Empat - Hari yang Paling Ditunggu

1320 Kata
 “Ada hari di mana kau tidak ingin waktu berlalu dengan cepat. Tahu artinya? Kau bahagia dan menghargai waktu yang kau lalui bersamanya.” ~♥~♥~♥~ Beni sedari tadi tidak dapat menahan senyumnya tatkala melihat penampilan Adel. Benarkah yang ada di hadapannya itu Adel? Itulah yang sejak sepuluh menit lalu ia tanyakan pada penglihatannya. Adel begitu cantik dengan balutan dress berwarna putih salju yang kini ia kenakan. Gadis itu tampak anggun, tidak seperti Adel yang biasanya judes kepada semua orang yang baru dikenalnya. Beni menatap Adel untuk kesekian kalinya. Tetapi bukannya bosan, ia malah semakin kecanduan memandang wajah mungil itu. Itukah gadis yang dulu dengan lucunya mengajaknya berkenalan? Apa itu gadis yang dulu pernah mengobati luka di lututnya saat ia terjatuh? Beni mengenang, ingatannya jatuh pada bertahun-tahun yang lalu. Di mana ada Adel kecil di sana. Ya. Sepertinya ia memang gadis kecil itu, Ardela Maharani. Gadis yang sejak kecil Beni sukai. ~♥~♥~♥~ Jogja, Libur Lebaran 2008 "Mas, namanya siapa?" Beni yang baru duduk manis di ruang tengah kediaman Kakek Retno terkejut. Ia menatap gadis kecil di hadapannya dengan bingung. Tetapi akhirnya ia menyambut uluran tangan gadis kecil itu. "Beni," ucapnya. Gadis kecil dengan mata sayu dan rambut kecokelatan itu tersenyum manis. "Kalau Adel namanya Adel," sahut gadis kecil itu. Namun, sedetik kemudian ia menggaruk kepalanya sendiri. "Eh?" Gadis kecil itu bingung dengan ucapannya sendiri. Sontak Beni terkekeh melihatnya. Lalu mengacak poni rata gadis itu. "Oh ... jadi kamu namanya Adel? Namanya lucu, kayak orangnya," kata Beni. Adel tersipu lalu mulai memberanikan diri untuk kembali bertanya. "Mas ganteng deh. Kelas berapa, Mas?" tanyanya lucu. Beni mau tidak mau gantian tersipu setelah mendengar kalimat polos itu. Sambil tersenyum, ia menjawab, "Kelas 2 SMP." Adel kecil mengedip-ngedipkan matanya lucu. "SMP itu apa?" tanyanya polos. Beni tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab. "SMP itu kalau Adel udah lulus SD terus lanjut ke SMP," jawab Beni asal. Ia mengedikkan bahu acuh pada kalimat asal-asalan barusan. Namun, Adel mengangguk-anggukkan kepala seolah paham. "Kalau gitu, Adel mau SMP aja, ah, biar bisa bareng sama Mas Ganteng," sahut Adel polos. Beni tertawa untuk kesekian kalinya. Setelah tawanya reda ia kembali berujar. "Masih kecil udah genit aja, ya. Kamu harus belajar yang rajin dulu kalau mau bareng sekolahnya sama Mas," tambahnya. "Iya." Dan dengan polosnya Adel mengangguk. "Adel, makan dulu, Nak!" Dari arah dalam, seruan bundanya membuat dua anak itu menoleh. Meiti menghampiri Adel kecil lalu tersenyum kearah Beni."Kamu juga, Ben, udah ditunggu Papa kamu di dalam," sambungnya. "Bunda udah kenal sama Mas Ganteng, ya? Kok enggak dikenalin sih ke Adel?" Adel pura-pura marah kepada bundanya. Lalu mengentakkan kakinya berjalan ke arah ruang makan. Beni terkekeh dan mengusap keningnya. “Masih kecil aja udah kayak gitu genitnya, gimana gedenya?” batinnya. "Jangan dimasukkin hati ya, Ben. Maklumlah, Adel baru kelas 2 SD, masih kecil, masih suka ngaco kalau ngomong," kata Bunda. "Enggak apa-apa kok, Bude. Beni udah sering digodain anak kecil," candanya. Reflek mereka tertawa. Meiti merangkul Beni menyusul Adel yang tengah memberengut di ruang makan bersama kakeknya. Tidak ada yang tahu saat itu, jika sikap lugu, polos, dan lucu Adel yang membuat Beni terus mengingat gadis itu. Bahkan hingga kepulangannya ke Jakarta seminggu setelah hari itu. Dan mungkin … sampai sekarang atau beberapa tahun kemudian. ~♥~♥~♥~ Jogja, Libur Tahun Baru 2009 Beni tersenyum masam menuruti perintah kakek saat cowok itu disuruh untuk memanjat pohon mangga di pekarangan rumah. "Anak lelaki harus jago manjat. Enggak ada anak lelaki di keluarga Djamil yang enggak bisa manjat. Kalau kamu enggak bisa manjat pohon itu berarti kamu bukan anggota Keluarga Djamil," kata kakek santai sewaktu Beni ingin membantah. Tetapi akhirnya ia menyanggupi juga perintah kakek. Jadi di sinilah Beni sekarang, menatap pohon mangga setinggi empat meter yang menjulang di hadapannya. Beni yakin ia tidak akan mati walaupun jatuh dari pohon itu, tetapi tetap saja ia takut. Setidaknya ia hanya akan mengalami patah tulang. Tunggu, patah tulang? Membayangkannya saja, Beni sudah ngeri. Karena seumur hidupnya ia belum pernah memanjat pohon. Bagaimana mungkin ia harus memanjat pohon di pekarangan rumahnya. Di Jakarta saja tidak ada pohon mangga setinggi ini? Jadi dengan menyebut nama Allah, ia akhirnya memberanikan diri untuk memanjat pohon itu. Susah payah Beni memanjat pohon hingga tidak menghiraukan ledekan Denis, sepupunya yang tertawa menyaksikan wajah memerah Beni. Juga mengabaikan Adel yang di bawah sana sedang tertegun melihat Beni, Mas Gantengnya kesusahan memanjat. Ia menatap Beni prihatin lalu akhirnya hanya diam menunggu. Lima belas menit dan Beni masih menggelantung di atas pohon. "Mas Ganteng lucu, deh, wajahnya merah banget. Udah gitu gelantungan di atas pohon kayak monyet di Ragunan aja," kekeh Adel. Omong-omong Ragunan, Adel bahkan mendengar kata ‘Ragunan’ dari Denis sepupu Beni. "Yang udah mateng, Ben, milihnya. Masa yang masih ijo kamu petik, sih?" Suara papanya mengganggu konsentrasi Beni. Ia hampir memetik mangga termatang yang pernah ada sepanjang pohon itu tumbuh. Adel yang di bawahnya saja hampir menjatuhkan air liurnya, membayangkan bagaimana rasanya mangga harum manis berwarna oranye itu masuk ke tenggorokannya. Tapi. . . BRUK "Beni!" ~♥~♥~♥~ "Aduh! Pelan-pelan, Ma!" Beni mengaduh kesakitan saat Mutia dengan tidak sengaja menekan luka di lututnya. Beni jatuh tengkurap dengan mengenaskan, tetapi cowok itu tidak menangis sama sekali. Akibat terjatuh itu, ia melukai dagu, siku, dan lututnya. Tadi kata tukang pijat langganan keluarga kakek, Beni tidak apa-apa, tidak ada tulang yang bergeser atau kemungkinan lainnya. Tetapi tetap saja, luka itu datang bersamaan dengan memar. Dan pastinya menimbulkan sakit yang luar biasa. Jadi cowok itu sekeras mungkin menahannya agar tidak terlihat lemah. "Adel pengen bantu obatin lukanya Mas Ben dong, Tante." Adel menghampiri Mutia yang akan memplester luka di lutut Beni. Gadis kecil itu tersenyum, lalu kembali berujar. "Mas Ganteng dagunya luka, tetapi tetep aja ganteng," canda Adel. Tanpa diduga, Beni malah terkekeh mendengarnya. Satu hal yang disukai Adel, yaitu senyuman Beni. "Gitu dong, Mas, ketawa. Jangan cemberut terus kayak tadi," kata Adel. Jadi sejak tadi Adel hanya ingin menghiburnya? Gadis kecil itu mengambil alih plester di tangan Mutia, kemudian memasangkan ke lutut Beni. Untuk kesekian kalinya Beni mengaduh. Tetapi kini ia tertegun, bagaimana bisa seorang bocah kelas 2 SD melakukan tindakan ini padanya. Dan Adel adalah orang pertama yang membuat Beni rela menatap wajahnya lama-lama. Ini bukan sifat Beni, cowok itu akan bersikap acuh pada apapun. Sifat itu ia yakin sudah permanen sejak Beni lahir, tetapi kini semuanya sirna, Adel merubah Beni. "Nah! Selesai!" seru Adel riang. Beni tersenyum, ia mengelus rambut Adel lalu berujar, "Terimakasih." ~♥~♥~♥~ Adel tersenyum ketika telapak tangannya menyentuh jemari Beni yang kini menggenggamnya. Pandangannya tidak terlepas dari wajah tampan Beni. Kini semua orang menatap mereka ketika ada aba-aba untuk memulai 'Wedding Kiss' mereka. Wajah Adel memerah. Apakah ini saatnya? Saat di mana ia harus merelakan ciuman pertamanya? Gadis itu ragu sesaat. Adel sudah berjanji untuk memberikan ciuman pertamanya pada suaminya kelak. Tunggu, bukankah saat ini Adel telah resmi menjadi seorang istri dari Beni Pandjaitan. Jadi ia harus ikhlas, kan? Sebelum Adel selesai berdebat dengan pikirannya, ia sudah dikejutkan dengan lengan kekar Beni yang memeluk pinggangnya dan sedetik kemudian Adel membelalakkan matanya ketika bibir Beni menyentuh bibirnya dengan lembut. Beni memeluknya erat, tidak menghiraukan sorakan ibu-ibu anggota keluarga Djamil yang kini mengabadikan momen itu. Setelah tautan mereka terlepas, Adel menatap garang pada Beni yang memasang cengiran di wajahnya. "Itu ciuman pertamaku dan kamu yang mengambilnya? How lucky of you," sindir Adel. "Sorry, aku enggak berharap jadi orang yang dapat ciuman pertamamu, tetapi aku selalu berharap jadi ciuman terakhirmu," ledek Beni. Adel mencebikkan bibirnya. Cowok itu menyeringai lalu meraih tangan Adel untuk segera turun dari pelaminan ke meja yang telah diisi oleh seluruh keluarga Djamil. Wajah orang-orang tua itu rata-rata memancarkan kebahagiaan. Tetapi ada satu yang mengganggu penglihatan Adel. Tatapan sinis dari Tante Lia. "Setelah ini, apa yang harus kulakukan agar keluarga ini kembali menyatu?" ~♥~♥~♥~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN