Bertikai

1187 Kata
Kini hampir semua undangan dalam ruangan terus mengeluh dan batuk, bahkan ada yang sampai tergeletak, memegang leher dan tak berhenti mengerang. Sungguh aneh dan tak masuk akal. Setelah meminum seteguk saja, mereka semua seperti teracuni sesuatu. Apa yang sudah terjadi, dan bagaimana bisa kami sampai kecolongan seperti ini? Seluruh orang kian panik, berteriak menyalahkan Papa dan Pak Darma. Kami yang tak tahu apa-apa, hanya bisa melongo melihat kejadian tak terduga ini. “Pak Andri, apa yang kau lakukan pada kami?!” Seseorang dengan wajah penuh peluh, duduk bersimpuh, bersandar pada meja, beserta istri yang juga terengah-engah dengan napas. Suaranya patah-patah saat mencoba memanggil Papa. Papa mendekatinya. Mencoba memberi kalimat penenang dan meminta maaf pada semua orang. Sedangkan aku, hanya bisa menatap semua wajah yang tampak kesakitan dengan napas tersengal. Teriakan para wanita, membuatku semakin bingung. Mataku berputar melihat mereka yang tak salah. Sampai mengalami kejadian ini tepat di acara agung keluarga kami. “Aldi! Telepon petugas rumah sakit! Sekarang!” Papa menyadarkanku dengan suara keras. Aku tergopoh dan mengangguk kaku, lalu merogoh saku untuk mengambil ponsel. Ruangan jadi begitu berisik, dipenuhi suara batuk dan rengekan para wanita dan anak-anak. Begitu kacau! Kututup telinga dan mencoba konsentrasi pada panggilan. Suara dengungan nada telepon tersambung sudah mulai terdengar. Namun, terlalu ramai hingga aku tak bisa mendengar lagi. Apakah teleponku sudah terhubung dan diangkat di seberang sana? Aku menuju dapur untuk mengurangi suara berisik, lalu mengabari tenaga medis untuk segera datang. Dengan suara keras dan terburu-buru, kubentak petugas yang menerima panggilan telepon dariku. “Cepat, nggak pake lama! Semuanya sekarat!” Hampir tak ada jawaban yang kuterima dari seberang, kecuali “Iya, Pak.” Tak lupa kusertakan alamat lengkap, agar mereka bisa segera meluncur menuju rumah kami. Aku sangat panik dengan situasi saat ini. Namun, anehnya hanya keluarga kami yang tak merasa demikian. Tak ada yang batuk seperti halnya para undangan. Aku jadi curiga, apakah ada seseorang yang sengaja? Sebelah tanganku berpegang pada pinggang. Sebelahnya, masih memegang ponsel dengan mengketuk-ketukkannya pada meja dapur. Kulihat minuman dalam wadah termos besar, yang tadi dibuat oleh Bi Sumi dan tenaga katering pesanan Papa. Apa mungkin Bi Sumi yang melakukannya? Lantas, untuk apa? Aku benar-benar tak paham dengan pikiran orang yang tega meracuni mereka. Srek! Sebuah suara seperti kaki yang diseret mengagetkanku. Seketika aku menoleh untuk mencari sumber suaranya. Ada sekelebat bayangan yang tampak menghindar, tepat di belakangku. “Siapa itu?” Ku dekati tempat yang tadi kulihat ada bayangan. “Bi Sumi, kaukah itu?” Tak ada jawaban, membuatku terdiam dan semakin fokus menajamkan telinga dan mata. Tepat di balik gorden, ada sepasang sepatu di bawah sana. Kusingkap cepat gorden penghalang untuk mencari tahu. Dan, betapa kagetnya aku saat melihat seseorang berdiri di sana. “Kamu!” Ia mengembangkan senyum, membuatku kian tak mengerti. Pemuda yang tadi sempat menarik perhatianku, kini tepat berdiri di hadapan. Tingginya sama denganku, dan ia masih mengenakan kacamata hitam untuk menutupi wajah aslinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Dahiku kini mengerut sempurna, mengikuti tiap gerak-geriknya yang semakin mencurigakan. Ia malah begitu santai, menyelipkan sebelah jemari tangan pada saku celana abunya. Tangan itu memakai sarung karet, Kulirik apa yang sedang disembunyikannya di balik saku itu. Sebuah botol? Apa benar yang kulihat? “Apa yang kamu lakukan pada semua tamu kami?!” Aku menuding dadanya penuh geram. Tergambar dengan jelas dalam pikiranku, jika ia yang telah memberikan sesuatu dari botol yang tengah ia sembunyikan kini. Ia hanya menyeringai jahat dengan sedikit menaikkan dagu. Sombong sekali, pikirku. “Coba kulihat, apa yang ada di tanganmu itu!” Kuulurkan tangan, dan disambut tepisan tangannya. Kini rahangnya tampak mengeras, dengan mata mendelik. Aku tak berhenti menajamkan pandang. Sosok ini sungguh mengingatkanku pada seseorang, tetapi tak tahu siapa? Postur badannya seperti pernah dan sering kali kutemui. Otakku berpikir keras, dengan sedikit mencoba membaca isi pikirannya. Namun, belum sempat kutahu isi otak pria di hadapanku ini. Ada sebuah hal yang membuat konsentrasiku pecah. Di sebelah kanan dagu pemuda ini, terlihat seperti kulit yang mengelupas. Kulit tipis itu bergetar seiring gerakannya. Aku tak tahan lagi, langsung saja kuangkat tangan dan menarik hal yang memicu penasaranku untuk menuntaskan semua. Berhasil! Rupanya itu sebuah topeng kulit, kubuang kasar benda lembek dan kenyal itu ke lantai, seiring dengan jatuhnya kacamata hitam yang sedari tadi menutupi pandang. Ia menolehkan wajah ke kiri, beberapa detik. Aku tahu ia berusaha menutupi dan menghindar. Kugerakkan pula kepala ini dengan miring untuk mengikutinya. “Doni!” Napasku seketika memburu, seiring dengan kepalan tangan yang ingin segera menghantam. Kukumpulkan emosi dan segera meluapkan dengan menghantam wajah lelaki penipu itu. Bugh! Sebuah pukulan keras mengenai rahang kirinya. Punggung tanganku bahkan terasa begitu ngilu. Kini ia menopang pipinya dan bersungut-sungut memandangku penuh geram. Sebelum ia sempat membalas, kutepis jemari yang akan melayang menuju wajahku dengan kasar. Badannya sampai tersentak ke samping. Aku menyeringai, menyunggingkan sedikit bibir ke atas kanan. “Jadi benar firasat ku, kamulah penyebab semua kekacauan ini!” “Bukan urusanmu!” Aku terkekeh. Menggerakkan bola mata ke atas. “Apa maksudmu bukan urusanku? Ini keluargaku, sudah seharusnya menjadi tanggung jawabku!” Aku berdecak, sembari berkacak pinggang. Kulihat ujung bibir Doni yang dipegangnya, tampak mengeluarkan darah segar. “Kau takkan pernah mengerti!” Rupanya ia masih bertahan dan tak mau mengalah. “Sebenarnya apa maumu, Hah!?” Ia mendongakkan wajah, masih dengan tangan yang menopang rahang. Matanya mendelik tajam. Membuat emosiku kembali terkumpul. Aku bersiap lagi melayangkan kepalan. Akan tetapi, sebuah hantaman keras dari sebuah wajan penggorengan yang dipegang Doni, membuat kepalaku pening. Seketika tubuhku terhuyung, meski kucoba untuk tetap sadar, tetapi tak mampu. Begitu ngilu dan sakit. Tepat di detik terakhir, kulihat Doni mengenakan lagi topeng yang sempat ku buang. Ia terlihat mencari sesuatu. Tepat di samping lenganku, ada kacamata miliknya, dengan tubuh lemas, kuremas benda penutup mata ini, dan menyembunyikannya di bawah tubuhku. Sepertinya ia kesal. Lantas, menampar pipiku keras, hingga membuatku tersungkur tak sadarkan diri. Semuanya gelap. *** Aku mengerjap-kerjapkan mata untuk menstabilkan cahaya yang masuk ke retina. Perlahan tapi pasti, mataku benar-benar terbuka sempurna. Kurasakan tubuh sedang berbaring di atas kasur empuk. Ku jelajahi ruangan yang tak asing ini; kamar Papa. Perlu beberapa detik untuk mengumpulkan lagi kesadaran. Ada rasa ngilu luar biasa pada bagian tengkuk. Aku mengernyit, menahan rasa sakit dan pening yang mendera. Kupegang bagian belakang kepalaku ini dan sedikit memijatnya lembut. Sebuah wajah mulai mendekat, ketika melihatku sadar. Ia terlihat panik menatapku yang masih dalam posisi berbaring. Lantas, duduk di tepi kasur dan mengusap jidat ini dengan gusar. “Al, kamu nggak papa? Apa yang sudah terjadi?” Mama menyambut kebangunanku dengan penuh gurat cemas. Di sebelahnya, ada Papa beserta Mbak Esti dan Bagus yang sama bingungnya, menunggu jawaban dariku. Semua mendekat. Aku berpikir sebentar, mengingat kembali kejadian sebelum mata terpejam. Bola mataku berputar ke atas, mencoba mengulang rekam kejadian hingga membuatku pingsan. “Doni.” Satu nama meluncur dari bibir ini. Membuat semua orang mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Kini Papa yang begitu penasaran, mendekat dan menaikkan dagu untuk menunggu jawaban. “Dia yang sudah memukul kepalaku hingga aku pingsan. Dan dia juga yang sudah meracuni semua tamu yang ada di sini.” Semua malah melihatku dengan muka tak percaya dan saling pandang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN