Clear

1050 Kata
Ia memandangi botol itu penuh selidik. Seperti tak ingin melewatkan sedetail pun tulisan yang tertera. Sebenarnya apa isi di dalamnya? Benarkah itu hanya campuran rasa untuk sirop, atau racun yang sengaja ditaruh dalam wadah tersebut? Melihat gejala para korban, sepertinya mungkin hanya efek obat, atau benar ... sebuah campuran yang sudah kadaluwarsa. Jika racun, risikonya terlalu fatal. Hukuman yang diterima pun terlalu berat, bisa membuat korban meninggal juga. Aku mengernyit, apa betul jika botol yang kini dipegang para polisi itu adalah botol yang sama dengan yang kulihat di selipan saku Doni? Aku tak terlalu teliti saat itu, sebab ia terburu-buru mengantonginya. Hmm ... licik! Aku salah duga, ternyata ia tak seceroboh itu. Sirop kadaluwarsa ya? Bagus sekali permainannya. Dengan begini, takkan ada yang curiga jika dialah pelaku sebenarnya. Polisi bakal menebak para pemasak dan orang-orang dapur lah yang berbuat demikian. Aku tak percaya, rencananya sudah benar-benar matang. Bahkan untuk hal semacam ini, ia telah memikirkannya dengan baik. Aku yakin, ia juga pasti tahu, jika Papa dan Pak Darma bakal menutup kasus ini dengan uang. Tak mau memperpanjang. Kelima anggota polisi itu bergerumun, bergantian melihat botol. Sesekali melirik Bi Sumi yang kian resah, berdiri di depan mereka. Tak ada lagi suara darinya. Hanya raut cemas yang ia tampilkan di balik wajah polosnya. “Bu, kenapa Anda tidak meneliti betul tanggal expired pada botol? Apa Anda tidak melihat dan mengontrolnya lebih dulu sebelum menggunakan?”  ucapan polisi Surya membuatnya tersudut. Ia tampak pucat, bibirnya mulai membuka dan menutup tanpa suara. Tubuh Bi Sumi gemetar, tampak sekali dari ujung dasternya yang bergoyang-goyang. Ia begitu bingung. Lalu menggeleng kasar. “Bu-bukan saya yang belanja. Semua bahan yang digunakan untuk acara malam ini, sepenuhnya dari pihak katering. Saya hanya membantu saja, Pak.” Matanya mulai berkaca-kaca. Papa mendekati Bi Sumi, melotot tajam padanya, “Aku tahu semua memang dari mereka. Tapi bagaimana dengan botol itu? Kita tak pernah tahu siapa yang dengan sengaja menuangkan cairan kadaluwarsa pada minuman untuk para tamu!” Kenapa Papa berakting seperti ini? Tak inginkah ia mengungkap siapa pelaku sebenarnya? Padahal dia tahu, dari semua penjelasanku di kamar tadi. Aku benar-benar tak mengerti, pelet apa yang digunakan Doni untuk membungkam Papa dan Pak Darma? Lantas, apa tameng yang diberikan orang pintar yang katanya Bagus bisa melindungi mereka tak berfungsi sebagaimana mestinya? Pak Darma sampai membela mati-matian, agar kasus ini tak terungkap. Mungkin, ia hanya dukun abal-abal. Memberikan sesuatu agar dipercaya, padahal tak ada perubahan apa pun. Bi Sumi menekuk wajahnya, tak berani memandang Papa. “Ampun, Tuan. Bagaimana bisa Tuan tidak percaya pada Bibi yang sudah puluhan tahun bekerja di sini. Untuk apa?” Air mata tak sengaja jatuh dari pipinya, bahunya berguncang menahan isak. Papa keterlaluan, aku benar-benar tak tega pada Bi Sumi. Kutegakkan tubuh dari kursi, sedikit menggebrak meja. “Sudahlah, Pa. Jangan menyalahkan Bi Sumi! Aku percaya sepenuhnya padanya.” Aku berdiri setelah bermenit-menit duduk. Mendekat pada keduanya. Kuusap lengan kiri Bi Sumi dan berdiri di sampingnya. “Bi Sumi orang yang baik, dia sudah merawatku sejak kecil. Bagaimana mungkin ia mengacaukan acara untuk keluarga kita? Sempit sekali pemikiran Papa!” Sedapat mungkin aku membela. Wanita baik seperti dirinya tak mungkin bertindak ceroboh. Apalagi melihat kepatuhannya pada keluarga kami selama ini. Kening Papa berkerut, melirikku tajam. “Bukan seperti itu, Al. Papa nggak menyalahkan Bi Sumi. Hanya saja Papa terlalu kecewa padanya. Amanat yang kuberikan, tidak diembannya dengan baik. Kacau!” Ia mengibaskan sepuluh jemarinya ke udara. Bi Sumi mengangkat wajah, melirik Papa yang kini geram. “Maafkan Bibi, Tuan. Mungkin benar semua salah Bibi, kenapa bisa sampai kecolongan seperti ini. Bibi kurang fokus memegang mandat dari Tuan.” Suaranya begitu parau, disertai linangan air matanya yang kian menderas. Kupeluk bahunya kian erat dari samping, mengusapnya lembut. Mencoba menguatkannya. Tangannya masih setia memilin jari jemarinya sendiri. Layaknya bocah ketakutan. “Sudahlah, Pak. Jangan menyalahkan. Biarkan kami yang menyelidikinya kembali.” Polisi Rendy menengahi kami. Salah satu kolega yang melapor kini berdiri, membuka suara. “Maafkan kami, hanya karena laporan kami, masalah ini semakin rumit. Kami sudah berunding di sana.” Ia melirik kedua kawannya yang hanya mengangguk sekali pada kami. “Dan kami memutuskan, untuk menarik laporan ini saat ini juga.” Polisi Surya menyungging. Ia menarik bagian pinggang celananya ke atas. Tampak perut buncitnya ditahan agar mengempis. “Tidak segampang itu, Pak. Laporan yang sudah masuk, harus melalui proses. Tidak serta merta putus dan hilang, meski sudah dicabut sekali pun.” Kami semua terdiam, saling pandang. Pak Darma berdecak. Tangan kirinya berkacak pinggang, sedang yang kanan menjambak rambutnya sendiri. Kini kakinya mulai melangkah mondar-mandir di tempat. Bingung. “Pak, tolong. Bisakah kita ....” Ia tak melanjutkan kalimatnya. Diam sebentar. Lantas, mendekat pada polisi Surya, dan membisikkan sesuatu di telinganya. “Maaf, kami akan tetap memprosesnya.” Begitu tegas polisi Surya memotong bisikan Pak Darma. “Kami akan tanggung jawab untuk semua biaya rumah sakit dan perawatan para korban minuman. Sampai benar-benar sembuh.” Papa menambahkan untuk meyakinkan, dengan wajah serius ia menatap kelima polisi. “Ini yang saya maksud. Dan Anda ...” Ia menoleh pada kolega Papa, pria itu menuding dadanya sendiri dan menautkan alis. “Ikut kami ke kantor untuk mengurus surat-surat pencabutan perkara ini. Semua harus benar-benar beres dan clear untuk laporan kami.” Pria dengan setelan jas abu itu mengangguk mantap. “Anda berdua juga.” Ia menaikkan dagu pada Papa dan Pak Darma, yang langsung menegakkan kepala padanya. “Kita bicarakan lagi semuanya di kantor. Dengan kepala dingin.” Ia menuding jidat sebelah kanannya sendiri. Tak ada lagi yang menyangkal dan membantah. Semua mengangguk patuh. Semua bukti di atas meja, diambil polisi Rendy dan dimasukkan dalam sebuah kantong besar. Kelima polisi, beserta Papa, Pak Darma, juga ketiga pelapor. Mengikuti arahan polisi Surya untuk ikut ke kantor. Jabatan tangan para polisi, menjadi akhir pertemuanku bersama mereka. Aku belum bisa bernapas lega. Tetapi setidaknya, laporan ini sudah dicabut, dan akan ada kemungkinan bagi kami untuk bisa lolos dari tuduhan dan hukuman. Kuembuskan napas lega menatap mereka yang keluar dari ruangan besar, tetapi terasa menyesakkan ini. Kurangkul kembali tubuh Bi Sumi yang masih setia berdiri di sampingku. Ia pun sama, mengusap d**a dan menarik napas panjang melihat kepergian mereka yang melangkah dan meninggalkan rasa cemas. Berharap Papa kembali pulang dengan kabar baik. Namun, satu yang masih mengganjal bagiku. Untuk apa Doni melakukan semua ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN