PART 6 - NASKAH BARU.

2075 Kata
Tidak semua wanita bebas menggeluti hobby nya ketika sudah berstatus seorang istri. Karena tidak semua suami, mau mengerti keinginan istrinya. Biasa saat berganti status menjadi seorang istri dan tak lama menjadi seorang ibu, tentu kesibukan kian bertambah. Haruskah Khansa bersyukur ketika Rayhan tidak mengekang hobbynya? Walau jujur ia rela melepaskan semua asalkan kesibukannya berubah mengurus buah hati mereka. Sayangnya di masa pernikahan mereka yang ke tiga, kepercayaan itu belum mereka dapatkan. Jadi untuk mengisi kejenuhan, Khansa kembali dengan kegiatannya. Menulis n****+. Hari ini jadwalnya untuk datang ke penerbit yang biasa menerbitkan novelnya. Matahari belum ada dipuncak kepala, saat mobil yang dikendarai supir pribadinya, Faisal tiba disebuah gedung penerbit yang biasa Khansa datangi. Seperti biasa, Faisal supir pribadi Khansa akan mengantarkan majikannya kemanapun Khansa mau. Kecuali, Khansa memang ingin mengendarai sendiri mobilnya, Faisal bebas tugas dan memilih pergi ke kantor milik Rayhan, menunggu tugas di sana. Hari ini, Khansa meminta Faisal mengantar seharian ini. Musik dangdut pelan terdengar dari ponsel Faisal. Khansa hanya tersenyum ketika supir pribadinya itu mengetukkan jari saat memegang setir. Faisal dan musik dangdut memang tak bisa dipisahkan. Terkadang mencuci mobil pun selalu di iringi musik dangdut dan goyangan dari tubuhnya yang sedikit gemuk. Jalanan yang padat merayap sudah tak perlu lagi di ragukan. Entah kapan ibukota negara ini bebas dari kemacetan, padahal transportasi sudah sedemikian rupa dirubah agar kota Jakarta bebas dari macet. Tapi tampaknya sangat sulit sekali. Hingga sejam lebih mereka baru tiba di tempat yang Khansa tuju. "Sal, kamu tunggu dulu ya. Saya gak lama kok." Khansa berpesan sebelum membuka pintu mobil. "Siap bu." Lelaki tambun dan berkumis itu mengangguk. Melihat majikannya melangkah ke arah gedung, Faisal langsung meraih ponsel membuka video dan tak lama terdengar lagu dangdut mengalun merdu. Kali ini suaranya lebih kencang. Jika tadi ia tak berani mengencangkan volume karena menghormati sang majikan. Kini ia hanya sendiri di dalam mobil. Jadi Faisal bebas mendengarkan musik dengan volume lebih tinggi. Tak lupa kaca disamping ia turunkan, karena ia ingin menyalakan sebatang rokok. Kali ini house musik yang ia pilih untuk menemaninya di sini. Musik terdengar kencang, disusul suara dari salah seorang pendangdut tanah air yang lelaki itu gemari. Faisal ikut berjoget sambil sesekali berteriak. "Tarik mang! Aye!" Kepalanya bak golek yang berlenggak-lenggok mengikuti irama, sesekali senyum terlihat dan mata tertutup guna menikmati alunan musik. Bagi Faisal dangdut tanpa goyang, ibarat makan sayur tanpa garam. Jadi dimana musik terdengar, maka ia wajib bergoyang. Begitulah kelakuannya jika sedang menunggu Khansa. Supaya tidak mengantuk, itu alasan Faisal saat Khansa memergokinya tengah berlenggak-lenggok di dalam mobil. Bukan apa, Khansa ngeri jika ada orang yang salah mengartikan mobil yang bergoyang dari kejauhan. Padahal itu ulah supir pribadi Khansa yang terbius musik dangdut. Sementara Khansa, ia terus masuk ke dalam gedung yang memiliki total lantai sebanyak lima lantai. Ia menyapa dengan ramah satpam penjaga gedung dan beberapa karyawan gedung itu. Beberapa dari mereka sudah mengenal sosok Khansa, dan bukan hal yang aneh melihat Khansa di gedung ini. Khansa salah satu penulis kesayangan dari Mayoret Publishing. Senyumnya merekah ketika bertemu seorang wanita yang menjadi editornya. "Mbak Khansa." Suara melengking terdengar seiring tubuh Khansa yang dipeluk erat. "Mbak Mia." Khansa membalas pelukan. "Aku lihat videonya, terima kasih ya. Aku jadi terharu namaku disebut di sana." Khansa tersenyum. Ia memang mengucapkan banyak terima kasih pada beberapa orang yang telah mendukung hobby nya selama ini. Salah satunya Mia, yang pertama kali menerima naskahnya. Karena sudah beberapa penerbit menolak naskahnya. Siapa sangka justru naskah itu meledak di beberapa toko buku di negara ini dan melambungkan nama Khansa. Mereka duduk berdua di sebuah ruangan yang menjadi kantor Mia. Sebuah ruangan yang terlihat nyaman dan minimalis. "Iya kan awalnya aku bisa begitu karena dirimu, say." Khansa meletakkan tas tangannya di samping sofa. Ia benar bukan? Tak ingin merasa hebat seorang diri. Sehebat apapun dia, ada orang yang ikut mendukungnya selama ini, termasuk Mia ini. "Kamu mau minum apa Sa? Panas apa dingin?" Terkadang mereka berbincang pake embel-embel mbak, kadang langsung memanggil nama saja. "Gak usah repot mbak Mia, dingin aja dah." "Oke sebentar ya Sa." Khansa mengangguk sambil menatap kepergian Mia. Khansa menatap beberapa buku n****+ hasil terbitan di sini. Senyumnya mengembang ketika bukunya berjejer bersama para penulis ternama di negeri ini. Siapa sangka hobby nya bisa membuat namanya semakin melambung dan terkenal. Apalagi film perdana, yang sebenarnya diangkat dari kisahnya bertemu dengan sang suami. Membuat beberapa orang yang telah menonton film ingin sekali memiliki suami seperti Rayhan. Yah, Khansa mengemas novelnya dengan penuh keromantisan. Tak lama Mia kembali dan meletakkan dua gelas di atas meja. "Diminum airnya Sa." "Bagaimana selanjutnya? Ada ide baru buat next n****+?" Mia tersenyum penuh harap. Pasalnya, tulisan Khansa yang baru sudah ia tunggu-tunggu. "Ada sih, tapi ...." Melihat nada ragu dari suara Khansa, membuat Mia mendekat. "Ada masalah?" tanyanya khawatir. Khansa mengerjap dan sesaat mengatupkan kedua bibirnya. "Aku mau buat n****+ dengan tema wanita malam." "Hah?" Mata Mia membola. "Wanita malam?" Khansa mengangguk yakin. "Eitss tunggu-tunggu. Aku bingung." Mia memperbaiki duduknya, menatap salah satu penulis kesayangannya. "Mbak Khansa, selama ini Mbak itu terkenal dengan tulisannya yang romantis. Kok ini malah tentang wanita malam? Apa ini tentang kisah cinta wanita malam yang bertemu cintanya gitu?" Jemari Khansa mengetuk sambil terlihat tengah berpikir sesuatu. "Aku sih belum tahu konsepnya kayak apa, tapi aku harus mencari nara sumber." "Nara sumber?" Khansa kembali mengangguk. Beberapa hari ini niatnya itu sudah mantap dan ia semakin yakin dengan tema yang akan ia angkat dalam n****+ terbarunya. "Aku sedang berpikir mencari nara sumber tentang wanita malam." "Dan menurut Mbak, apa mereka mau menjadi nara sumber? Apalagi kisah mereka akan diangkat menjadi buku? Eh, sambil diminum dong airnya." Dengan tersenyum, Khansa meraih cangkir dan meneguknya perlahan. "Aku akan coba mencari nara sumber, dan wawancarai kenapa mereka bisa menjadi wanita malam. Apa yang membuat mereka berpikiran sempit dalam menghadapi hidup?" Mia mengangguk. "Karena mungkin ekonomi. Semua pasti menjawab itu." Benar juga sih. "Yah, itu yang mau aku cari. Kalau hanya ekonomi bisa dengan bekerja yang normal kan? Gak harus menjadi wanita malam." "Ya juga sih, tapi bisa jadi pekerjaan sulit." Khansa bersandar di kursi. Kembali berpikir dengan segala kemungkinan yang bisa ia tuangkan dalam buku terbarunya. "Lalu kira-kira berapa lama Mbak Khansa akan menyelesaikan buku ini?" Kening Khansa tampak berlipat. Ia baru menulis beberapa bab saja, masih belum tahu kapan selesai naskah yang baru ini. "Tiga bulan mungkin. Nanti aku kabari. Ini sample covernya. Bisa di uruskan?" "Denting?" Kening Mia ikutan melipat. Membaca judul sebuah n****+ yang diberikan Khansa. Denting. Itu yang Khansa pilih sebagai judulnya. "Kamu pakai judul ini? Kenapa?" "Ya, ide aja yang datang tiba-tiba. Denting itukan artinya suara uang logam yang jatuh ke ubin." "Karena mereka bekerja untuk uang begitu?" "Yup. Semacam itulah." "Lalu covernya kira-kira seperti apa?" "Mungkin tentang wanita yang berdiri seorang diri yang diambil gambar dari belakang." "Gak mau kelihatan wajah?" "Gak usah deh, karena cerita ini tentang wanita malam, jadi gak akan ada raut wajah tersenyum atau bahagia. Kayaknya cocok gitu deh." "Kamu mau buat naskah sad ending?" Mia khawatir naskah sad ending kurang disukai pembaca, pasalnya para pembaca lebih menyukai n****+ happy ending. "Hmmm belum tahu juga sih," ringis Khansa. "Kan aku belum ketemu nara sumbernya. Belum tahu juga." "Oke-oke. Aku tunggu kabar Mbak Khansa saja kalau begitu." "Tapi saran aku ya Sa, buat akhir happy ending ya? Karena tahu sendiri kan naskah sad ending kurang digemari. Aku khawatir penggemar kamu pada protes lagi." Khansa terkekeh. "Aku usahakan ya Mbak." Merasa sudah tidak ada keperluan lagi, Khansa bangkit dari duduk. "Kalau begitu aku pulang dulu ya." "Semoga sukses mencari nara sumbernya ya Mbak. Karena menurutku sulit sekali." Mereka berpelukan sebentar, sebelum Khansa membawa tubuhnya keluar gedung. Panas matahari sudah mulai terasa mengigit kulit. Melihat majikannya keluar dari gedung dengan menutup wajah dengan telapak tangan, Faisal buru-buru keluar dari mobil dan membuka pintu mobil. "Terima kasih Sal." Setelah merasa majikannya nyaman, Faisal bertanya. "Kita mau kemana lagi bu?" "Sebentar Sal. Aku tanya dulu." Meraih benda pipih dari dalam tas, Khansa menekan nomer ponsel Rika, adik iparnya. Memastikan pertemuan yang mereka janjikan kemarin. Rika, adalah satu-satunya adik dari Rayhan yang masih sibuk kuliah. Tak lama sambungan terhubung. "Halo Rika, bagaimana jadi ketemuannya?" tanya Khansa sambil melirik jam tangannya. "Mbak Khansa dimana? Aku dan teman-teman sudah menunggu nih di cafe kemang. Mbak kemari ya." "Oke, aku meluncur kesana. Sebentar lagi sampai kok." Lalu Khansa menoleh kepada Faisal. "Sal, kita ke cafe kemang ya. Saya mau bertemu Rika." "Baik bu. Kita berangkat." Beruntung kali ini jalanan lancar, hingga tak berapa lama Khansa sampai di cafe kemang. Suasana cafe yang didatangi Khansa terbilang ramai. Tampaknya siang ini banyak sekali yang memang ingin makan siang di cafe ini, terlebih anak-anak muda seusia Rika, adik iparnya. Khansa mengedarkan pandangan ke sekeliling cafe hingga panggilan atas nama dirinya terdengar. "Mbak Khansa!" Lambaian tangan Rika terlihat dan itu membuat Khansa mendekati meja milik adik iparnya yang sudah di isi oleh enam orang temannya. Semuanya wanita, seusia Rika. Jadi benar ucapan Rika, jika teman-temannya ingin sekali bertemu dengan Khansa, karena mereka pengagum karya Khansa. "Hay Rika." Khansa memeluk Rika yang masih duduk di semester akhir sebuah perguruan tinggi swasta elite di ibu kota. Wajah gadis itu cantik dengan rambutnya yang sebahu. "Mbak, kenalkan ini semua teman kampus aku." Khansa menyalami satu-persatu teman sang adik ipar. Rika cukup bangga memiliki kakak ipar seorang penulis terkenal. "Teman aku mau tanya-tanya sama mbak, boleh kan?" pinta Rika sambil tersenyum. Sekarang semua temannya tahu, jika penulis terkenal itu adalah kakak iparnya. "Boleh, tanya saja." Mereka, teman Rika mulai bertanya satu-persatu pada Khansa. Ibarat jumpa fans. "Mbak Khansa kok bisa sih nulis n****+ sampai berakhir manis, ya ampun aku suka endingnya." "Iya Mbak, kata Rika itu kisah cinta Mbak sama Kakaknya Rika ya Mbak." Begitulah, Khansa menjawab satu-persatu semua pertanyaan yang diajukan. Ia senang dan bahagia melakukannya. Bahkan beberapa dari mereka berfoto dengan Khansa dengan berbagai gaya. Tak jauh dari meja Khansa, tepatnya di sudut sebelah kanan, dimana duduk seorang lelaki tengah menyesap kopinya dengan perlahan. Sesekali ia melirik arlojinya. Menunggu adalah hal yang paling tidak ia sukai. Hingga suara dari meja lain terdengar di telinganya. "Lebay! Anak-anak jaman sekarang tuh memang begitu ya, kalau ketemu idola." Suara seorang wanita yang duduk di seberang meja Arsel, membuat lelaki itu menoleh sesaat. Sambil membunuh waktu, lelaki tampan itu meneliti ponselnya tentang laporan keuangan yang dikirim salah satu anak buahnya. Tatapan Arsel mengikuti kemana arah wanita yang tadi mendumel gak jelas. Disana, tak jauh dari mejanya, ia melihat seorang wanita sedang berganti di foto oleh beberapa orang lainnya. "Maklumlah namanya anak abege." "Biasa aja kali, cantikan juga aku." Tak lama kedua wanita itu tertawa. Arsel hanya menggeleng. Dasar wanita, selalu tidak mau mengalah. Ia kembali menatap ke arah yang tadi, dimana wanita yang di foto itu sudah bangkit beranjak mau pergi. Sepertinya wajahnya tidak terlalu familiar. Entah dia artis atau apa, yang jelas Arsel belum pernah melihatnya, apalagi jarak dari jauh begini menyulitkan melihat secara detail. Biarlah, ia tidak perduli. "Sampai ketemu lagi ya Mbak." Rika ikutan bangkit ketika Khansa pamit pulang. "Oke, salam sama Mama dan Papa ya." Khansa memeluk Rika sebelum pergi. "Yuk semuanya, aku pamit ya." "Terima kasih atas waktunya Mbak." Koor teman Rika membuat Khansa tersenyum. Ia harus menghargai semua orang yang menyukai dirinya karena tulisannya. Berusaha menampilkan wajah ramah pada siapapun. Tapi memang aslinya Khansa ramah. Semua berkat didikan kedua orang tuanya. Ia bergegas kembali menuju mobilnya, dimana Faisal sudah siap menunggu membuka pintu mobil. "Kita pulang ya Sal." "Oke bu, jadi gak kemana-mana lagi ya." "Ya, saya mau pulang dan mulai menulis lagi di rumah hari ini." "Siap Bu." Faisal sudah tahu majikannya yang ini seorang penulis, yang bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk menulis di depan laptop. Sementara di dalam restoran, Arsel menatap kedatangan wanita setengah tua yang sejak tadi ia tunggu. "Selamat siang Arsel, Mama senang kamu mau memenuhi undangan Mama hari ini." Naya, ibu tiri Arsel tersenyum ramah, walau ia tahu tak akan pernah mendapat sambutan manis dari Arsel. "Ada apa?" Sangat to the point sekali. Walau begitu Naya masih berusaha bersikap ramah. Bagaimanapun lelaki tampan ini adalah putra dari suaminya tercinta. "Mama mau bicara tentang Papa." "Bicaralah." "Mama ingin kamu sekali ini saja mengikuti kemauan papa kamu." Arsel menatap wajah ibu tirinya yang sangat tidak ia sukai ini. Memang siapa dia hingga berhak mengatur hidupku. "Anggap ini permintaannya yang terakhir. Arsel." Baginya tempatmu mungkin tergantikan. Oleh dia yang memaksa masuk dan menempati posisimu. Tapi bagiku, sekarang nanti dan untuk selamanya, dirimu tak akan pernah terganti. Sebaik apapun dirinya, tak bisa menandingi tulusnya dirimu padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN