja aku akan menjaga putra kami.
Mas Bima mengulurkan tangan yang langsung kusambut dengan kecupan di sana. Aku memejamkan mata menikmati moment haru seperti ini.
Aku mencintaimu, Mas. Sangat mencintaimu. Sesering apa pun kamu menyakitiku, tetap saja hati ini tidak bisa benar-benar berpaling darimu.
"Aku pergi," bisiknya. Aku mengangguk sembari menghapus air mata yang makin mengalir deras, apalagi saat ia mengusap lembut kepalaku sebelum benar-benar beranjak menuju mobil yang terparkir di pekarangan.
Aku menoleh ke arah Salwa setelah mobil Mas Bima menghilang dari pandangan. Adik maduku tersebut mengusap air mata yang membasahi wajah cantiknya, kemudian masuk ke rumah dengan wajah lesu dan melewatiku begitu saja.
Kenapa dia? Apa dia cemburu melihat perlakuan Mas Bima padaku?
Ah, aku tidak ingin ambil pusing. Baru segitu saja dia sudah cemburu. Lalu, apa kabar diriku yang setiap hari disuguhi adegan romantis mereka?
********
"Adrian?!" Aku memekik dan terperanjat saat melihat pria yang tidak ingin aku temui sudah berdiri di depan Butik. Beruntung Vano masih berada di dalam mobil dan aku berharap, putraku tidak curiga pada pria di depanku ini.
"Mau apa kamu ke sini?" tanyaku seraya menoleh ke kanan dan ke kiri. Berjaga-jaga, takutnya ada orang yang melihat kami.
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Nami. Bisakah aku minta waktumu sebentar?"
🍁🍁🍁🍁🍁