Kasus Ditutup

1080 Kata
Mbak Esti berbohong dengan perkataannya. Ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi, seperti tak peduli lagi dan melampiaskan segalanya. Aku hanya bisa mengelus d**a, saat motor menyalip truk-truk besar dan berjalan di antara impitan mobil-mobil, masih dengan kecepatan yang hampir tak bisa dikendalikan. “Mbak, pliss ... aku belum nikah. Jangan ngajak mati bareng!” ucapku lantang diriringi sabetan angin kuat, sebab laju yang terlalu cepat. Ia seakan tak mendengar suaraku, terus menge-gas motor lebih kencang dan gesit. Napasku seketika lega, saat memasuki gerbang kawasan perumahan. Ia mulai memelankan laju motor, sebab satpam pasti akan memberi peringatan, jika saja ada kendaraan yang lewat dengan ugal-ugalan. Memasuki pelataran rumah, kulihat dua mobil milik Bagus dan Papanya berjejer rapi pada halaman rumah. Mbak Esti menghentikan motor tepat di sebelah mobil kuning milik Bagus. Aku langsung turun dan mengambil alih motor, mengamankannya dari terik matahari, pada garasi sebelah rumah. Mbak Esti turut berjalan mengikuti, lalu mendekati motor miliknya. Ia menarik tas slempangnya ke depan. Mengambil sesuatu. Tampaknya ia mengambil pin kecil pada tasnya, lalu mencoblos ban motornya beberapa kali. Aku semakin tak mengerti dengannya. “Mbak, apa yang kau lakukan?” “Sudah, diam saja. Ini rencananya.” Ia menempelkan kembali pin dengan peniti besar itu pada tas, seolah tak terjadi apa-apa. Lantas berjalan penuh mantap memasuki rumah. Aku hanya bisa melongo tak paham apa maksud perbuatannya itu. Aku pun tersadar dan melangkah mengikuti Mbak Esti yang lebih dulu beranjak. Di balik pintu ruang tamu yang besar, tampak keluarga Bagus beserta Mama Papa sudah menanti kedatangan kami. Belum apa-apa, kurasakan sorot tajam mereka terasa begitu mengintimidasi. Kulihat wajah mereka satu per satu, tak ada senyuman. Meski sudah kuawali pertemuan kami dengan lengkungan senyum merekah. Mbak Esti sudah menata tubuhnya di atas kursi saat aku masuk. Ia menggeser sedikit tubuhnya ke samping, untuk memberiku ruang. Ia mengangguk pelan, saat mataku beralih padanya. Kuikuti isyaratnya dan duduk di sampingnya. Kutata hati dan sikap untuk bersiap menerima pertanyaan mereka. Entah, meski masalah ini bukan sepenuhnya tertuju padaku. Aku merasa bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang dilakukan Mbak Esti pagi ini. Sebenarnya aku juga tak ingin membelanya. Apalagi ini ada kaitannya dengan Doni. Seorang yang sudah melukaiku dua kali. Harusnya kubiarkan ia mendapatkan ganjaran. Namun, Mbak Esti menjadi sebuah tameng untukku tak memperpanjang masalah ini. Papa mencondongkan tubuh ke depan, seperti bersiap menginterogasi kami. Kupasang pula kuda-kuda dengan melebarkan kaki dan bersikap tegak. Menatap tajam padanya. “Kenapa kamu tak bisa dihubungi?” Pertanyaan Papa mengawali perbincangan kami kali ini. Kuatur napas terlebih dulu, lalu mulai menjawab dengan gaya sesantai mungkin. “Mbak Esti sudah bilang ke Papa, ‘kan? Hapeku disita, dan itu karena Papa telepon saat jam pelajaran.” “Tapi ini penting!” Papa mengelak. Aku tertawa sinis. “Lebih penting mana bisa lulus sekolah, atau mengurusi semua ucapan Papa yang harus selalu diturutin? Hargai dong ... guru juga butuh agar aku fokus, bukan bermain ponsel.” “Aldi!” Mama mendelik padaku. Aku paham, ia tak suka jika aku berbicara dengan nada tinggi pada orang yang lebih tua. Kutundukkan wajah, membuang muka darinya. “Esti, jelaskan tentang video pagi ini!” Papa langsung menyodori Mbak Esti dengan pertanyaan tanpa basa-basi. Mbak Esti terlihat begitu tenang, tidak seperti aku. Rupanya ia benar-benar siap dan sudah memikirkan matang-matang, jawaban apa yang bakal ia lontarkan. “Ban motor Esti bocor, Pa. Kebetulan Doni mau berangkat juga ke kampus. Jadi, Esti telepon Doni agar menghampiri, sekalian bareng. Nggak ada maksud apa-apa.” Aku baru mengerti sekarang. Kenapa Mbak Esti mencoblos ban motornya sendiri. Licik sekali. Bu Winda melirik Mbak Esti dengan pandangan sinis, seperti tak percaya. Begitu elegan, wanita paruh baya itu duduk dengan menyilangkan kaki. Betis mulusnya tampak mengkilap, dibalik gaun warna putih tulang, dengan belahan sebatas dengkul. Pak Darma bersandar pada sofa dengan memijat-mijat kepala sebelah kanannya. Ia masih dalam balutan jas abu, seragam kerjanya. Begitu pun Bagus, tubuhnya masih terbungkus kemeja putih yang dimasukkan dalam celana formal hitam. Mungkin, mereka menyempatkan waktu datang untuk mengklarifikasi masalah, di sela waktu kerja. “Bila Papa tak percaya, silakan cek motor Esti di depan.” Pak Darma memajukan sedikit badannya ke depan. “Kenapa harus Doni?” Pertanyaan itu sukses membuat kami terdiam, saling lirik. Menunggu jawaban dari Kakakku itu. Ia masih bersikap tenang, tak ada wajah bingung dalam muka lonjongnya itu. “Karena hanya Doni yang mau menjemput. Lainnya tak ada yang mau. Alasan keburu waktu, diantar, tak bawa kendaraan sendiri. Banyak.” Ia menengadahkan tangan dan mengendikan bahu. “Seharusnya kamu bisa lebih pilih-pilih sekarang. Apalagi statusmu sudah menjadi tunangan putra tunggal Raharja. Yang bahkan setiap detiknya selalu menjadi sorotan semua orang.” Mama menambahkan dengan nada yang begitu halus, khas wanita Jawa. Mbak Esti menunduk. Wajahnya tak lagi tenang. Mungkin, antara kecewa dan tak terima. “Kalau kamu butuh sesuatu, kamu boleh menghubungiku kapan saja, Ti.” Bagus mulai angkat bicara. Tuturnya begitu menenangkan. Membuat kami semua tersentuh. “Jangan sampai kamu mengecewakan kami, Ti. Lihatlah Bagus dengan segala kebaikannya. Benar kata dia. Lebih baik kamu meminta bantuan Bagus untuk semua kesulitanmu.” Papa berusaha tak menyalahkan, tetapi masih dengan kalimat yang memojokkan. “Iya, maafkan Esti. Lain kali, Esti akan lebih hati-hati lagi dalam melangkah.” Ia menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya. Lalu mengangguk pada Pak Darma, Bu Winda, serta Bagus di sofa depan kami. Meski mereka menerima permintaan maaf dari Mbak Esti. Tampak sekali jika belum ada keikhlasan di balik wajah mereka. “Baik, kita anggap masalah ini selesai. Untuk lain kali, aku harap Esti bisa lebih menghargai ikatan pertunangan ini.” Pak Darma menutup pertemuan ini. Lalu menambahkan. “Oh ya. Tentang kasus semalam. Kalian semua tak usah khawatir. Semua akan beres, tanpa takut bocor. Pak Andri dan aku sudah saling sepakat menutup kasus. Dan kamu, Al. Tak usah lagi bawa-bawa nama Doni untuk kasus ini. Aku juga nggak mau semuanya makin panjang dan rumit. Semua tamu sudah bisa menerima dengan mengganti biaya rumah sakit serta perawatan. Ini hanyalah sebuah ketelodoran saja.” Meski ada sedikit rasa lega, tetapi hati ini masih tak bisa menerima. Harusnya Doni menerima hukuman atas kesalahannya, tidak dihapus begitu saja seperti ini. Kecewa rasanya. Di saat kami sudah mulai dingin dan melupakan segalanya dengan bercanda. Tiba-tiba sosok Doni muncul di ambang pintu. Mata ini membelalak. Baru saja kami membahas dirinya, dan berjanji untuk tak menyebut namanya kembali. Ia sudah berada di hadapan kami. Seolah tahu jika kami tengah membicarakannya. Begitu tenang ia berdiri menatap kami semua, tanpa ada rasa takut sedikit pun. Seperti tak punya salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN