PART 7  - NEKAD.

1818 Kata
Mobil sudah beranjak jauh dari restoran, Faisal sudah mengecilkan volume musik di dalam mobil. Tapi jarinya masih mengetuk dengan perlahan pada setir mobil. Sementara Khansa, matanya memandang kaca samping dengan pikiran berkelana. Sudah beberapa bab ia tulis, tapi masih tidak bisa lanjut karena memang butuh nara sumber. Semua berawal dari pertemuannya dengan para sahabat dan menyaksikan pertengkaran antara seorang istri dan wanita simpanan suaminya itu beberapa minggu lalu, hingga ide itu muncul. Tapi kini ia bingung sendiri. Mencari wanita malam dimana ya? Dan kapan aku mencarinya? Sepertinya susah juga. Benar kata Mia, agak sulit mencari nara sumber seperti itu. Hufff. Khansa menghela napas. Ia harus memutar otaknya. Ia harus bisa mencari waktu, gak bisa berhenti begini. Alur sudah ia buat dan ia hanya butuh sedikit curhatan wanita yang memilih terjun ke dunia malam, dari pada berjuang mencari rejeki dengan cara yang halal. Memang sulit mencari pekerjaan sekarang ini, tapi tidak dengan menghalalkan segala cara. Yang paling Rayhan sukai dari istrinya ini adalah, harum parfum yang Khansa kenakan. Karena terasa nyaman dihirupnya. Menenangkan pikiran ketika sudah berjibaku dengan tugas kantor seharian penuh. "Kangen." Rahyan memeluk tubuh istrinya, begitu ia pulang ke rumah. Ini sikap romantisnya ketika mereka berumah tangga. Seakan semua lelah hilang begitu saja, ketika menghirup aroma Khansa. Rayhan mencium pipi sang istri dengan mesra. Tak peduli ketika asisten rumah tangga mereka melihat interaksi keduanya. Mereka sudah paham jika majikannya ini cinta mati pada istrinya. Mereka sungguh pasangan yang sangat serasi. Sudah cantik dan tampan juga berasal dari keluarga yang terpandang. Tapi semua itu tidak membuat keduanya tinggi hati. Rayhan dan Khansa sangat baik pada semua karyawannya di rumah. Di kantor pun Rayhan terkenal pemimpin yang bijaksana. "Bagaimana di kantor?" Khansa membantu membuka jas suaminya. Lalu mengikuti Rayhan duduk di sofa. "Biasa melelahkan." Rayhan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Bagaimana hari kamu tadi bersama Rika?" tanya Rayhan. Tadi pagi istrinya ini izin keluar untuk pergi ke penerbit dan bertemu adiknya. Senyum tersemat di bibir Khansa, mengingat bagaimana adik iparnya itu heboh ikutan menjawab pertanyaan dari temannya. "Biasa, rame gitu deh. Rika memang orangnya gitu kan?" "Karena dia bangga sama kamu, punya kakak ipar penulis terkenal." Rayhan memijit hidung mungil Khansa. "Sayang kamu gak ikut. Mereka mau minta foto kamu juga." Kekehan terdengar dari mulut Rayhan. "Yakin aku boleh deket-deket anak abege itu?" goda Rayhan dengan kliat jahil. Mata Khansa membola, membayangkan suaminya berdekatan dengan anak-anak abege, jelas Khansa tidak rela. "Ih maunya kamu itu sih." Dengan gemas, Rayhan mengacak rambut istrinya. Lalu ia bangkit berdiri. "Ada yang mau aku sampaikan." Khansa mengikuti langkah suaminya menuju kamar. Begitu masuk dan menutup pintu, tubuhnya direngkuh Rayhan dari belakang. "Aku mau keluar kota," bisik Rayhan sambil menghirup aroma istrinya, mencium puncak kepala Khansa. "Untuk berapa hari?" tanya Khansa. Ia sering keberatan jika ditinggal pergi begini. "Gak lama sih, hanya untuk tiga hari." Masih dengan memeluk tubuh sang istri, Rayhan menggiring Khansa menuju ranjang. "Kapan berangkat?" "Malam ini pukul sembilan." "Kemana?" tanya Khansa sambil membiarkan tubuhnya dibaringkan begitu saja oleh Rayhan, ia mengkuti kemauan suaminya. Berpisah selama tiga hari, tidak tidur saling berdekapan, pasti mereka akan saling merindu. "Kalimantan." "Aku kangen dong?" keluh Khansa sambil cemberut kesal. Tapi tidak lama saat mendapat kecupan sayang dari Rayhan. "Ikut yuk?" ajak Rayhan. Sepertinya enak bisa pergi bersama istrinya ini. Khansa berdecak. "Aku banyak kerjaan, belum bereskan naskah baru, belum cari nara sumber, belum buat-" Perkataan Khansa terhenti, karena ulah suaminya. Senyumnya mengudara, melihat tatapan penuh cinta dari lelaki pertama yang berstatus suaminya ini. "Aku mau menuntaskan rindu aku sebelum pergi, biar gak kangen di sana sama kamu." Ucapan terakhir Rayhan sebelum melanjutkan kegiatan mereka berdua sebelum keduanya berpisah untuk tiga hari ke depan. Yah, Rayhan sangat mencintai istrinya dengan amat sangat. Jadi berpisah tiga hari saja bisa membuat rindunya menggunung tinggi. Itu sebabnya sebelum pergi, wajib bagi Rayhan meminta nafkah batin pada Khansa, walau dengan waktu singkat. Ada masalah tiba-tiba di kantor cabangnya di Kalimantan, sehingga Rayhan mendadak pergi ke sana. Dua jam kemudian, Rayhan sudah bersiap-siap. Khansa menatap tubuh gagah suaminya dengan senyum. Ia merasa beruntung memiliki suami seperti Rayhan. Siapapun akan iri terhadapnya. "Jangan lupa hubungi aku kalau sudah sampai ya," pesan Khansa. "Jangan tidur larut malam. Jaga kesehatan. Menulisnya jangan dipaksakan, waktunya makan ya makan, waktunya tidur ya tidur." Rayhan memiliki alasan bicara seperti itu. Kebiasaan Khansa kalau sudah menulis sering lupa akan waktu. "Iya sayang." Khansa bangkit dan mendekat, memberikan senyum terakhir sebelum mereka pisah. "Jaga diri baik-baik, ya." Rayhan merangkum wajah sang istri, dan memberikan kecupan di kedua pipi, kening dan bibir Khansa. Merangkul tubuh istrinya sambil berjalan keluar rumah. Kembali mencium puncak kepala Khansa yang harum shampo beraroma lembut. Di depan Faisal sudah menunggu. Ia akan mengantar majikannya ke Bandara. "Sal, kamu menginap di sini saja, malam ini ya." Rayhan berpesan pada supirnya. Bagaimanapun juga ia khawatir akan istrinya. Sekalipun sudah ada satpam dan asisten rumah tangga. Tak apa menambah satu personal lagi untuk menjaga istrinya. "Siap Pak Bos." "Jaga ibu baik-baik, jangan biarkan sendiri kemana-mana." "Siap Pak Bos." Kembali Rayhan menatap Khansa. "Aku pergi." Rayhan kembali membelai pipi istrinya dan melabuhkan kecupan di atas bibir Khansa. "Hati-hati Mas. Kabari jika sudah sampai di sana ya, jangan lupa." "Aku pasti kangen kamu," bisik Rayhan. "Cepet pulang," pinta Khansa. "Pasti, aku mana bisa lama-lama jauh dari istri cantikku ini." Khansa melambaikan tangan ketika mobil suaminya keluar gerbang. Ia menghembuskan napas. Tiga hari tanpa Mas Ray, aku sendiri dong. Setelah seharian mencari ide, akhirnya Khansa memutuskan akan mencoba mencari nara sumber di diskotik yang ada di kota ini. Ia mencari nama-nama diskotik yang ramai dikunjungi para penggemar dunia malam. "Malam bu," sapa Faisal membuat Khansa yang tengah menekuni ponselnya mengangkat wajah. "Ya Sal, ada apa?" "Hmm malam ini saya mau izin keluar sebentar ya bu." Tampang lelaki bertubuh tambun dan sedikit berkumis itu tersenyum malu-malu. "Izin keluar maksudnya?" Jelas Khansa tak mengerti. Pasalnya suaminya sudah memberi perintah untuk lelaki ini stand by di rumah ini selama suaminya pergi. Ada kamar khusus untuk para asisten rumah tangganya yang diminta menginap oleh Rayhan. "Ada janji sama yayang bu. Tapi nanti saya balik malam bu, gak apa kan?" "Oooo." Khansa mengangguk. "Boleh gak Bu?" tanya Faisal lagi. "Oke, kalau memang begitu. Kamu boleh izin." "Terima kasih ya bu." Faisal tersenyum senang membayangkan akan bertemu sang pujaan hati. Melihat kepergian Faisal, tercetaklah ide tiba-tiba di kepala Khansa. Khansa menatap cermin. Ia sudah bersiap malam ini. Sudah mengantongi tempat yang akan ia datangi. Beruntung suaminya tugas luar kota, jadi ia bisa mencari sendiri. Ini untuk pertama kalinya Khansa pergi ke tempat seperti itu. Entah apa yang akan suaminya lakukan jika mengetahui istri tercintanya masuk ke tempat yang selama ini tak pernah mereka injak. Khansa menghembuskan napas. Semua ini demi nara sumber, agar ceritanya bisa semaximal mungkin ia tulis. Mobil yang dikemudikan Khansa sampai disebuah klub yang terlihat ramai pengunjung. Heran ya, malam begini padahal lebih enak tidur di rumah. Batin Khansa sambil menatap bagaimana beberapa orang mulai memasuki klub malam itu. Dan benar saja, ketika Khansa masuk ke dalam klub, ia berdecak. Pasalnya lampu dan suara dentuman musik begitu nyaring dan ia berharap semoga gendang telinganya tak ikut rusak. Khansa sempat menggeleng. Melihat ke arah sekeliling, bak manusia yang baru masuk ke dalam alam yang berbeda. Sejak kecil ia sudah diberitahu jika masuk ke tempat seperti ini adalah larangan keras. Dan ini untuk pertama kaliya Khansa melanggar. Semoga kedua orang tuanya tidak akan tahu jika ia kemari. Ingat Khansa, semua demi naskah! Begitu bisik hatinya. Matanya melihat dengan heran beberapa manusia yang bergerak saling berjingkrak mengikuti irama musik. Apa coba enaknya begitu? Yang ada bikin pusing! Kepalanya menggeleng. Ia menuju bartender. Mencengkram jaket yang ia kenakan. Berulang kali membenarkan kacamata yang sengaja ia pakai malam ini, demi menyamarkan wajahnya. Khansa tersenyum. Siapa juga yang mau mengenali wajahnya. Semua orang di sini sepertinya tipe orang yang tidak menyukai membaca n****+. "Pesan?" tanya bartender pada Khansa. Lelaki itu meneliti wajah Khansa. Pasalnya terlihat sekali jika wanita ini baru mendarat di tempat ini sepanjang hidupnya. Khansa mengerjap. Ia tak boleh asal minum minuman beralkohol. Bisa berabe nanti. "Air mineral ada?" tanyanya tak yakin. Senyum terbit di sudut bibir bartender. Tapi walau begitu ia tetap memberikan sebotol kecil air mineral. Bartender menekan ponsel dan mengirimkan pesan pada atasannya. Ia memang bertugas sebagai bertender, tapi ia wajib lapor jika ada hal yang mencurigakan dari salah seorang tamu di tempat ini. Semua demi menghindari dari hal yang tidak diinginkan. Khansa meneliti seluruh ruangan. Masih memegang botol mineral tanpa mau membukanya. Ia hanya basa-basi saja memesan minuman. Bagaimana aku mencari wanita malam? Semua wanita di sini belum tentu wanita malam. Ternyata mencari wanita malam tidak semudah itu. Tengah ia bingung, seorang lelaki duduk di sampingnya. "Sedang mencari teman nona?" Khansa menoleh, melihat lelaki yang tiba-tiba datang dengan senyum ramah. Seketika ide Khansa muncul. "Hmmm aku mencari seseorang." Sepertinya boleh aku meminta tolong pada orang ini. "Mencari siapa?" tanya lelaki itu yang kini memusatkan perhatian pada bibir Khansa. Di matanya bibir itu begitu berkilat dan sangat menggoda. "Wanita malam, kamu bisa carikan satu untukku?" bisik Khansa dengan wajah mendekat, khawatir suaranya tidak terdengar. Terlihat lelaki itu heran. "Wanita malam?" tanyanya memastikan. Gak salah? "Hmm, untuk aku malam ini." Khansa berujar sambil membuka tutup botol dan meneguk minuman di tangannya. Apa yang Khansa lakukan terlihat sexy di mata lelaki itu. Hingga senyumnya terbit tanpa Khansa sadari. "Oke, ikut aku." Lelaki itu bangkit. Semudah itu? Khansa tidak percaya. Tapi ia cepat-cepat bangkit dan mengikuti langkah lelaki itu. Kesempatan ini tak boleh ia sia-siakan. Membelah kerumunan orang, Khansa terus berjalan mengekori hingga ke sudut ruangan. Tak jarang, tubuhnya tersenggol orang yang tengah larut mengikuti gerakan musik. Ia terus berjalan, ada lorong yang sepertinya mengarah ke arah toilet. Itu menurut Khansa. Secara cepat, tanpa bisa Khansa prediksi, lelaki itu berbalik dan meraih lengan Khansa, membawa masuk tubuh Khansa kedalam ruangan, dengan cepat memerangkap tubuh wanita itu. Khansa yang tak pernah mendapat perlakuan sekasar itu sontak terkejut. "Mau apa kamu?" tanya Khansa dengan wajah penuh rasa takut luar biasa. Matanya nanar membayangkan apa yang lelaki ini akan lakukan padanya. "Kalau bersama aku, kamu gak perlu wanita malam lainnya." Desisan itu hanya sesaat, karena selanjutnya Khansa mati-matian menahan wajah yang ingin sekali menyentuhnya. Ya Tuhan, aku menyesal datang ke tempat ini. Khansa tetaplah seorang wanita, kekuatannya tetap kalah. Nyaris bibirnya tersentuh, andai tidak ada tangan yang memisahkan lelaki ini dari tubuhnya. "Aku tidak suka ada kekerasan di tempatku." Suara dingin nan tegas terdengar di telinga Khansa. Napas Khansa turun naik, ketika ia terlepas dari kungkungan lelaki gila ini. Jelas gila, karena kenal atau tidak, main peluk sembarangan. Mata wanita itu berkaca saking takutnya. "Sorry." Lelaki pemaksa tadi bergegas keluar ruangan. Khansa baru tahu kalau ini semacam ruangan VIP sebuah klub. Seperti untuk karaoke juga. Oh, dia sama sekali buta dengan tempat seperti ini. Ditengah napasnya yang masih memburu karena takut, mata Khansa bersitatap dengan sepasang mata yang hitam kelam yang kini memandangnya dengan raut wajah khawatir. "Nona, kamu tidak apa-apa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN