Tiga - Nikah?

1664 Kata
“Tidak ada kata paksaan dalam cinta. Seperti halnya tidak ada yang terpaksa mencintai, tidak ada juga terpaksa mencintai.” ~♥~♥~♥~ What! Nikah? Yang benar saja! Otak Adel langsung menyuarakan isi hatinya. Menolak mentah-mentah apa yang disarankan kakeknya. Tetapi Adel merasa penolakannya percuma saja. Kakek tetap keukeuh pada pendiriannya. Dan malah kian rumit kala kakek didukung oleh seluruh anggota keluarga yang ada di situ. Benar-benar konspirasi menyebalkan! Jadi di sinilah Adel sekarang. Fitting baju pengantin dengan Bunda dan Tante Mut... em ralat! Mama Mutia.Tanpa didampingi calon pengantin pria. "Ah, bodo amat! Dia enggak datang malah gue seneng banget. Semoga aja dia enggak datang, enggak usah nikah sekalian aja," batin Adel. Ia menyeringai kecil sambil ikut membenarkan letak gaun pengantinnya. Katanya enggak mau nikah, kok sekarang Adel malah ikut bantuin mbak-mbak pegawai butik buat memasangkan gaunnya? Gadis itu juga antusias memilih gaun pengantin yang sejak awal menarik perhatiannya. Karena cita-cita Adel sedari kecil adalah ingin mengenakan gaun seperti putri-putri kerajaan yang dulu sering diceritakan bundanya. Ia ingin menikah dengan pangeran berkuda putih yang akan memboyongnya ke istana. Hei, bukankah itu adalah impian semua wanita? Begitupun dengan Adel, ia juga ingin menikah dengan pria yang ia cintai. Setelah itu menimang anak, membesarkan anak mereka sepenuh hati, melihat anak itu tumbuh dewasa, dan menemani anak mereka meminang gadis yang dicintainya. Adel sudah berpikir hingga sejauh itu. Tetapi masalahnya ... Adel kan tidak mencintai Beni. "Maaf aku telat, Ma." Lamunan Adel terpecah ketika suara rendah nan berat di belakangnya menyapa indra pendengarannya. Beni menghampiri ketiganya dengan napas terengah. Sepertinya cowok itu habis berlari. Adel mencebikkan bibirnya. Sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak kepadanya kali ini. Ia hanya tersenyum pada Beni saat pandangan mereka bertemu. "Kayaknya kamu antusias banget, Del," ledek Beni berbisik pada Adel. Wajah Adel memerah. Ia meninju lengan Beni sambil berkata, "Narsis abis kamu! Ini tuh buat menghargai Bunda sama Tan ... eh Mama, tahu?" "Mama?" tanya Beni menaik-turunkan alisnya. "Iya. Mama kamu nyuruh aku manggil dia 'Mama'. Bunda juga nyuruh kamu manggil dia 'Bunda' bukan 'Bude' lagi," balas Adel. Beni menganggukkan kepalanya. Cowok itu memandang Adel dari atas sampai bawah, seolah menilai gadis yang ada di hadapannya kini. Adel imut juga. Tubuhnya yang memang agak bongsor dari teman sebayanya membuat gaun ini tidak tampak dikenakan oleh anak kelas 3 SMA.Rambut Adel dicepol asal menampakkan leher jenjangnya. Hidung mungil bangirnya terlihat lucu saat dirias ringan oleh bundanya. Wajah Adel memang terbilang kecil dan tampak pas dengan bingkai bentuk wajahnya yang lonjong. Entah sejak kapan. Beni mulai membandingkan wajah Adel saat ini dengan wajah Adel dulu, 10 tahun yang lalu. Adel kecil memang sangat imut. Dan tidak banyak berubah. Hanya rambut Adel yang sepertinya berubah. Kini rambutnya berwarna hitam kelam. Padahal Beni yakin, dulu rambut Adel berwarna cokelat bergelombang. Sampai-sampai berpikir jika Adel mungkin ada darah bule. "Beni enggak kedip mandangin Adelnya," celetuk Mutia sambil cekikikan bersama bundanya Adel. Beni salah tingkah. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, lalu segera menghampiri mbak-mbak pegawai butik yang kini menyodorkan tuksedo lengkap dengan jas ke arahnya. Cowok itu segera masuk ke ruangan khusus untuk pria. Beberapa menit kemudian, Beni keluar dari ruangan itu dengan gagahnya. Adel hampir lupa cara mengatupkan bibirnya jika ia tidak segera disenggol bundanya. Ia bahkan tak berkedip menatap Beni. Gantengnya calon suami gue! Beni menyeringai mendapati Adel yang memandangnya tak berkedip. Ia tersenyum meledek saat akhirnya gadis itu sadar dengan tingkah bodohnya. "Segitunya natap aku, Del. Ya, aku tahu kok aku ganteng. Tetapi enggak usah sampe ngiler juga kali, Del," ledek Beni sambil mencolek dagu Adel. Cowok itu melenggang begitu saja menuju cermin besar di tengah butik. Dan diam-diam mengagumi ketampanannya sendiri. Adel mendengus. Dia ikut melirik Beni di depan cermin. Ya, Adel akui Beni memang ganteng. Tetapi Narsis! Adel baru tahu setelah terlibat beberapa percakapan dengan Beni, kalau sebenarnya cowok itu narsis. Adel kira cowok itu kalem gitu, tetapi ternyata … Pandangan mereka bertabrakan. Beni tersenyum tulus ke arahnya. Berbeda dengan senyumnya yang biasanya meledek Adel. Lalu cowok itu melambaikan tangannya menginstruksi Adel agar mendekat kepadanya. Adel mengangkat gaunnya, dan ikut menyejajarkan dirinya di samping Beni. Mereka sama-sama tersenyum melihat pantulan dari cermin. Mereka tampak serasi. Dan tanpa disadari keduanya, dua orang ibu di belakang mereka menyaksikan keakraban yang mulai timbul pada sepasang calon pengantin itu. Bundanya Adel dan Mutia saling berpandangan lalu tersenyum. Besok akan menjadi hari paling bahagia untuk Keluarga Besar Djamil! ~♥~♥~♥~ Flashback "Kalian berdua harus menikah." Adel masih terbengong di tempat saat ucapan itu meluncur dengan indahnya dari bibir kakek. Barulah sepuluh detik kemudian gadis itu sadar. "Apa!" Adel terkejut hingga tak sadar berteriak. Bukan hanya gadis itu saja yang terkejut mendengar pernyataan kakek mereka, tetapi seluruh keluarga, kecuali bundanya. "Benar. Kalian harus menikah!" Bundanya tak kalah bersemangat. Ayahnya mengerutkan kening lalu melontarkan tatapan tanya kepada keduanya. "Pak, Bapak yakin kalau menikah adalah solusi yang tepat untuk situasi ini?" tanyanya. "Iya, Kek. Adel kan masih sekolah! Adel enggak mau menikah!" tolak Adel mentah-mentah. Ia bersungut menatap kakeknya. "Untuk sekarang, Adel harus nurut sama Kakek," ucap kakek tenang menanggapi protes dari Adel. "Kek, enggak bisa begitu, Beni masih menganggur, belum bisa biayain diri sendiri. Apalagi kalau harus ditambah biayain beban hidup Adel," kata Beni sambil sedikit menarik kain batik kakek. Ia kini merajuk kepada kakeknya. Sejak kecil ia sudah menganggap kakek Retno sama halnya kakek Beni sendiri, jadi Beni bebas mengekspresikan perasaannya pada kakek. "Aku juga enggak mau nikah sama pengangguran kayak kamu," hardik Adel. Beni hanya diam. Malas merespon ucapan gadis keras kepala sejenis Adel. "Adel!" Adel diam seketika setelah dibentak. Ia beripikir keras mencari alasan untuk menolak ide gila kakek. “Lagipula, Adel udah punya pacar, Kek.” Meiti mengerutkan kening menatap Adel. “Pacar? Bukannya kamu jomblo?” Adel tersenyum miris mendengar kata ‘jomblo’ dari bibir bundanya. “Bukan pacar, sih … tetapi calon pacar! Gebetan!” Adel melipat tangan di depan d**a. Hal itu membuat bundanya geram. “Baru gebetan, kan?” sinis Meiti. Adel kali ini tidak bisa menjawab lagi. Ia kehilangan kata-kata. Ketika ingin membuka mulut, ia selalu bingung, dan berakhir dengan diam kembali. Sayangnya, Adel selalu kalah dengan bundanya jika urusan perdebatan. "Adel, Beni, ikut kakek ke kamar sekarang juga. Kita bicakan baik-baik di sana", putus sang kakek. Semua anggota keluarga hanya diam. Beni duluan yang mengambil langkah menghampiri kakek, sedangkan Adel menyusul di belakangnya. Oh, jangan lupakan wajah kesal setengah mati gadis itu. Ketika berada di kamar kakek, Adel dan Beni saling berpandangan melihat diamnya kakek. Keduanya terlalu shock terhadap keputusan kakek hingga kakek mulai membuka suara. "Kalian tahu betul kan kalau keluarga Djamil akhir-akhir ini mulai renggang. Bahkan hubungan bundanya Adel dengan tante kamu, Ben, yang sekarang sudah tidak bertegur sapa lagi, kalian tahu, kan?" Ucapan kakek menyadarkan keduanya. Adel mengangguk ragu. "Niat kakek baik. Ingin menyatukan dua keluarga kecil yang retak hubungannya. Kakek ingin agar tali persaudaraan itu tidak putus hanya karena masalah sepele. Dan hanya kalian berdualah yang dapat menyatukan dua keluarga kecil itu agar tetap utuh di atas nama buyut kalian," ujar kakek menjelaskan. Kakek tersenyum sedih menatap Adel dan Beni. Hubungan renggang yang dimaksud kakek memang benar adanya. Hubungan persaudaraan yang tidak sepatutnya hancur karena masalah kecil. Sebuah kesalahpahaman. Semuanya bermula sejak 4 bulan lalu. Waktu itu Adel sedang mengendarai sepedanya sepulang sekolah dengan riang. Adel senang sekali saat itu, pasalnya nilai ulangan matematikanya mendapat skor 80 dan tertinggi di kelasnya. Jadi ia mengendarai sepedanya dengan santai tanpa memperhatikan jalan. Motor dari arah berlawanan melaju dengan cepat dan terkesan buru-buru kemudian menyerempetnya hingga Adel terjatuh. Ketika motor itu berhenti karena merasa bersalah sudah menyerempet seseorang, Adel bisa melihat wajah pengendara. Pengendara motor itu sangat dikenalnya. Itu Bayu, suami Lia. Lia adalah tetangga satu kompleks Adel, masih ada hubungan darah dengan keluarganya Om Rudi. Dan setahu Adel, Beni memanggil Lia itu Tante. Motor Om Bayu yang berhenti mendadak di tengah jalan tampaknya bukan hal yang baik. Karena sebuah truk di belakang motor itu langsung menabraknya hingga motor dan penumpangnya terpental jauh. Adel menjerit di tempatnya. Baru kali ini ia menjadi saksi kecelakaan. Parahnya lagi, Adel mengidap Hematophobia, atau dalam kata lain yaitu phobia ketika melihat darah dalam jumlah banyak. Gadis itu gemetar ketika mencoba berdiri dari jatuhnya. Ia meringis saat luka di lututnya bersentuhan dengan roknya. Adel melihat darah dimana-mana. Ia takut darah, tetapi ia paksakan kakinya untuk melangkah mendekati seseorang yang sedang tergeletak di sana. Adel juga melihat orang-orang yang melintas di jalan itu mulai mengerubungi Om Bayu sambil memasang wajah ngeri. Kemudian Tante Lia datang seraya menangis mendapati suaminya dalam keadaan seperti itu. Sayup-sayup dapat Adel dengar kata 'meninggal' dan tangis histeris Tante Lia disana. Adel menutup matanya berusaha menyingkirkan pikiran negatif perihal ucapan orang-orang itu. "Meninggal? Siapa yang meninggal? Tidak mungkin Om Bayu meninggal!" batinnya. Ambulan datang. Melintas begitu saja di depannya. Oh tidak! Adel sudah tidak kuat lagi mencium bau darah dan melihatnya. Pandangannya mulai menggelap. Dan hal terakhir yang ditangkap oleh ingatan sebelum akhirnya ia limbung adalah Tante Lia yang menunjuk ke arahnya sambil berkata, “Pembunuh!” ~♥~♥~♥~ Adel gemetar di tempatnya berdiri. Gadis itu selalu takut kala mengingat kejadian itu. Ia hampir saja jatuh bila tidak ada Beni yang merangkul pundaknya. Ya, Adel jelas mengingat apa yang baru saja melintas di ingatannya. Kejadian yang kini menjadi batas persaudaraan dengan Tante Lia, tantenya Beni. Sejak saat itu, keluarga Tante Lia jarang datang ke acara pertemuan keluarga. Mereka juga sudah tidak mau bertegur sapa dengan keluarganya Adel lagi. Benar-benar memutus tali persaudaraan. "Kek, jika ini jalan satu-satunya untuk menyambung tali persaudaraan yang telah putus itu agar kembali bersatu, Adel mau menikah dengan Beni," ucap Adel tegas. Beni terkejut, ia menoleh tiba-tiba meminta penjelasan Adel. Tetapi gadis itu hanya diam, dan Beni tidak menolak keputusan Adel. Karena ia juga yakin jika memang ini adalah jalan satu - satunya untuk menyambung tali persaudaraan keluarga mereka. Maka hari itu, Adel dan Beni siap menanggung segala konsekuensi atas pernikahan yang mereka jalani. ~♥~♥~♥~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN