"Una...! kamu tuh,yah dasar istri gak tahu diri. Udah untung suami kamu mau urus kamu yang gak becus itu di rumah sakit, ini malah Om kamu pakai mukul segala, lihat ajah. Mama gak bakalan ijinin buat Emil kembali sama kamu, mulai sekarang kalian bukan lagi suami istri. Jadi bilang sama keluarga kamu, buat gak ikut campur urusan kami. Emil berhak cari istri baru, inget Una. Dia berhak...!" maki Desi panjang lebar, Una semakin merasa terpuruk, pengalaman buruk di usianya yang masih belia membuatnya tak bisa menanggapi semua hal dengan bijak. Ia masih selalu mengutamakan perasaan, semua makian yang terlontar. secara bulat Una masukkan ke dalam hatinya, bahkan ke dalam alam bawah sadarnya.
Gadis itu tak menjawab, ia kaku dengan ponsel masih menempel di telingannya.
"Una... kamu denger gak?! Pokoknya Mama udah kasih tahu, kamu gak ada hubungan apa-apa lagi, kamu jaga anak dalam kandungan kamu ajah gak becus kok! gimana nantinya jadi seorang ibu?" ledek Desi berapi-api.
"Mbak... Aku mau lihat Una dulu,yah di kamarnya" ucap Romi ijin ke Utami. Lelaki itu merasa butuh menghibur Una. Saat ia sampai di kamar Una, ia melihat sendiri keponakkannya yang seperti zombie, diam, kaku tapi jelas dari matanya terlihat ia tengah shock.
"Una!" panggil Romi, ia langsung menarik ponsel Una saat tak melihat reaksi gadis itu.
"Sebentar lagi akan ada surat gugatan cerai dari Emil, kamu gak perlulah nolak atau ngajuin banding. Percuma... kamu ajah gak ada gunayah kok!" Darah Romi mendidih saat tahu orang yang bicara di sebrang telepon adalah Desi. Dan kini wanita sialan itu sedang menghancurkan mental Una.
"Gak akan pernah! Saya sendiri yang akan pastikan mengajukan perceraian pada Emil. Ooh... Atau mungkin bisa sekarang juga, sebagai wali Una, saya mengambil alih kembali adik saya. Minta anakmu yang manja itu untuk mentalak Una saat ini juga!" sungut Romi sungguh-sungguh.
"Hahaha... Kamu fikir kami takut, boleh saja. Tunggu sebentar!" Desi berjalan ke kamar Emil, membangunkan anaknya paksa.
"Cepet kamu talak istri kamu itu, sekarang!"
"Ma, apa-apaan sih Ma!"
"Emil, kamu harus nurut sama Mama. Dan Mama minta Talak wanita itu!" geramnya kembali, semua masih didengar oleh Romi. Rasanya jika saja Emil di depannya maka ia akan meninju lelaki itu agak tak bisa lagi bersuara. Romi memang meminta Emil melayangkan talak, tapi ia masih sedikit berharap Emil bisa mempertahankan Una.
"Ya udah iyah. Una mulai hari ini kamu bukan lagi istri aku, aku jatuhkan talak tiga padamu. Dan kamu bukan lagi tanggung jawabku. Udahkan Ma!" sahut Emil pasrah. Sedang Una menunjukkan reaksi ia menengok kearah Romi dengan mata yang berkaca-kaca begitu gusar tadi Romi memang sudah me-load speaker ponselnya. Utami yang ikut mendengar bisa merasakan sakit yang Una rasakan. Ia langsung berhambur memeluk anak gadisnya.
Sedang Romi terlihat putus asa, ia tahu apa yang ia lakukan tadi pada Una bisa membuat rasa trauma yang dalam. Ia sangat menyesal untuk itu. Tapi Romi juga lega, setidaknya Una telah terbebas dari mahluk parasit seperti ibu mertuanya.
Kadang memang harus sakit dulukan, agar tahu bahagia. Agar bisa menilai mana yang baik dan mana yang enggak.
Suatu hari nanti Romi yakin, Una akan mentertawakan kesedihan yang saat ini ia rasa.
---
Sidang perceraian baru saja digelar, tak butuh waktu berlarut-larut, karena apabila kedua belah pihak telah setuju, maka hanya tinggal menunggu ketuk palu memutuskan hubungan sakral yang di ucapkan atas nama Tuhan itu. Terlihat mudah tapi butuh effort yang besar untuk memahaminya.
Una menndongakkam kepalanya ke atas langit, ia merasa jadi manusia gagal. Hujan turun rintik-rintik. Seakan ikut larut dalam kepedihan hatinya, tangannya mengada ke arah hujan, hal yang selalu ia lakukan ketika kecil dulu. Tapi kali ini hanya ada perasaan sedih, bukannya bahagia.
Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Emil, lelaki itu memang datang juga ke pengadilan. Sesaat keduanya diam, tak tahu apa yang harus di ucapkan. Sampai Emil membuka suaranya.
"Na... Jaga diri kamu baik-baik,yah, semoga kamu bisa bahagia setelah gak sama aku!" kata harap Emil seakan menusuk ke hatinya.
Bodoh... Sungguh Emil bodoh, tak tahukan sekarang yang sangat bisa membuat Una bahagia yaitu dirinya sendiri. Gadis itu nyatanya masih berharap kembali seperti dulu, melupakan semua pertengkaran mereka dan menyusun serpihan cinta yang selama ini terjalin.
Atau yang bodoh itu justru dirinya sendiri? Kenapa juga masih mengharapkan lelaki itu. Ayok Una, berdirilah tegak di kakimu, gak semua badai datang untuk menghancurkanmu. Terkadang badai menerpa hanya untuk memberimu jalan.
"Em-...!" Baru saja gumaman keluar dari mulutnya yang kaku dan bisu, tapi lagi-lagi ia harus kecewa, melihat Emil yang pulang dengan menaiki mobil Siska. Terlihat juga wanita itu ada di dalam. Bahkan mereka tak segan berpelukkan mesra di parkiran pengadilan. Hancur? Lebih dari itu. Una bahkan sudah remuk redam.
---
"Ayah... Yah... bangun, Yah!" lirih Keen, ia rapuh saat melihat superhero pertamanya terbujur kaku di ruang mayat. Saat itu, saat dimana ayahnya harus meregang nyawa. Tapi tak ada Keen disisinya.
Keen justru lebih memilih hobbynya menjelajah setiap kota.
Flashback On.
"Halo, Nak. Kapan kamu pulang?!" Tanya Donny, ayah Keen.
"Yah... aku pulang masih lama, ini ajah dari Solo mau transit ke Jogja, Yah!" sahut pemuda itu enteng.
"Gitu yah, jadi hari ini atau besok kamu gak bisa pulang? uhhukk.. uuhhkk...!" tanya Donny, entah mengapa ia merasa ini saat-saat terakhirnya bisa bicara dengan anak laki-lakinya.
"Iyah, Yah. Emang kenapa? Ayah sakit?!" tebak Keen saat mendengar suara batuk ayahnya itu.
Donny memang sudah lama mengidap TBC. karena itu ia terus saja batuk.
"Enggak kok, Ayah baik-baik ajah!" seperti biasa, kebohongan yang paling indah dari bibir orangtua. selalu bilang mereka baik-baik saja hanya demi menenangkan anak mereka.
"Aku usahain deh, pulang lusa. Tapi aku gak janji,yah, Yah!" balas Keen santai.
"Iyah, Nak. gakpapa. Kamu hati-hati,yah disana, jaga diri kamu, makan yang benar. Dan jangan lupa sholat!" ucap Donny sebelum menutup panggilannya. Keen hanya mengangguk paham. Ia fikir ayahnya terlalu berlebihan mengkhawatirkan dirinya yang sudah beranjak remaja.
Sepuluh menit panggilan tertutup, ponselnya kembali berdering. Keen menatap malas saat melihat ayahnya lagi yang melakukan panggilan.
Tak ingin repot, ia justru mereject panggilan dan memasukkan ponselnya ke tas.
Kembali lelaki itu sibuk menaklukkan tebing yang ada di depannya. Yah... Keen sedang melakukan olahraga panjat tebing.
Cukup lama ia terbawa di dunianya sendiri, sampai sahabatnya Leo meneriaki Keen yang masih diatas tebing.
"Keen turun lo! Ada berita penting dari orang rumah lo!" pekiknya tak sabaran.
Bersambung.