Kacau

1401 Kata
Aku dan Bagus yang berada di belakang Mbak Esti, turut terdiam. Ada rasa lega saat seperti ini, Papa bisa melihat kelakuan anak gadisnya itu pada Bagus yang sesungguhnya. Selama ini, Papa hanya tahu, jika Mbak Esti benar-benar mau dan percaya sepenuhnya pada Papa. “Apa yang akan Papa katakan pada mereka, orang tua Bagus, Ti! Jika tahu kamu begitu tak suka dengan anak semata wayangnya. Mau ditaruh di mana muka Papa?” Papa berkata dengan menahan, sembari melirikkan bola matanya pada kedua calon besan yang sedang menikmati hidangan di meja bundar, bersama beberapa saudara Bagus. “Maafkan Esti, Pa. Aku hanya mengikuti kata hati, tak lebih.” Kini wajah Mbak Esti menunduk, tak bisa kulihat ekspresinya dari belakang sini. “Tolong, jangan biarkan mereka tahu jika kamu seperti ini!” Papa menarik lengan Mbak Esti, lalu merangkulnya, membisikkan sebuah kalimat yang bisa k****a, sebab berada tepat di sebelahku. “Bisa kacau semua rencana dan ide Papa untuk mengembangkan bisnis keluarga kita.” Aku sengaja menutupi Bagus dengan merentangkan tubuh, agar Bagus tak mendengar apa yang dicecarkan Papa pada telinga Mbak Esti. Bagus tampak mencuri-curi pandang dari tubuhku yang lebih tinggi darinya. Namun, rupanya tak berhasil. Ia berdecak. Kukedipkan mata pada Papa yang tengah melirikku, agar membawa Mbak Esti pergi. Aku tak mau Bagus juga merasakan apa yang selama ini dipendam Mbak Esti, menjadi jaminan bagi orang tuanya demi rencana bisnis mereka. Papa mengangguk, lalu menyeret tubuh Mbak Esti mengikutinya pada keluarga Bagus yang asyik menikmati hidangan. Kulihat wajah mereka tampak terkesima, saat melihat penampilan calon menantunya itu. Mama Bagus langsung mengeluarkan ponselnya dan mengajak Mbak Esti selfi. Tentu demi story sosmed-nya. Bu Winda memang terkenal aktif bersosial media. Ia bahkan mempunyai komunitas sosialita bersama para wanita hebat dan tak sedikit pula artis-artis kawakan yang lama tak muncul di televisi. Ia selalu membagikan momen-momen bahagianya di tiap aplikasi miliknya. Bahkan, ia mempunyai fotografer sendiri, untuk mengambil gambar-gambar indah yang diinginkan. Fotografer sewaan Papa juga sudah datang untuk mengambil beberapa gambar seperti saat ini. Lampu-lampu besar dan terang sudah dipasang di tiap sudut, demi kualitas gambar yang bagus. Seseorang di antaranya, juga mencuri-curi gambarku yang sedang berdua bersama Bagus. Paparazzi sekali, pikirku. Namun, justru foto-foto dengan pengambilan tanpa sengaja seperti ini, bisa menghasilkan ekspresi yang tak disangka. Candid camera, istilahnya. Bagian dapur pun, tak luput dari para fotografer. Sebab, Papa ingin semua detail yang ada di acara ini diabadikan. Tak terkecuali. Agar menjadi kenangan yang bisa ditunjukkan ke anak cucu kelak. Saat Mbak Esti dan Mama dipoles make up tadi, juga menjadi momen paling ditunggu. Before dan after make up akan menjadi kenangan tak terlupakan untuk acara kali ini. Setengah jam sebelum acara benar-benar dimulai, tamu-tamu datang berjubel datang memenuhi isi dalam rumah. Hanya keluarga inti dan beberapa kolega kerja Papa saja yang akan menjadi saksi ikatan antar dua keluarga ini. Bagian pintu sudah dijaga oleh orang-orang kepercayaan Papa, untuk menyambut para tamu dengan membawa undangan masing-masing. Dengan begini, dipastikan takkan ada orang lain yang bisa menelusup masuk begitu saja. Aku turut mengawasi datangnya para tamu di depan teras rumah. Mobil-mobil mewah tampak berjajar memenuhi halaman rumah kami yang biasa kosong. Namun, tidak kali ini. Ada sebersit rasa bangga melihat jaringan sosial Papa yang dipenuhi orang-orang dari kalangan menengah ke atas. Jika saja Lucky tahu rangkaian acara malam ini. Tentu ia akan tercengang dengan deretan kendaraan yang berjajar rapi di beranda rumah kami. Ah, aku sampai lupa untuk tak mengundangnya. Padahal, ia selalu mengajakku saat ada acara di keluarganya. Kulihat sebuah keluarga turun dari sebuah mobil range rover hitam. Salah satu anggotanya, ada seorang pemuda yang kira-kira seumuran Mbak Esti. Entah kenapa, tiba-tiba mata kami saling mencuri pandang. Meski sudah kucoba menepis dan berpura-pura tak melihat dengan menyibukkan diri bermain ponsel, ada rasa kuat yang menarikku untuk tetap tertuju padanya. Pemuda itu memakai setelan jas berwarna abu, dengan dalaman kemeja putih. Sebuah kacamata hitam bertengger di sela telinga. Ia sukses membuatku terhipnotis, dan tak berhenti untuk terus meliriknya. Debar jantung terasa semakin cepat, bahkan semakin membuat sesak. Badanku pun otomatis mengikuti arah pemuda itu berjalan, tanpa diperintah. Ia tampak memberikan sinyal hijau padaku. Senyuman tipis mengembang, dengan sedikit anggukan pelan, membuatku semakin penasaran. Siapakah dia? Rasanya, wajah dan sosok itu tak asing di mataku. Aku pun merebahkan diri di kursi teras, mencoba menstabilkan napas yang benar-benar terkuras oleh lirikan mata sosok asing yang begitu familiar. Entah, siapa dia? Pesonanya sungguh luar biasa. Tak terasa, halaman rumah kini sudah penuh dengan mobil yang berjubel, tanpa ada lagi yang datang. Kuangkat lengan kiri dan memandang jam pada pergelangan tangan. Pukul 19:10. Pantas saja, tak ada lagi tamu yang hadir. Rupanya para undangan Papa adalah orang-orang yang disiplin dengan waktu. Tak ada yang terlambat. Semua datang sesuai jam. Glodak! Aku menoleh kasar pada arah pot bunga di sebelah kiriku yang tiba-tiba saja jatuh dan pecah. Keningku mengerut. Bagaimana bisa? Kutegakkan tubuh dan sedikit melongok untuk memastikan, apakah ada sesuatu atau seseorang di sana? Tetiba Bi Sumi muncul dari balik tanaman dan pot yang tadi jatuh. “Bi, potnya kok bisa jatuh?” Ia melihatku dengan melotot, lalu menjawabnya dengan nada seperti kebingungan. “Anu, Den. Ada kucing. Tadi masuk ke dapur, saya usir dan kejar sampai sini. Eh, malah jatuhin potnya Nyonya. Maaf, ya, Den.” Otot-otot tubuhku melemas kembali, mendengar penuturan dari Bi Sumi. “Ya sudah, bersihin saja, Bi. Biar nanti diganti pot baru.” Ia mengangguk patuh, lalu menundukkan badan, untuk membereskan pot yang pecah berceceran. Kudengar suara speaker di dalam rumah sudah menggema. Tampaknya acara sudah dimulai. Kutegakkan badan dan mulai berdiri untuk melangkah masuk. Riuh suara tepukan dan siulan panjang, menyambut kedatanganku saat memasuki rumah. Para pria dengan setelah jas atau kemeja mewah berjajar dan bersanding dengan wanita-wanita cantik dengan gaun-gaun bernilai puluhan juta. Aku paham betul dengan harga pakaian-pakaian mereka. Sebab, sering kali menemani Mama berbelanja. Tentu, hal seperti ini bukanlah suatu masalah besar bagi mereka. Tampil sempurna di tiap pertemuan dengan kolega kerja, adalah hal yang wajib dilakukan. Tepat di backdrop bawah tangga. Kulihat Papa berdiri di sebelah Mbak Esti yang sedang melingkarkan tangan pada lengan Bagus, dengan senyuman begitu manis. Bagus tampak sangat bahagia. Akhirnya, wanita yang selama ini diidam-idamkannya, kini berdiri tepat di sebelahnya dengan bergelayut manja. Ia berkali-kali melirikkan mata pada Mbak Esti yang terus mengembangkan senyum pada semua undangan. Sedangkan Papa, sedikit berpidato dan mengucapkan kalimat terima kasih pada semua tamu yang datang. Hingga bagian paling mendebarkan tiba. Semua tamu terdiam mendengarkan ucapan Papa. “Hadirin sekalian, malam hari ini. Dengan penuh rasa syukur dan bahagia, kami umumkan sebuah pengumuman penting. Mulai malam ini, putri saya Esti Wicaksana, dengan Bagus Raharja, secara resmi bertunangan, dan akan segera menuju ke jenjang pernikahan. Mohon doa dan restu untuk keduanya agar dilancarkan hingga sah menuju hari nanti.” Tepukan seluruh orang, seketika riuh menyambut ikatan keduanya. Mama, Bu Winda dan Pak Darma turut naik menuju panggung backdrop. Bu Winda begitu antusias mengeluarkan sebuah kotak cincin dari dalam tas. Kali ini kuacungkan jempol pada Mbak Esti untuk aktingnya. Ia menutup mulut dengan kedua tangan dengan ekspresi terkejut, seolah tak percaya mendapatkan cincin dengan berlian warna pink yang begitu berkilau. Membuat semua mata turut terkesiap melihatnya. Tepukan tangan para undangan, menyambut bahagia pengikatan dua insan yang kini saling bertatap. Bagus meminta tangan kiri Mbak Esti, disambut uluran tangan lentik Kakakku yang langsung dikecup pelan oleh Bagus bagian punggung tangannya itu. “Waw!” Semua orang tampak ikut meleleh melihat pasangan muda yang begitu mesra. Ada yang terharu, menutup mulut. Beberapa yang tua malah menitikkan air mata. Dengan sambutan tepuk tangan semua orang, Bagus menyelusupkan cincin dari kotak yang dipegang mamanya. Jari manis Mbak Esti kini sudah terikat oleh cincin pemberian Bagus. Kini berganti Mbak Esti yang memasukkan cincin pada jemari Bagus. Aku mengembuskan napas lega, akhirnya mereka berdua dapat terikat dalam perjanjian menuju ikatan suci. Papa tampak mengangkat gelas, mengajak semua tamunya untuk ikut menaikkan gelas masing-masing. “Untuk ikatan pertunangan kedua Putra dan Putri kami, cheers!” Semua mengikuti instruksi Papa, lantas meneguk minuman pada gelas masing-masing. Untuk menghormati keluarga Papa dan Pak Darma. Namun, beberapa detik setelahnya. Seseorang tampak terbatuk. Kami menoleh padanya, mungkin ia tersedak. Seorang teman di sebelahnya menepuk pundaknya pelan. Tetapi ia masih terus terbatuk. “Uhuk! Uhuk!” Lainnya juga tampak terbatuk. Satu, dua, tiga, semakin banyak orang terbatuk sampai terpingkal-pingkal. Suasana jadi kacau. Papa serta keluarga Pak Darma kebingungan. Mbak Esti diseret Bagus beserta Mama dan Bu Winda untuk meninggalkan stage, menuju kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN