Malam ini, Jenar menginap di apartemen Alan. Laki-laki itu sengaja mengurungnya disini, sebelum mengklarifikasi hubungannya. Baju yang tadi ia kenakan sudah berganti dengan baju tidur berbahan satin, Alan menyuruhnya tidur di kamar tamu, letaknya tidak begitu jauh dengan kamar Alan. Alan tadi sudah menghilang dari pandangannya. Jenar juga tidak berniat mencari tahu keberadaan Alan.
Jenar memberanikan melangkahkan kakinya menuju pantri. Sungguh perutnya sudah lapar, ia akan memeriksa lemari kabinet itu, agar bisa mencari mie instan ataupun buah yang bisa ia makan.
Jenar membuka satu persatu lemari, tapi yang ia lihat hanya kopi dan gula saja disana. Jenar melangkah menuju chiler, ia hanya menatap beberapa minuman kaleng, Bir, soft drink, dan beberapa botol red cocktail yang masih bersegel. Jenar menarik nafas, minuman itu sama sekali tidak membantu untuk mengisi perutnya.
"Apa yang kamu cari".
Jenar lalu menoleh, ia tahu betul siapa pemilik suara berat itu. Jenar menelan ludah, bukan karena ia lapar melainkan menatap tubuh bidang Alan disana. Tubuh itu begitu bidang, otot otot di lengannya terlihat jelas, dan tampak menggiurkan itu adalah perut sixpack. Oh Tuhan ia tidak menyangka bahwa Alan memiliki tubuh indah seperti itu. Jenar yakin tubuh itu ia dapat dengan olah raga teratur. Sialnya lagi, kenapa Alan begitu tampan dengan rambut sedikit basah dan celana pendek yang dikenakannya, satu hal lagi Alan sepertinya sengaja mempertontonkan tubuh indah di hadapannya.
Sebagai wanita dewasa yang normal, jujur ia terpana melihat tubuh indah itu. Ingin sekali tubuh bidang itu merengkuh tubuhnya, betapa nyamannya bersandar disana.
"Kamu memperhatikan saya" ucap Alan, karena sedari tadi ia melihat secara jelas Jenar menatapnya dengan intens.
Jenar membuyarkan lamunannya, dan kembali menfokuskan penglihatannya.
"Saya lapar, dan disini tidak ada satupun makanan yang bisa dimakan".
Alis Alan terangkat, wanita itu ternyata lapar, ia sudah menduga itu sebelumnya. Ia bukan jenis laki-laki yang gemar memasak, dan ia bahkan tidak tahu sama sekali tentang bumbu dapur, masih untung ia bisa membedakan gula dan garam.
"Sebaiknya kita delivery order saja, kamu ingin makan apa?".
"Ayam krispi, kentang goreng, burger dan milk shake" ucap Jenar.
Alan mengerutkan dahi, ia tidak tahu ternyata selera makan Jenar lumayan banyak.
"Oke, apakah ada lagi yang ingin kamu makan?" Tanya Alan.
"Tidak".
************
Beberapa menit kemudian, orderan makanan sudah datang. Jenar tersenyum karena keinginannya sudah terpenuhi. Jenar melirik Alan, membawa makanan itu di meja.
Alan lalu memberikan semua pesanan Jenar. Jenar mencubiti ayam krispi itu, dan ia coel daging ayam itu dengan saus cabai. Jenar makan dalam diam, tidak ada yang memulai percakapan, semua terasa hening, hanya terdengar sayup-sayup kunyahan makan.
Akhirnya Alan menyudahi makannya, ia berjalan menuju chiler, mengambil dua kaleng bir yang biasa ia beli di supermarket, kadar alkoholnya 0% ia bisa meminumnya kapan saja, tanpa membuatnya mabuk. Alan hanya butuh menenangkan pikirannya saja, karena media itu sudah membuat pikirannya hampir gila, pernikahan impiannya hancur berantakan karena Jenar.
"Apa yang akan kamu katakan besok kepada media itu?".
"Saya akan mengatakan bahwa saya dan kamu memang tidak memiliki hubungan apa-apa, selain rekan bisnis, itu saja" Jenar lalu memakan burger dihadapannya, ia melirik Alan.
Jenar memperhatikan setiap inchi tubuh Alan. Jenar terpana menatap sebuah tato di lengan kiri Alan. Tato tribal trukir sempurna di lengan kiri Alan.
"Kamu memiliki tato?" Tanya Jenar.
"Iya, tato ini sudah lama, ini di buat ketika saya liburan ke Berlin" ucap Alan, ia menyesap bir itu.
"Tato kamu bagus" ucap Jenar, ia lalu menyudahi makannya. Jenar meminum milk shake miliknya.
"Terima kasih".
"Sebenarnya saya memiliki tato juga, berukuran kecil" ucap Jenar, menyentilkan
"Oh ya, dimana".
"Mungkin orang tidak bisa melihatnya, kecuali saya mengenakan bikini".
"Gambar apa?" Tanya Alan penasaran.
"Gambar yang tidak penting, saya hanya mencobanya saja kemarin di bali. Apakah kamu ingin melihatnya".
"Saya tidak memaksa, kecuali kamu sendiri yang memperlihatkannya".
Jenar menarik nafas, Jenar merubah posisi tubuhnya menyamping, agar Alan bisa melihat punggungnya, ia lalu mengangkat baju tidurnya, dan memperlihatkan punggungnya kepada Alan.
Alan menelan ludah, ia laki-laki normal, melihat punggung mulus itu. Alan menatap tiga buah snowflakes berukuran mini, berjejer rapi disana. Alan memberanikan diri menyentuh punggung mulus itu. Alan tidak percaya bahwa Jenar memperlihatkan hal privacy itu kepadanya.
Jenar merasakan tangan hangat Bram menyentuh punnggungnya secara perlahan. Aliran listrik seakan menjalar dipermukaan punggungnya. Ia hanya diam Alan melakukan itu kepadanya. Ia tidak berani bersuara, ia hanya merasakan tangan hangat itu dipermukaan kulitnya. Ia sulit sekali untuk menjabarkannya, entahlah ia ingin sekali Alan menyentuh dirinya.
"Snowflakes" ucap Alan pelan. Alan dapat mencium harum vanila dari tubuh Jenar dari jarak sedekat ini.
Jujur sebagai seorang laki-laki, ia ingin sekali mengecup punggung Jenar. Ia berusaha mati-matian, untuk tidak mencium setiap jengkal punggung itu hingga ke leher jenjang Jenar.
Tangan Alan masih dipunggung Jenar, ia tidak berniat untuk menjauhi jemarinya. "Saya suka dengan pilihan kamu" ucap Alan.
"Terima kasih".
Alan tidak tahu apa yang ia pikirkan, dan ia semakin bingung dengan tindakkannya.
"Terima kasih sudah memperlihatkan itu kepada saya" ucap Alan, ia menjauhi jemarinya.
"Tidurlah, ini sudah malam" ucap Alan, ia lalu menegakkan punggunya mejauhi Jenar, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Jenar hanya bisa menatap punggung Alan dari belakang, dan menghilang dari balik pintu kamar.
************