Bukti Terakhir

1165 Kata
Seorang tim tersebut, menaruh plastik berisi kacamata di atas meja. Menunjukkannya pada para atasan. Tiga orang polisi mendekat dan melihat dengan teliti. Salah seorang di antaranya, mengambil bungkusan itu dan memutar-mutar benda itu. Aku hanya melirik dengan mencoba menstabilkan napas. Selalu saja seperti ini. Jika dalam keadaan gugup, napasku menjadi ngos-ngosan. Lemah! Bahkan tenggorokan ini serasa begitu kering. Bibir membuka dan menutup dengan hidung yang kembang kempis. “Ada satu lagi, Pak.” Tubuhnya memutar ke belakang. Tetiba seorang tim lainnya masuk ruangan dengan membawa wajan penggorengan yang sedikit penyok bagian belakang. Tanganku mengepal dengan mata memejam sebentar. Doni terlalu ceroboh! Seketika kulirik Papa dan Pak Darma yang alisnya tampak meninggi. Keduanya saling mencuri pandang. Tegang. Tiga kolega Papa saling bergerumun, sepertinya mereka juga penasaran, dengan apa yang terjadi. Wajah mereka tampak tak enak. Seperti menyesal, terlalu terburu-buru melaporkan kejadian ini pada polisi. “Kami yakin, barang-barang ini ada hubungannya dengan kasus ini.” Ditaruhnya pula benda dari stainless itu di sebelah kacamata. Ia melihat kami satu per satu, lalu melepas sarung tangan karet dari jemari. Wajahnya begitu tenang, memandang seorang polisi yang mungkin menjadi atasannya. “Kami sudah menanyai pekerja dapur. Mereka bilang, wajan itu sebelumnya baik-baik saja. Masih bagus ketika digunakan. Dan mereka tak tahu, kenapa tiba-tiba bisa penyok seperti ini? Aku yakin, terjadi perkelahian di sana. Mungkin, orang yang meracuni minuman, dengan salah seorang penghuni rumah, atau tamu undangan di sini. Yang pasti, salah seorang di antara kalian yang ada dalam acara.” Wajahnya begitu tegas dan meyakinkan. Semua hanya mangut-mangut, ketiga kolega Papa kini saling berpandang. “Apa ada CCTV di dapur?” Polisi dengan name tag Surya, menanyai kami. Anggukan Papa menjadi jawaban untuk pertanyaannya. “Kami juga sudah melihat hasil rekaman video dapur. Dan gambar terakhir yang kami lihat, adalah wajah dia. Sang putra Wicaksana.” Tim polisi bernama Rendy, yang k****a di bagian dadanya itu menunjukku yang kini mematung. Aku tak dapat lagi mengelak. Kembali, kuteguk ludah berat, membasahi kerongkongan yang semakin kering. Apa mungkin, sudah seharusnya kubeberkan semua? “Pantas kamu tampak tegang. Jadi, apa yang sudah terjadi?” Polisi Surya menatapku tajam. Mulutku menganga. Mungkin saat ini, mimik wajahku semakin membuat mereka curiga. Kutundukkan muka untuk menghindari tatapan itu. Aku benar-benar tak berani menatap muka mereka saat ini. “Tolong, jangan mempersulit!” Polisi lain dengan postur sedikit buncit, mencoba menggertak. Tubuhku kian beringsut. “Maaf, apakah Anda sudah melihat semua video tadi?” Kembali Pak Darma menjadi pahlawan untuk kecemasanku. Aku sedikit bernapas lega. “Tentu, tidak kami lewatkan sedetik pun. Dan saya menemukan kejanggalan di sana. Bagaimana mungkin saudara Aldi tetiba pingsan begitu saja? Seperti ada beberapa bagian yang sengaja dipotong.” Tim polisi bernama Rendy itu, melirikku kian sinis. “Aldi memang gampang pingsan. Apalagi setelah mengalami kecelakaan motor empat tahun lalu. Kepalanya sering tak kuat, jika terlalu banyak pikiran dan cemas.” Papa menambah keyakinan pada para polisi. Ia mendekat padaku, mengusap bahuku lembut. Seketika kepalaku terasa berdenyut pening. Aku mengernyit. Memegang tengkuk yang terasa ngilu. Kupijat perlahan untuk menahan sakitnya. “Lihat, Pak. Jika terus didesak seperti ini, Aldi bisa pingsan kembali.” Papa mengusap-usap kepalaku. Ada raut cemas di wajah orang tuaku ini. Semua menatapku yang kini mulai berkeringat. Aku tak tahu kenapa kepala ini tiba-tiba sakit. Polisi Surya mencoba mendekat. Aku memundurkan tubuh. Papa lantas maju dan berusaha menghalangi, “Tolong jangan buat Aldi panik.” Ia merentangkan sebelah tangannya, tak membiarkan polisi itu mendekatiku. Sang polisi melirikku, lalu perlahan memundurkan tubuh, duduk di kursi yang berhadapan denganku. Jarak kami hanya tersekat meja kotak besar, yang di atasnya terdapat benda bukti tadi. Ia masih setia menatapku tajam, membuat kepalaku kian ngilu. Kubuang muka darinya. Semakin menunduk. Sungguh, ini tak ada dalam jadwal rencana. Buliran keringat sebesar jagung mulai memenuhi jidatku. Mungkin, wajahku kini sudah sepucat mayat. Bingung. “Tak usah takut, jika memang ada sesuatu yang kau sembunyikan. Bicaralah pada kami, sebisa mungkin kami akan membantu. Ini demi keluargamu juga.” Perlahan tapi pasti, aku mulai berani mencari wajah itu, wajah tegas dengan kumis tipis, yang sepertinya tahu persis jika aku berusaha menutupi masalah ini. Ia duduk begitu santai, dengan menyilangkan kaki. Sedang dua polisi lainnya berdiri di belakangnya. Kucari pula wajah Papa dan Pak Darma, aku melihat gelengan pelan di sana. Bingung kian menyelimuti. Bagaimana ini? Otakku harus berputar cepat! Tiga tamu Papa yang melapor, tak bicara sepatah kata pun. Berdiri di sebelah para polisi. “Pak, kacamata itu ... milikku.” Kuarahkan jari telunjuk pada benda hitam dalam plastik. Pak Surya tampak tak percaya. Melirikku sinis. “Yakin?” Ia memajukan tubuh, nadanya terasa canggung. Aku mengangguk, “Silakan diperiksa. Ada sidik jariku di sana,” ucapku penuh keyakinan. Sebisa mungkin kutampilkan mimik serius, agar mereka percaya. Aku yakin, jejak tanganku masih menempel, saat kusembunyikan benda itu dari pencarian Doni. Semoga tak ada sidik jari Doni di sana. Aku yakin, ia memakai sarung tangan tadi. “Bagaimana dengan wajan yang penyok?” Aku tercekat dengan mata mendelik. Hampir lupa caranya bernapas, otakku terasa membeku, tak dapat lagi berpikir. “Kami menemukan benda itu di bawah, tepat di sebelah tempat Aldi pingsan.” Bibirku terasa bergetar, harus kujawab dengan apa? Alisku bertaut bingung. “Maaf, Pak. Saya menyela pembicaraan ini.” Suara Bi Sumi menolehkan semua kepala padanya. Ia berdiri di ambang pintu ruang tengah, dengan memilin-milin jemarinya sendiri. Ada raut resah di wajah wanita paruh baya itu. “Kenapa, Bu?” tanya polisi Surya. “Mm ... boleh saya bergabung sebentar?” Pak Surya dan Rendy saling pandang, lalu melirik Bi Sumi, dan salah satunya mengangguk. Dengan sedikit membungkuk sopan, Bi Sumi mendekat pada meja. Lalu berhenti tepat di depan kami semua. “Wajan itu penyok karena saya, tadi ada kucing yang mau masuk dapur. Saya kejar sambil membawa benda itu, saya mau pukul kucing itu, tapi malah kena pinggiran tembok, makanya jadi penyok. Den Aldi juga lihat tadi, saat saya ngejar kucing di depan.” Ia melihatku dengan wajah penuh harap, agar aku semakin meyakinkan ceritanya. Kutarik napas sedikit, “Iya, tadi di depan halaman. Ada CCTV juga di pagar depan. Bisa dicek.” Polisi Rendy manggut-manggut. “Mungkin, saya yang kurang teliti melihat video tadi.” “Bisa saya tunjukkan bagian saat saya kembali menaruh wajan itu. Bahkan saya tak sengaja menaruhnya di bawah, karena tergopoh sama masakan.” Penuh mantap Bi Sumi memperjelas cerita. “Lantas, yang jadi pertanyaan. Siapakah yang sudah meracuni minuman untuk para tamu? Apa mungkin ... Anda?” Polisi Surya menatap Bi Sumi tajam. Membuatnya tercekat. Ia melambai-lambaikan jemarinya di d**a, “I-itu tidak mungkin. Untuk apa saya melakukannya?” Seorang kawan tim Rendy, kembali masuk ke ruangan. Membawa sebuah botol kecil di tangannya. “Lapor, Pak. Kami menemukan bukti lain. Botol campuran untuk sirop, ternyata sudah kadaluwarsa. Lima bulan lalu, tertanggal 5 Januari 2021.” Petugas itu mengambil ponsel dari saku, dan mengusap layarnya. “Sekarang, tanggal 19 Juli.” Polisi Surya mengambil botol kecil yang sudah dalam bungkus plastik, dari tangan tim penyelidik tersebut. “Pantas saja!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN