"Buat apa lagi, Dek, kemarin kan Om juga udah tambahin uangnya Om kasih ke ibu kamu."
"Iyah Om, tapi Mama Desi mau dipasang photo booth di depan pintu masuk. Katanya masa pernikahan sekali seumur hidup apa adanya," adu Una.
"Hah! apa adanya? gak salah. Kita udah ngikutin dia, nambah cetak undangan, ganti souvenir sampai sewa katering sesuai pilihan dia," marah Romi, lelaki itu sampai berdiri dari duduknya. Keluarga Emil begitu keterlaluan di mata lelaki itu.
"Kamu yakin, Dek, mau lanjutin ini?" tanyanya ragu.
"Om Romi! Kok nanyanya malah gitu sih?" kesal Una. Terlalu berat rasanya membatalkan pesta pernikahan yang sudah disiapkan secara matang. Terlebih undangan pun sudah disebar.
Mau ditaruh dimana wajah Una, jika seandainya ia memutuskan hal itu?
---
Hari yang ditentukan tiba, sejak tadi Omnya Romi, nampak kegerahan menahan kesal, pernikahan mereka seharusnya berlangsung pukul delapan pagi tapi keluarga Emil belum juga menunjukkan batang hidungnya.
"Teleponin si Emil, bilang jadi nikah gak?" geramnya memerintah Una.
Una hanya diam, karena sejak tadi gadis itu juga gelisah bahkan hampir menangis membayangkan jika pernikahan hari ini gagal.
"Dek, Emil tuh serius gak sih sama kamu?" tukasnya yang sudah tak tahan.
"Mbak... Keluarga kita gak bisa diginiin, mereka sering banget nginjek-nginjek harga diri kita!" Romi terluhat sangat emosional. Dengan sedikit memukul meja rias didepan Una, membuat gadis itu semakin diam seribu bahasa.
Utami terlihat menyeritkan alisnya, jangan disangka ia tak kesal. Ibu mana yang tak akan marah jika anaknya dianggap gampangan.
Tapi Utami tak ingin menyiram bensin diatas kobaran api, Ia memilih diam seraya terus berdoa.
"Assalamuaikum...!" Suara rombongan Emil datang, Una menggenggam tangan Utami erat sedang Romi langsung menghampiri tamu.
"Kamu tahu, kamu udah telat!" Kata Romi menunjuk ke Emil yang sudah begitu marah.
"Telat gimana, Bang?" sahutnya sok polos.
"Tuh kan Mama sih. Pakai mau ganti gaya rambut dulu tadi, kita jadi dibilang telatkan!" gerutunya ke Desi. Romi hanya melotot kaget, jadi mereka telat hanya karena menunggu nyonya besar Desi ganti model rambut? Sementara keluarga mereka hampir saja menanggung malu dengan berbagai spekulasi para tetangga.
"Kamu tenang aja, gak bakallah pernikahan ini dihentikan wong uang mahar udah mereka terima kok, udah dipakai lagi. Mana bisa mereka kembalikan!" bangga Desi dengan senyum sumbringah. Romi hanya tersenyum miring.
Apa tadi, tak bisa mengembalikan? Mahar yang Emil berikan hanyalah sepersepuluh dari semua biaya pesta hari ini. Sisanya keluarga Unalah yang menyediakan. Seandainya saja Una berucap menghentikan pernikahan ini, maka detik ini juga Romi akan melempar uangnya ke wajah Desi, tak peduli bagaimana caranya. Bahkan lelaki itu rela jika harus menjual aset berharganya.
"Ehm. Jadi tidak dinikah kan?!" tanya penghulu yang sejak tadi telah menunggu lama. Nampaknya ia juga kesal.
Yang terjadi selanjutnya adalah seperti yang mereka rencanakan semula, meski kali ini Romi seakan hilang semangat menikahkan Una dan Emil, kenangan akan kakaknya yang juga ayah Una membuat lelaki berparas tampan itu ingin menangis menahan haru. Entah mengapa ia takut kali ini keputusannya tetap menikahi Una adalah sebuah kesalahan besar yang kelak akan ia tanggung menjadi sebuah penyesalan.
Karena bagi Romi, Una dan Utami bukan hanya keluarga dekatnya, tapi juga menjadi tanggung jawabnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Lubnatul Hilwa binti Robby Isra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" jawab Emil lantang. Mulai sekarang Una Sah menjadi miliknya di mata agama juga hukum.
Setelahnya Una dan Emil melakukan sesi sungkeman.
"Tolong jaga Una, cukupi kebahagiannya lahir dan batin. Cintai ia dan jangan pernah duakan dia!" ancam Romi ke Emil, seraya memegang bahu adik iparnya itu kuat.
Lanjut ke Una,
"Sayang, kau harus jadi wanita yang berani. Suami memang nahkoda dalam pernikahan, dan tugasmu adalah memperingati jika seandainya nahkoda salah arah!" Nasihat itu begitu menggebu. Sebenarnya masih banyak yang ingin ia katakan ke ponakannya itu tapi tatapan kesal Desi seakan membungkam mulut Romi.
Ia tak ingin dianggap tak sopan dengan membicarakan hal tabu di depan keluarga besan. Yang berujung menjadi masalah untuk Una kelak.
Lalu Una memeluk Utami erat, keduanya saling menangis tak rela berpisah.
Jika air mata Una diliputi kebahagian, maka Utami berbeda. Hatinya masih sangat-sangat cemas melepaskan Una pergi melangkah kerumah mertuanya itu, wanita yang pernah punya riyawat gagal ginjal, dan melakukan operasi pengangkatan satu ginjal itu memang seharusnya tak boleh stress, sehingga Utami hanya memilih pasrah dengan apa yang terjadi pada Una kedepannya.
---
Tamu undangan yang begitu banyak seakan memenuhi rumah Una, meski sudah begitu banyak dituruti keinginannya tetap saja bibir Desi menggerutu menyesali lokasi yang dipilih. Wanita sosialita itu inginnya sebuah gedung baguslah yang disewa keluarga Una.
Betul-betul jenis wanita tak tahu diri, Romi memperkirakan keluarga Emil mengalami syndrom OKB, ingin terlihat kaya, terlihat wah, terpandang hebat tapi sayang uang yang mereka miliki tak siap menggapai semuanya.
Pesta pernikahan yang menelan biaya ratusan juta itu sudah selesai diselenggarakan, konyol memang. Ratusan juta yang di kumpulkan dengan peluh, Doa, dan segala rintangan hanya berakhir dalam satu waktu.
Memang boleh, sesekali memanjakan diri. Serta seraya bersyukur dan membagi kebahagian kepada khalayak ramai, tapi tetap saja! Bagi Romi pesta yang di inginkan Desi terlalu berlebihan, bahkan sekarang tubuh kurus Una nampak kelelahan, lelah fisik juga bathin. Membuat Romi terus saja cemas sepanjang acara, ia tidak terlihat sama sekali menikmatinya.
---
"Bu Utami, untuk kotak amplop orangtua akan saya bawa kerumah saya, ibu tahulah... Teman-teman sayalah yang banyak hadir dalam pesta ini. Dan pastinya amplop yang mereka berikan gak kecil, karena kebanyakan teman saya tuh orang kaya semua! jika ada sisanya barulah hak ibu dan keluarga!" ucap Desi tak tahu malu.
"Silahkan!" sahut Utami, sungguh wanita tua itu ikhlas jika seandainya semua diakui oleh Desi. Bagi Utami, ia tak mau memikirkan "untung-rugi" saat melepaskan anaknya.
---
"Bu, mulai malam ini aku bakal tinggal di rumah Emil, Bu!" adu Una yang sibuk membereskan pakaiannya, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi Emil memang tak ingin sama sekali menginap dirumah Una, ia memaksa gadis itu untuk beres-beres dan tinggal di rumahnya.
Padahal lelah letih karena pesta tadi siang masih menggelayut di seluruh organ tubuhnya, tapi sebagai istri soleha, Una memilih patuh dengan perintah Emil.
Utami merasa putusan Emil juga begitu keterlaluan, sejak tadi ia juga memohon agar Una bisa istirahat dulu dirumahnya, tapi desakkan Desi, dan sekeluarga yang seakan memojokkan Utami membuat wanita itu lagi-lagi pasrah dengan keputusan menantu barunya.