Panggilan Papa

1203 Kata
Semua mata tertuju padaku yang masuk dengan menekuk wajah. Secepatnya kududuki kursi kosong di pojok belakang, tepat di sebelah Lucky. Kujatuhkan tas ransel yang sedari tadi menempel di punggung pada meja, lalu menghempaskan tubuh. Kulirik Bu Irina yang sedang memegang ponselku di depan. Tampaknya ia memencet tombol off di pinggir layar, mematikannya. Aku mendengus sebal. Selalu saja seperti ini. Bagaimana jika panggilan dari Papa tadi penting? Ia juga bakal murka, jika tahu sekarang ponselku malah tak aktif, setelah tersambung sebentar. Kesal rasanya. Lucky mencolek bahuku sekali, membuat kepala ini beralih memandangnya. Ditunjukkannya ponsel di bawah meja yang tengah berkedip. Menampakkan wajah dan nama Papa di sana. Lucky menaikkan dagu, aku menggeleng. Tak mungkin membiarkannya mengangkat panggilan di saat seperti ini. Bisa-bisa ponselnya ikut disita seperti punyaku. “Chat saja,” bisikku pelan. Ia mengangguk. Ia meliukkan kepala ke depan, memastikan Bu Irina tak melihatnya bermain ponsel. Lantas, menunduk dan mengetik cepat. Entah, apa yang ia kirimkan untuk Papa. Tetapi, aku sepenuhnya percaya padanya. “Ehem!” Suara dehem sang guru, membuat Lucky kaget dan menjatuhkan ponsel. Glodak! Semua mengalihkan pandang pada Lucky. Ia menggigit bibirnya dan menunduk. Tak berani mengambil gawai yang telungkup di bawah. Kulihat ia berusaha menutupi dengan menginjak ponsel. “Suara berisik apa itu?” Lantang suara Bu Irina, membuat kami hanya bisa terdiam. Lucky mengangkat tangan kanannya, membuatku tak mengerti. Apa yang sedang dilakukannya? Kenapa ia malah ingin mengadu? “Maaf, Bu. Box kacamata saya terjatuh, boleh saya mengambilnya?” Bu Irina celingukan menaikkan kepala, seperti mencari celah untuk melihat barang di bawah Lucky. “Baik, Cepatlah! Waktu kita tak banyak. Saya akan membagikan kertas ujian mulai dari depan. Bersiaplah semua!” Lucky mengembuskan napas lega, melirikku dengan mengelus d**a. Diturunkannya lengan kiri dan meraih ponsel di bawah sepatu. Ia membalik benda pipih itu dan seketika terperangah. Ditunjukkannya benda itu di bawah meja. Menggerutu sendiri. Terlihat layar yang tampak retak bagian atas, jemari kanannya mengepal. Aku terkikik menahan tawa. Lalu menundukkan kepala, saat melihat Bu Irina yang tengah memperhatikanku. Buru-buru Lucky mengantongi ponsel dengan masih penuh raut kesal. Kejadian seperti ini tak terjadi sekali. Biasanya, ia akan diam jika sudah kubungkam dirinya dengan mengganti barangnya yang rusak. Dan aku tidak pernah mempermasalahkannya. Lagi pula, ponsel itu terjatuh gara-gara akan membalas pesan untuk Papa. Tentu Papa tidak akan keberatan untuk memberikan yang baru. Sebab, Papa selalu butuh menghubungi Lucky, jika aku tak bisa dihubungi. “Tenang saja,” ucapku lirih, membuatnya tersenyum puas. Kami lalui ujian kali ini penuh khidmat. Tanpa terganggu lagi dengan panggilan atau usikan pada ponsel. Hingga saat jam istirahat tiba, kutemukan wajah Mbak Esti celingukan di ambang pintu kelasku. Siapa lagi yang dicarinya jika bukan aku. Kudongakkan kepala di antara tubuh kawan-kawan yang sedang berkerumun di depanku, agar Mbak Esti bisa cepat menemukanku. “Al!” Ia melambaikan jemarinya sebagai tanda mengajak. Aku berdiri, mendekat padanya. Ia mengajakku ke luar dari ruangan, lalu berdiri di sebelah tembok depan kelas. Ia menarik bahuku agar kepalaku sejajar dengannya. Lalu membisikkan sesuatu pada telinga. “Bu Winda ada di rumah. Papa ingin kita pulang, mau membahas videoku sama Doni pagi ini.” Aku meliriknya. Menegakkan tubuh kembali dan menatapnya tajam. Ia menampilkan raut cemas, seperti bingung dengan dirinya sendiri. “Salah siapa, Mbak?” Aku bertanya dengan nada mengintimidasi. Berharap ia sadar jika yang dilakukannya salah. “Tolong, kamu jangan memojokkanku. Bantu aku memikirkan cara yang halus agar mereka tak salah paham. Apa kamu mau rencana bisnis Papa berantakan?” Aku melunak, mendengar penuturan terakhirnya barusan. Kusenderkan tubuh pada tembok dengan menekuk satu kaki ke belakang. Aku tak peduli jika tembok menjadi kotor, sebab ulah jejak sepatuku. Toh, aku sudah membayar SPP untuk fasilitas gedung kampus ini. “Jadi, apa rencananya?” Mbak Esti turut bersandar pada tembok di sampingku, menengadahkan kepalanya, lalu memejam. Ia menggeleng pelan. “Aku nggak ngerti, Al. Hanya karena masalah hati, aku jadi terjebak dalam hubungan rumit ini. Kenapa sih, Papa harus memaksakan perasaanku seperti ini? Ini kolot banget, Al. Seperti jaman Siti Nurbaya!” Ia menangkupkan kedua telapaknya pada kepala, lalu menjambak rambutnya pelan. Memejam kembali. Suara dering telepon pada saku Mbak Esti, membuatnya bergegas merogoh saku. “Papa.” Ia melirikku dengan menunjukkan ponselnya yang masih menyala. Tubuhnya menjadi tegap, melepaskan diri dari sandaran. Bersiap menerima panggilan. “Halo, Pa.” Matanya kembali mencari wajahku. “Iya, Pa. Kami pulang sekarang ... apa?” Ia menaikkan dagu, kujawab dengan mengendikan bahu. Ia menarik ponselnya ke bawah, menanyaiku. “Kenapa ponselmu nggak aktif?” Aku berdecak, “disita Bu Irina,” jawabku malas. “Handphone Aldi disita, Pa.” Kudengar suara nada tinggi di sana. Aku tahu Papa pasti marah. Dikiranya aku bandel dan membuat kesalahan, sampai ponsel disita oleh dosen. “Iya, iya, Pa. Kami segera meluncur. Baik.” Kepalanya mengangguk, meski Papa tak bisa melihat gerakannya dari seberang sana. Ia menutup panggilan dan mengantongi ponselnya kembali. “Kita pulang sekarang,” ajaknya dengan rasa penuh malas. Bisa k****a dari gestur tubuh dan mimik wajahnya. “Jadi, bagaimana rencananya?” Kepalanya menggeleng kembali dengan wajah masam. “Kita pikirkan lagi di jalan.” Tangannya merentang ke arahku, menunggu dibalas. “Sebentar, Mbak. Aku bilang dulu sama Lucky, biar dia yang izinin absenku untuk jam berikutnya.” Ditariknya kembali lengan lentik itu, lantas mengangguk. Membiarkanku kembali masuk kelas, untuk mengambil tas serta izin pada sahabatku. Suasana masih ramai, tawa kawan-kawanku menggema memenuhi isi kelas. Aku menuju kursiku tanpa ingin sedikit pun melebur bersama candaan mereka. Bibirku tersenyum dengan sendirinya, saat mendengar gombalan Lucky pada salah satu teman kami yang terkenal imut. Kutarik tas ransel dari atas meja, lalu menggantungnya pada sebelah bahu. Lucky seketika menoleh, “Eh, mau ke mana, Al?” “Tolong izinin aku ya. Bokap nyuruh pulang sekarang. Penting katanya,” selorohku dengan lemas. Diiringi anggukan mantap dan suguhan jempol dari Lucky, yang masih mengerahkan jurus ampuhnya untuk merayu sang pujaan. Rasanya begitu malas untuk kembali ke rumah, dengan segala kerumitan kisah. Kulihat wajah-wajah temanku yang begitu ceria tertawa renyah, seakan tanpa beban. Sepertinya hidup mereka begitu tenang. Tanpa ada masalah. Andai aku bisa seperti mereka. Tetapi ... ah, aku tak tahu. Nyatanya beberapa kawan juga menginginkan hidup sepertiku. Sungguh, tak ada hidup yang benar-benar indah. Aku berjalan dengan menyeret kaki malas. Mencari keberadaan Kakakku yang kini sudah tak ada di tempatnya semula. Ke mana dia? Aku merogoh saku untuk mengambil kunci motor dan memainkannya. Kepalaku celingukan ke kiri dan kanan, mencari sosok oriental yang mungkin sudah geram. Sebab aku tahu betul, Kakakku itu sangat benci menunggu. “Sini kunci motormu.” Tiba-tiba saja ia datang dari arah belakang dan mengambil kunci yang sedang kuputar-putar di telunjuk. “Mbak, jangan aneh-aneh. Aku nggak mau dibonceng sama cewek!” Ia merengut, memajukan bibirnya. Telunjuknya diacungkan di depan hidung mancungnya. “Sekali saja, ya. Aku hanya ingin melampiaskan emosi. Janji deh nggak bakal ngebut.” Aku memutar bola mata malas. Tetapi mengiakan keinginannya. Dari pada harus berdebat panjang. Tepat pada parkiran motor, Mbak Esti menarik kedua lengan bajunya ke atas. Lantas dengan gaya sok cool dan tengil menaiki motor dan mengajakku pada boncengan. “Ayoo!” Rasanya ingin kutarik wajah ini seketika. Saat melihat banyak mata terkikik melihatku berada pada jok belakang. “Huft ....” “Udah, nggak usah ngomel!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN