"Aku senang kamu kembali ke sini. Kamu memang butuh kesibukan daripada menghabiskan waktu di rumah yang tidak lagi membuatmu nyaman."
Mirna mengelus bahuku. Sepupuku ini memang sudah tahu apa yang terjadi pada pernikahanku dengan Mas Bima, bahkan jauh sebelum aku mengalami kecelakaan. Hanya pada Mirna aku menceritakan keluh kesah dan kekecewaanku pada Mas Bima. Ia sangat memahami perasaanku, tetapi tidak mendukung saat aku khilaf dan jatuh pada pelukan Adrian.
Mirna selalu mengingatkanku agar tidak menodai pernikahan dengan perselingkuhan. Namun, aku yang terlanjur kecewa pada Mas Bima mengabaikan peringatan dari sepupuku dan tetap menjalin hubungan dengan Adrian, karena aku terlanjur jatuh dalam pesonanya.
Kenyamanan dan perhatian dari Adrian membuatku lupa bahwa aku adalah seorang istri yang harus menjaga marwah dan kesetiaan. Aku akui, Adrian memang tidak setampan dan sekaya Mas Bima. Namun, Adrian jauh lebih paham bagaimana cara menyenangkan wanita, meski bukan dengan harta.
"Aku gak kuat melihat kemesraan mereka setiap hari, Mir. Kalau bukan karena Vano, mungkin aku lebih memilih mundur dan pergi jauh dari Mas Bima." Aku terkekeh getir. "Sayangnya aku tidak ingin jadi ibu yang jahat bagi Vano. Cukup aku gagal jadi seorang istri, aku tidak ingin gagal juga jadi seorang ibu," ungkapku.
Ya, setidaknya aku masih bisa memperbaiki diri dengan membuktikan pada Mas Bima bahwa aku bukanlah ibu yang egois, yang hanya memikirkan perasaanku sendiri. Aku akan menahan kesakitan dalam bentuk apa pun demi putra kami yang masih membutuhkan kasih sayang lengkap dari orang tuanya, meski rasa sakit itu menghujamku setiap detiknya tanpa ampun.
"Aku tahu kamu pasti kuat. Kalau suatu saat kamu menyerah, jangan sungkan. Ada aku yang akan selalu siap membantumu," ujar Mirna. Sepupuku ini memang orang yang paling tulus dan paling memahamiku, bahkan jika dibandingkan dengan orang tuaku sendiri. Wanita berusia dua puluh delapan tahun ini bukan hanya tempatku bercerita, tetapi juga orang yang selalu mengingatkan di saat aku hampir kehilangan arah dan lupa jalan pulang.
"Terima kasih, Mir. Kamu satu-satunya orang yang paling mengerti aku," ucapku dengan menggenggam tangannya. Mirna mengangguk dan tersenyum tulus.
Ketukan di pintu menghentikan pembicaraan kami. Suara salah satu karyawan terdengar dari balik pintu tersebut dan Mirna memintanya untuk masuk.
Suci, karyawan yang sudah cukup lama bekerja di Butik milikku nampak kesal. Entah apa yang membuatnya memasang tampang masam di depan bossnya ini.
"Ada apa, Ci? Itu muka kenapa ditekuk begitu?" tanyaku. Kami sudah terbiasa becanda agar tidak ada kecanggungan antara atasan dan karyawan.
"Itu, Bu. Di luar ada pembeli yang ngeyel. Dia maunya dilayani langsung sama Bu Nami, padahal saya sama Reni sudah menawarkan diri untuk melayani dia," terang Suci. "Padahal dia pembeli baru tapi ngeyelnya minta ampun." Suci menggerutu.
"Ya sudah. Biar saya yang layani dia."
"Tapi, Bu --"
"Gak papa, Ci. Kita gak boleh mengecewakan pembeli. Saya juga gak lagi sibuk, kan," selaku. Suci mengangguk dan tersenyum.
"Kalau begitu kamu duluan. Bilang sama dia kalau sebentar lagi saya ke sana."
"Baik, Bu."
Suci keluar dari ruangan dan aku bergegas merapikan diri untuk menemui pembeli yang kata Suci sangat rewel. Terkadang memang ada saja pembeli yang seperti itu dan kami sebagai penjual harus menahan sabar saat mereka melontarkan kata-kata yang tidak mengenakan.
"Kamu yakin mau melayani dia? Kok aku curiga, ya. Jangan-jangan ini akal-akalan pembeli itu."
"Ckk, jangan berlebihan, ah!" Aku menepis kecurigaan Mirna.
"Tapi bisa jadi, Mi. Dia tahu nama kamu dan itu berarti dia itu sudah kenal kamu, sedangkan tadi Suci bilang dia baru pertama kali ke sini," tukas Mirna dan aku sempat tertegun mendengarnya.
Ya, bisa saja apa yang Mirna katakan benar. Orang itu sudah mengenalku dan sekarang ingin mencari masalah denganku.
"Ya sudah, kita liat nanti. Aku nitip Vano sebentar, ya" Aku menghampiri Vano yang masih asik dengan beberapa mainan yang sengaja kami beli sebelum ke sini. Setelah memberi pengertian pada putraku, aku bergegas menemui pembeli tersebut agar orang itu tidak terlalu lama menunggu.
*******
"Aku pastikan, Butik ini akan gulung tikar! Semua pelanggan tidak akan sudi datang ke sini lagi setelah tahu pemiliknya adalah penghancur rumah tangga orang!"
Kata-kata Maura terus terngiang di telingaku. Rupanya pembeli yang dimaksud Suci adalah Maura, istri dari Adrian yang sangat membenciku setelah perselingkuhan suaminya denganku terbongkar.
Sebagai orang yang bersalah, aku memilih diam dan menerima setiap cacian yang dilontarkan Maura untukku. Sebagai sesama wanita, aku paham kesakitan yang ia rasakan atas pengkhianatan suaminya.
"Mama sakit?" Pertanyaan Vano membuyarkan lamunanku. Menoleh, aku mengulas senyum agar putraku tidak mencemaskan mamanya ini.
"Enggak, Sayang. Mama cuma sedikit cape."
"Mau Vano pijitin?" tawarnya dan aku tertawa.
"Gak usah, Nak. Nanti sampai di rumah, Mama hanya perlu mandi terus istirahat."
Vano menatapku sendu. Ah, kalau sudah begini, aku tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Genangan air mata akhirnya tumpah. Ingin tidak menangis di depan Vano, tapi aku tidak bisa menahannya.
"Vano sayang sama Mama. Jangan sakit lagi ya, Ma. Vano gak mau kehilangan Mama."
Aku mengangguk dan tersenyum. "Gak akan. Mama gak akan sakit lagi. Vano juga ... gak akan kehilangan Mama," jawabku tercekat. Beruntung aku memiliki Vano yang begitu menyayangiku.
Kami sampai di rumah menjelang petang. Sengaja aku mengajak Vano makan dan jalan-jalan dulu sebelum pulang. Selain untuk menyenangkan putraku, aku juga ingin menetralkan perasaan setelah mendapat cecaran bertubi dari Maura yang cukup membuatku down.
Namun, niatku untuk beristirahat dan menenangkan pikiran rupanya tidak akan terlaksana, setelah aku melihat mobil yang sangat kukenal pemiliknya sudah terparkir di depan rumah. Menghela napas berat, dengan setengah malas aku menuntun Vano memasuki rumah.
"Nami!"
Wanita yang sedang duduk di ruang tamu memekik setelah melihatku. Dia menghampiri dan memelukku erat.
"Mama senang kamu sudah sembuh. Maaf, Mama baru bisa ke sini. Mama baru pulang dari Bali," ujarnya setelah mengurai pelukan.
"Gak papa, Ma. Aku tahu Mama sibuk," jawabku dengan mengulas senyum meski terpaksa.
"Ah, ya. Kamu benar. Sebulan ini Mama sibuk banget." Dia tersenyum salah tingkah. "Eh, cucu kesayangan Oma makin besar. Apa kabar, Sayang? Oma bawa hadiah buat Vano."
Mama mengambil paper bag yang ia simpan di sofa, kemudian memberikannya pada Vano. "Ini robot-robotan terbaru. Vano pasti suka."
Vano melirik padaku, seakan ingin meminta persetujuan dari mamanya ini.
"Ambil, Sayang," ucapku dan dia mengangguk antusias. Meski aku kecewa pada Mama, tapi aku tidak ingin menunjukkannya di depan putraku.
"Sekarang Vano ke kamar, ya. Mama mau bicara sama Oma."
Vano mengangguk. Setelah putraku berlalu, aku menoleh malas ke arah Mama.
"Ada apa Mama ke sini?" tanyaku sembari menghempaskan tubuh ke atas sofa. Malas sekali harus menghadapi Mama yang sudah pasti punya maksud tertentu hingga ia menemuiku.
"Kok kamu nanya gitu? Mama mau jenguk kamu, loh," katanya terdengar kesal.
"Telat. Mama ke mana saja waktu aku terbaring koma di rumah sakit? Jangan Mama pikir aku gak tahu kalau Mama tidak pernah sekalipun menjengukku."
Mama tersenyum salah tingkah. "Maaf. Sebulan ini Mama sibuk banget. Tapi Mama gak pernah lupa nanyain kondisi kamu sama Bima. Mama gak pernah lupain kamu, Nami." Dia duduk di sampingku. "Gimana perasaan kamu setelah Bima menikah lagi? Mama tahu kamu pasti sakit hati banget," ujarnya lembut seraya mengelus bahuku.
Belum sempat aku menjawab, Mas Bima muncul diikuti Salwa yang membawa nampan berisi minuman. Ya, aku lupa kalau mobil suamiku juga sudah terparkir di garasi dan itu artinya dia sudah pulang.
"Silakan diminum, Ma." Salwa menyimpan segelas jus ke atas meja. "Maaf tadi agak lama."
Mama melirik sinis. Sama sekali tidak menanggapi ucapan Salwa.
"Bagaimana liburan Mama kemarin? Menyenangkan?" Mas Bima duduk di depanku. Ia menarik istri mudanya agar duduk juga di sampingnya.
"Sangat. Baru kali ini Mama sangat menikmati liburan. Terima kasih ya, Nak Bima. Kamu memang menantu terbaik."
Aku menoleh cepat pada Mas Bima. Meminta penjelasan dari maksud ucapan Mama.
"Bima nyuruh Mama liburan. Dia juga yang menyediakan tiket sekaligus biaya Mama selama di Bali," terang Mama yang jelas saja membuatku terkejut. Aku menatap tajam suamiku yang justru terlihat santai.
"Bisa kita bicara berdua, Mas?" desisku menahan geram. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikirannya yang justru menjauhkan Mama dariku di saat putrinya ini sedang terbaring koma.
"Boleh." Dia beranjak lebih dulu. Bergegas aku mengikuti menuju ruang kerjanya.
"Mas pasti sudah tahu apa yang akan aku tanyakan. Sekarang tolong jelaskan!" cecarku begitu pintu ruangan ini tertutup.
"Apa yang harus dijelaskan? Kamu kan sudah tahu dari Mamamu," jawabnya santai.
"Bukan itu, Mas! Aku ingin tahu kenapa kamu malah nyuruh Mama liburan padahal aku lagi koma! Apa segitu bencinya kamu sama aku sampai kamu tidak membolehkan Mama menungguiku?" ungkapku dengan d**a bergemuruh.
Mas Bima memberiku tatapan tajam. Rahangnya nampak mengeras bersamaan dengan tangannya yang mengepal.
"Aku memang membencimu, Namisya," desisnya. "Tapi aku tidak sejahat itu dengan membiarkan kamu dalam bahaya."
Aku memicingkan mata. Tentu saja aku tidak paham atas apa yang ia ucapkan barusan.
Aku dalam bahaya? Memangnya siapa yang mau mencelakaiku?
"Jangan terus berpikiran buruk padaku. Aku yakin, suatu saat kamu akan berterima kasih setelah mengetahui kebenarannya." Mas Bima meninggalkanku yang tertegun mendengar kalimat terakhirnya.
🍁🍁🍁🍁🍁