Pesan

1041 Kata
Selesai menuntaskan hajat serta membersihkan diri dan luka di badan, Aku beranjak menuju meja makan, yang di sana sudah ada Mama dan Mbak Esti yang sibuk mencecap makanan masing-masing. Hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring yang terdengar meramaikan meja. Dari dulu, Papa selalu mengajarkan kami, untuk tak berbicara saat di meja makan, kecuali jika dalam suatu acara. Katanya, kita harus menghormati makanan yang ada di hadapan. Menghabiskannya tanpa menyisakan sebutir pun. Sebab, makanan adalah rezeki. Untuk itu, jika memang tak terlalu berselera dan lapar. Papa menyuruh kami untuk mengambil makanan sesuai otak kita saat memandangnya. Jika dirasa mampu menghabiskan, kami boleh mengambil banyak. Akan tetapi, jika tak ada hasrat, lebih baik secukupnya saja, yang penting cukup untuk mengganjal perut dan memberi tenaga. Tak perlu memaksa. Kutatap beberapa lauk yang tersedia di atas piring-piring kaca. Seketika kuusap perut, menghirup aroma masakan yang tampak menggugah selera. Kuambil piring dan mengambil dua centong nasi ke atasnya. Lantas, menutupnya dengan aneka lauk dan sayur kesukaan. Kedua wanita di hadapanku hanya melirik, masih berusaha menuntaskan isi piring yang terlihat tinggal beberapa sendok saja. Kubalas lirikan mereka dengan nyengir. Sebab, piringku sangat penuh sampai tak terlihat. Beberapa suapan dalam mulut, membuatku ingin terus memakannya. Entah, masakan Bi Sumi pagi ini, benar-benar terasa begitu lezat. Padahal, aku tipe orang yang cerewet soal makanan. Suka menggerutu jika tak sesuai ekspektasi. Apalagi rasa, lidahku bagai juri pada sebuah ajang masak. Tahu betul jika ada sedikit rasa yang tak sesuai. Hingga sampai pada separuh piring, Bi Sumi tergopoh menghampiriku. “Den, ponselnya Aden dari tadi berdering terus. Maaf, ini Bibi ambilkan. Takutnya ada yang penting.” Sembari sedikit menundukkan badan di sampingku. Bi Sumi menyerahkan smartphone milikku. Kami bertiga mengernyit. Kuterima ponsel yang diberikan pembantu kami itu, lalu melihat panggilan yang masuk. Bi Sumi pergi, seiring berhentinya panggilan pada telepon genggamku. Tampak nomor tanpa nama yang semalam mengirim pesan padaku. Seketika mulutku berhenti mengunyah. Aku berdecak, memicingkan pandang pada layar. Kutekan tombol panggil untuk kembali mencari tahu. Namun, hanya tulisan ‘memanggil’ yang tertera pada layar, tak berganti menjadi ‘berdering’. Aku semakin kesal. “Maunya apa, sih ini orang?” Suaraku sedikit meninggi sebab sebal. Bahkan, sendok yang kupegang jatuh ke bawah meja. “Aldi, habiskan dulu makananmu!” Mama mendelik saat melihatku menggerutu. “Udah nggak selera, Ma.” Kudorong piring agak ke depan, lalu berdiri dan mulai meninggalkan meja. “Aldi! Kamu nggak sopan, ya! Nggak menghargai makanan!” Sekilas kulirik Mama dan Mbak Esti yang sudah menyelesaikan sarapannya. Mbak Esti tampak meminum segelas s**u di sebelah piring. “Bereskan dulu sisa makananmu dan minum obat!” Aku berhenti melangkah, membalikkan badan dan mengangguk mantap sembari memaksa tersenyum. Agar Mama tak lagi mengomel. “Telepon dari siapa, sih?” Mbak Esti turut membuka suara, sambil mengusap ujung-ujung mulutnya dengan tisu. “Orang iseng,” jawabku pendek dan kuteruskan untuk meninggalkan mereka. Hanya kerutan dahi yang kulihat dari keduanya yang mungkin penasaran. Kuambil obat di kotak obat di dapur, serta sebotol air mineral. Lantas, membawanya menuju kamar kembali. Penuh perjuangan, aku berjalan merayap pada pegangan tangga untuk sampai pada ruangan pribadiku. Sampai di atas kasur, kuempaskan tubuh pada kasur dan mulai mengoles luka dengan salep dari resep dokter semalam. Ketika melihat luka pada tubuh, seketika aku teringat pada Bagus. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku tahu, meski hanya pada kelingking kaki. Lukanya lebih parah dariku yang hanya tergores permukaan kulitnya saja. Tidak seperti jemarinya yang hampir patah. Mungkin, setelah bangun pagi. Keadaannya akan semakin terasa nyeri. Persis seperti yang kurasakan pagi ini. Kuambil ponsel pada saku celana pendekku, lantas mencari kontak Bagus. Meski sudah lama aku menyimpan nomornya, tak pernah sekali pun aku menghubunginya. Kuketik beberapa huruf untuk memulai chat. [Test] Beberapa menit, tak ada balasan. Karena gabut, kubuka aplikasi video-video lucu untuk menghilangkan suntuk. Saat asyik tertawa sendiri, bar notifikasi hape memunculkan chat masuk dari Bagus. k****a pesan yang ia kirim [Iya, Bro] Langsung saja kutuliskan lagi pesan balasan untuknya [Gimana keadaanmu?] Kulihat tulisan di bawah namanya menampilkan ‘mengetik... ‘ tak sabar rasanya menunggu apa jawabannya. Kling! Pesan masuk yang kutunggu muncul [Tak lebih baik. Mungkin, sama halnya denganmu *emotikon tertawa*] Kubalas dengan emotikon ngakak. Tak lama, muncul lagi balasan cepat [Tapi ada yang aneh semalam. Kamarku yang ada di lantai tiga, tiba-tiba ada ular masuk. Hampir saja kakiku yang sakit mau dipatoknya. Nggak gede, sih. Tapi bikin ngeri. Soalnya, kepercayaan di keluargaku, kalo sampai ada ular muncul di sekitar rumah. Itu tandanya ada yang tak beres. Bahkan, Mamaku tadi malam mimpi tenggelam di air yang bening. Dan Papa semakin yakin ada hal buruk yang bakal menimpa kami.] Aku dibuat mengernyitkan dahi saat membaca ulasan ceritanya. Turut ngeri mengetahui hal semacam itu. [Terus sekarang gimana? Ularnya ketangkap?] Tampak tulisan mengetik, membuatku menunggu beberapa detik. [Nggak ada, pas aku ambil sapu. Ularnya hilang. Entah ke mana. Aku bahkan tidur tak nyenyak, sebentar-sebentar bangun karena kaget. Takut juga jika tiba-tiba ularnya muncul lagi.] Sejenak aku berpikir, jika bisa saja ada orang iseng yang memakai hal mistis semacam santet, untuk dikirimkan ke keluarga Bagus. Aku pernah mendengar cerita-cerita semacam itu sebelumnya. Dan aku sedikit percaya juga dengan soal demikian. Apalagi, keluarga Bagus yang terkenal kaya dan terpandang. Bisa saja punya saingan bisnis yang membuat orang sakit hati. Tak bisa memakai cara nyata, hingga memakai jalan halus yang tak kasat mata. Di saat aku bingung harus membalas apa. Muncul lagi pesan darinya [Papa sudah menghubungi orang pintar untuk mencari tahu. Kami juga tak mau jika sampai ada kejadian buruk pada keluarga kami. Semoga saja akan segera ada titik terang. Dan harapku, semua kejadian yang kualami hanya sebuah kecelakaan dan tak ada hubungannya dengan hal gaib dan semacamnya] Aku mengembuskan napas. Andai kamu tahu, Gus. Jika apa yang terjadi padamu semalam, adalah perbuatan wanita yang mengikuti Doni. Tetapi bagaimana aku harus menjelaskan? Aku juga tak mau dianggap aneh. Tak mungkin sepenuhnya ia percaya. [Yakinkan saja pada Tuhan. Itu lebih baik. *emoticon senyum*] Balasku terakhir kali, diikuti stiker jempol besar darinya. Sebelum kukunci ponsel untuk menaruhnya. Sebuah pesan kembali muncul dari nomor asing itu kembali. [Jangan terlalu kepo, nanti sakit hati. *emotikon menyeringai*] Kepalaku seketika memanas. Sial! Kubanting ponsel kuat ke lantai, saking kesalnya. Terdengar suara retak saat benda silver itu beradu dengan lantai. Tak kupedulikan! Papa bisa membelikanku kapan pun aku mau.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN