Buang Sial

1271 Kata
Bagus dibuat penasaran, saat mendengar suara berisik beberapa orang di luar kamarnya. Ia yang tengah asyik dengan ponsel, tetiba bersikap mematung, terlihat mencoba menajamkan pendengaran. Tampak ketika telinganya dimiringkan menuju pintu. “Ada apa, sih?” gumamnya. Ditaruhnya gawai kesayangan pada meja sebelah kasur. Lantas, berusaha berjalan mendekati pintu dengan menyeret kaki kanannya yang berbalut perban pada bagian kelingking. Ia sedikit melompat kecil untuk mempercepat langkah. Tepat di depan pintu, ia berjingkat, saat tiba-tiba pintu terbuka dari luar tanpa permisi. Tampak Bu Winda, Mama dari Bagus yang membawa seseorang di belakangnya. “Gus, ini ada Ki Pratna. Mau lihat-lihat keadaan kamarmu,” ujar Bu Winda yang diiringi lirikan matanya pada seorang lelaki dengan wajah sangar yang berdiri di belakang wanita paruh baya tersebut. Bagus mengangguk, memiringkan badannya untuk memberi jalan. Pria dengan kumis tebal itu melangkah beberapa jejak. Lalu berhenti di ambang pintu. Matanya terlihat menjelajah setiap sudut ruang. Bagus menelusuri pandang pada pria yang kini berdiri setengah meter darinya. Dari ujung kepala hingga kaki, tak lepas dari pandangan Bagus. Pria itu tampak aneh. Wajah dan posturnya mirip perawakan orang Jawa, dengan kulit cokelat gelap dan kumis hitam lebat. Rambut bagian atasnya botak, tetapi bagian tengkuk bergelombang panjang sampai ke punggung atas. Namun, pakaiannya mirip baju khas orang cina. Setelah Tang warna abu tua dan celana kain hitam. Pria itu mulai masuk perlahan, masih dengan sorotan jeli di setiap sudut kamar. Sesekali ia mengernyit, mengembuskan napas. Lantas, memeriksa sudut lainnya. Bagus mendekat pada Mamanya, lalu membisikkan sesuatu. “Apa ini orang pintar yang dihubungi Papa kemarin?” Sang Mama hanya melirik dan mengangguk, kembali menatap Ki Pratna yang sibuk memeriksa. Kini, tatapan pria botak itu beralih pada Bagus. Ia mendekatinya, melihat perawakan Bagus dari atas ke bawah. Ia tampak menggelengkan kepala, lalu berdecak. Bagus tampak risi dan menggerak-gerakkan tubuhnya. “Padahal, kamu anak yang baik.” Bagus memajukan kepala, melongo. “Memangnya kenapa?” Kalimat itu muncul dari bibir pemuda kekar itu. “Bukan apa-apa. Dan tentunya bukan salahmu.” Ki Pratna menyungging, ketika melirik ujung kelingking kaki Bagus. “Tak salah lagi,” ujar Ki Pratna yang membuat dua orang di dekat pintu mengernyitkan dahi. “Maksudnya apa, Ki?” tanya Bu Winda penasaran. Lelaki itu mengembuskan napas dalam. Melirik kursi di sebelahnya lalu menyeret dan mendudukinya. “Boleh saya merokok?” Bu Winda melirik Bagus. “Sebentar.” Wanita berbaju ungu itu sigap berjalan menuju pintu geser kaca pada balkon. Membukanya lebar, lalu mematikan AC. Angin sepoi seketika masuk dan mengibaskan segala hal ringan dalam kamar. “Silakan.” Lelaki itu menyelusupkan jemarinya pada saku baju, mengambil bungkus rokok dan mulai mengambil sebatang dan menyulut. Ia menyesap benda lintingan itu dalam-dalam. Lantas, mengembuskan asapnya ke udara. Gumpalan putih yang membentuk lingkaran seketika lenyap tertiup kibasan angin dari luar balkon Ia mengepalkan tangan kirinya ke depan d**a. Sedikit berkomat-kamit, lalu menyesap lagi rokok dan mengembuskan asap pada jemari yang menggenggam tersebut. Seketika Bu Winda dibuat menjerit histeris, saat menemukan ular kecil tetiba menggeliat dalam remasan tangan Ki Pratna. “Astagaa!” Wanita itu merapatkan jarak pada Bagus, wajahnya penuh ngeri. “Itu ... mirip ular yang kulihat semalam.” Bagus menuding ular dengan wajah menciut. Pria botak itu menegakkan badan dan berdiri, ia berjalan pelan menuju balkon dengan masih menggenggam ular kecil yang terus menggeliat dan mencoba melepaskan diri. Dua orang di sebelah pintu hanya mampu menatap ngeri apa yang dilakukan Ki pratna di balkon kamar Bagus. Ia terlihat meremas-remas ular itu, sembari melafalkan sesuatu pada mulutnya yang entah apa, hingga ular itu perlahan mengeluarkan asap. Sampai benar-benar lenyap menjadi asap hitam, lalu hilang tertiup kencangnya embusan angin. Pria itu lalu menyeringai, saat ular sudah benar lesap dari telapak tangannya. Kedua telapaknya menepuk, mengibaskan sisa asap agar hilang. Lantas, ia meniup kedua tangannya itu dengan bacaan kembali. Kepalanya bergerak ke belakang, menatap dua orang yang masih tercengang saling berpegangan. Ki pratna merapatkan tubuh pada besi pagar. Menyandarkan tubuh dan sikutnya, menatap pemandangan luar rumah. Ia menyesap lagi rokok yang tinggal separuh. Sembari menghirup udara pagi ini. Bu Winda dan Bagus mendekat perlahan, tetapi tidak sampai pada balkon. Hanya sampai di ambang pintu kaca. Mereka berdiri sembari menyorotkan pandang pada sudut-sudut balkon. Seperti memastikan jika ular itu benar sudah menghilang. “Ke mana ular itu, Ki?” Bibir Bu Winda tampak gemetar, masih berusaha menelusuri balkon dan tangan Ki Pratna. Penuh was-was ia menyorotkan pandang. Seolah berhati-hati agar tak digigit. “Tenanglah, ular itu takkan kembali. Tapi, ada syaratnya.” Lelaki itu menyesap rokoknya dalam-dalam. Lantas menancapkan puntung yang tinggal seujung jari pada pinggir pagar untuk mematikan bara. Setelah itu menyentilnya ke bawah. “Syarat apa, Ki?” Bagus dan sang mama melangkah pada balkon, mendekatkan jarak. “Sebenarnya, semua yang terjadi pada keluarga ini adalah sebab kamu, Bagus.” Ia menyorotkan pandang pada pemuda yang kini mengernyitkan dahi. “Aku?” Bu Winda turut melirik anak satu-satunya itu. “Bagaimana bisa? Apa salahku?” “Kamu tidak salah, tidak pernah. Hanya saja, ada orang yang ingin memanfaatkan keadaan melalui mu.” Bagus melirik Mamanya yang juga menggerakkan bola mata padanya. Keduanya saling tatap penuh heran. “Siapa orang itu? Dan apa hubungannya dengan anak saya?” Bu Winda kian tak mengerti dan cemas. Ki Pratna memejam sebentar dan berkata, “Seseorang. Mm ... tidak, dua orang mungkin.” Matanya kembali terbuka. “Bisakah kami tahu namanya?” Ki Pratna menggeleng. “Aku tidak bisa melihat hingga sedetail itu. Bahkan, tak jelas. Hanya bayangan buram yang tampak di mata batinku.” “Pria atau wanita?” Bagus terlihat tak sabar. Pria berkumis itu menggeleng lagi. “Aku hanya bisa sedikit membantu, tak lebih. Kalau mau, kalian harus buang sial untuk mencegahnya berbuat lebih.” Ketiga orang itu memicingkan mata, saat tiba-tiba angin berembus kencang, mengibaskan rambut masing-masing menutupi wajah. “Caranya?” Bu Winda menyelipkan rambutnya pada telinga. “Bagus harus punya ikatan dengan seorang wanita yang dicintainya. Itu akan memperlambat kelakuan mereka pada keluarga kalian.” “Menikah?” Bagus membulatkan mata. “Tak harus buru-buru, dengan tunangan saja bisa. Asal ada ikatan antara kalian. Itu akan membuat sebuah benteng pertahanan.” Kembali, kedua ibu dan anak itu saling berpandangan. Lantas, tersenyum. “Baiklah. Lagi pula, Bagus juga sudah punya calon. Mungkin, sebaiknya segera diresmikan saja,” cecar Bu Winda sumringah. “Tapi ingat. Ini hanya sedikit ritual buang sial saja. Dan yang paling penting, kedua pasangan ini harus saling. Saling percaya, saling cinta, juga saling melindungi. Jika tidak, semua akan sia-sia saja.” Keduanya mengangguk mengerti. Ki Pratna lalu melangkah masuk ruang kamar kembali. “Baiklah, aku pamit. Sampaikan salamku pada Pak Darma.” Bu Winda dan Bagus mengikuti pria itu ke luar kamar. Sampai di depan pintu kamar, mereka berhenti. Ki Pratna membalikkan badan. “Aku lupa sesuatu.” Pria itu merogoh saku, mengambil benda di dalamnya. “Terima ini. Bukan apa-apa. Hanya sedikit perlindungan untuk kalian.” Ia menyodorkan tiga buah benda hitam seperti karet gelang. Membuat kedua orang di depannya hanya menatap tak mengerti. “Pakai gelang ini, setiap waktu. Sampai Bagus benar-benar menikah. Anggap saja jimat dariku.” Bu Winda mengangguk dan mengambil tiga gelang hitam di telapak tangan Ki Pratna, tanpa bertanya lagi. Ia memberi satu kepada anak semata wayangnya. “Ingat baik-baik semua pesanku tadi.” Anggukan kembali ia terima untuk menyudahi pertemuan mereka. Bu Winda mengantarkan lelaki berpakaian setelan Tang itu sampai ke depan. Sedangkan Bagus, hanya melihat mereka tanpa turut membantu, sebab kakinya masih terlalu sulit untuk bergerak banyak. Ia membiarkan mamanya mengobrol dengan pria itu meninggalkannya di depan pintu kamar. “Jimat? Apa benar manjur?” Bagus bergumam memandang gelang tipis berwarna hitam itu, lalu menyelusupkannya pada pergelangan tangan kiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN