Bab 1. Pengkhianatan

1579 Kata
Happy Reading "Kendra! Nita! Apa-apaan kalian?!" seru Maureen saat melihat kedua orang yang tengah berciuman panas di depannya itu. Keduanya sontak melepaskan diri dan ikut terkejut melihat keberadaan Maureen. Bukankah Maureen sudah pulang, kenapa wanita itu masih di rumah sakit. Batin keduanya. Kendra langsung menjauh dari Nita dan berjalan mendekati Maureen. "Sayang, aku bisa jelaskan—" "Penjelasan apa?" sela Maureen cepat. Dadanya terasa bergemuruh panas melihat kejadian barusan. "Penjelasan kenapa kamu dan Nita berciuman, bahkan di ranjang pasien seperti ini?" Nada bicara Maureen masih meninggi. Sungguh dia masih belum bisa percaya dengan apa yang dia lihat. Ruangan yang baru saja Maureen masuki adalah ruang VIP tempat Nita dirawat. Tadi setelah mengunjungi Nita, Maureen memang sudah berpamitan pada keduanya jika dia harus segera pulang ke apartemen karena ada hal yang harus dia kerjakan. Akan tetapi, Maureen ingat jika dia melupakan ponselnya yang tertinggal di ruang rawat Nita. Maureen kembali untuk mengambil ponselnya dan ternyata Tuhan telah memberitahukan padanya sebuah fakta yang sangat mengejutkan sekaligus menyakitkan. "Sayang, sebenarnya tadi kami tidak sengaja," ujar Kendra berjalan semakin mendekati Maureen, tetapi wanita itu memilih berjalan mundur hingga punggungnya menabrak pintu di belakangnya. Mata Maureen memanas, dadanya terasa sesak melihat bercak merah pada leher Kendra yang Maureen tahu itu apa. Jika selama ini dia tidak pernah percaya kalau ada yang mengatakan Kendra dan Nita memiliki hubungan, tetapi tidak dengan sekarang. Maureen sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, kedua manusia itu berciuman sangat panas bahkan tangan Kendra sudah merayap ke bagian sensitif Nita. Sekarang dia bahkan bisa melihat dengan jelas tanda merah di leher Kendra yang memang putih itu. "Menjijikkan, Nita begitu beringas padahal dia sedang sakit," batin Maureen menahan segala nyeri dalam dadanya. "Cih, ternyata selama ini aku benar-benar bodoh. Aku sangat percaya pada kalian yang mengatakan sebagai saudara. Nita sudah aku anggap sebagai adikku sendiri karena kau mengaku sebagai kakak sepupunya! Tapi apa yang tadi kulihat? Apakah ada kakak sepupu yang sangat napsu terhadap adik sepupunya sendiri!" seru Maureen kali ini menatap tajam pada Kendra. Nita masih terdiam ketakutan di ranjangnya, dia melihat Maureen yang selama ini sangat lembut berteriak marah-marah karena memergoki dia dan Kendra berciuman. Padahal tadi dia sudah berusaha memperingatkan Kendra untuk menjaga hasratnya karena sekarang mereka masih di rumah sakit. Kondisi Nita kembali lemah dan harus dirawat inap, tetapi Kendra memang tidak bisa menahan hawa nafsunya. Sedangkan Kendra, akhirnya tidak bisa mengelak lagi ketika Maureen sudah bicara seperti itu. Senyum sinis tersungging di bibirnya. Dia menatap Maureen dengan tatapan berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya Kendra menatap Maureen penuh rasa bersalah, sekarang tatapan itu berubah menjadi tatapan mengejek. "Baiklah, karena kamu udah liat sendiri dan aku nggak bakalan bisa memberikan penjelasan, aku akan mengakui yang sebenarnya," ujar Kendra membuat tatapan Maureen semakin memburu. Kini mata Maureen sudah berkaca-kaca, dia benar-benar tidak percaya jika apa yang dia pikirkan tadi ternyata benar. Padahal Maureen berharap jika Kendra meminta maaf padanya, memberikan penjelasan atau bahkan berlutut di kakinya guna mengatakan jika perbuatan yang baru saja mereka lakukan itu memang sebuah kesalahan pahaman. Akan tetapi, ternyata semuanya sangat berbanding terbalik dengan pikirannya. Kini semuanya terlihat begitu jelas, Kendra bahkan tidak memperlihatkan raut wajah bersalah lagi. "Jadi, kamu mengakuinya? Kamu mengakui kalau kalian memang memiliki hubungan di belakangku?" Kali ini suara Maureen menjadi lirih. Tenggorokannya terasa tercekat karena mendengar ucapan Kendra. "Ya, kamu benar. Sebenarnya selama ini aku telah membohongimu dengan mengatakan jika Nita adalah adik sepupuku, padahal Nita adalah kekasihku. Kami sudah berhubungan jauh lebih lama sebelum aku memiliki hubungan denganmu!" Jantung Maureen terasa dihantam palu godam, dadanya langsung terasa sesak dan air matanya meluncur membasahi pipinya. "Ke-kenapa? Kenapa kamu melakukan ini padaku, Kendra? Kenapa kamu tidak mengatakan yang sejujurnya kalau kamu dan Nita adalah sepasang kekasih? Ataukah karena kamu selama ini hanya ingin memanfaatkanku saja?" tanya Maureen dengan suara serak. Kendra tertawa sinis, pria itu berjalan mendekati Nita dan langsung mencium bibir pucat wanita itu. Maureen lagi-lagi harus mendapatkan tontonan yang menyayat hatinya. "Ucapanmu sangat tepat! Aku memang memanfaatkanmu untuk menjadi dokter pribadi Nita, maka dari itu aku menerimamu saat kamu memintaku jadi kekasih. Aku sebenarnya risih jadi pacar kamu karena yang aku cintai hanya Nita." Dengan langkah cepat, Maureen berjalan ke arah Kendra dan melayangkan sebuah tamparan di pipi pria itu. "Kamu benar-benar b******k, Kendra! Kalau kamu memang tidak mencintaiku seharusnya kamu menolak waktu itu!" Kendra memegang pipinya yang terasa panas, sedangkan Nita langsung memeluk lengan Kendra, menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh pria itu. Nita takut menjadi sasaran amukan Maureen. "Kau!" tunjuk Maureen pada Nita. "Benar-benar wanita tidak punya hati! Selama ini aku bersikap sangat tulus padamu. Aku selalu meluangkan waktu untukmu dibandingkan dengan pasienku yang lain. Kamu selalu menjadi prioritasku bahkan aku sampai sekarang masih berusaha mencari pendonor ginjal yang cocok untukmu. Tetapi ternyata ketulusanku dibalas seperti ini, aku nggak akan tinggal diam, Nita!" Maureen merangsek maju untuk menjambak rambut Nita. Sungguh dia merasa sangat bodoh karena berhasil dibohongi dua orang ini. Saat akan mencapai rambut Nita, tiba-tiba tubuh Maureen terasa terhempas, dia terdorong ke belakang dan jatuh terduduk di lantai. "Jangan sentuh Nita atau kau akan mati di tanganku!" Mata Maureen terbelalak tidak percaya. Ternyata Kendra memang tidak pernah mencintainya, lihatlah bagaimana dia menjadi garda terdepan untuk melindungi Nita dari serangannya. Maureen tertawa, dia tidak terima dengan perlakuan kedua orang itu. Maureen berdiri dan akan menyerang kedua orang itu lagi, tetapi kali ini Kendra benar-benar membuatnya tidak berkutik. Kendra memukul kepala Maureen dengan kepalan tangannya. Maureen langsung jatuh tersungkur lagi, kepalanya terasa sakit. Saat itu dia melihat Kendra mengeluarkan sebuah suntik dari saku jas dokternya. Kendra menyeringai dan berjongkok di depan Maureen yang saat ini sudah lemah tidak berdaya. "Kau berani melawanku? Aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan tenang. Jadi, sebaiknya kamu serahkan ginjalmu yang sehat itu dengan sukarela, atau kamu akan berakhir di neraka dan aku akan mengatakan pada dunia jika kamu melakukan percobaan bunuh diri?" "Kau benar-benar b******k!" Kendra tertawa dan kali ini dia langsung menyuntikkan suntikkan yang berisi obat bius itu ketika melihat Maureen melawan. "Hahaha, dasar wanita jalang! Kamu sendiri yang menyerahkan semuanya padaku, kamu yang mendatangiku dan mengejarku selama ini. Kini aku akan menerimamu dengan sangat baik. Ayo kita ke ruang operasi, aku akan mengambil ginjalmu dan akan kuberikan pada Nita. Kamu tenang saja, setelah Nita sembuh kami akan segera menikah dan Nita akan hamil anakku. Kita tidak akan melupakan jasamu!" Suara Kendra terdengar tidak seperti biasanya. Hari ini, Maureen harus menelan pil pahit jika kekasihnya adalah seorang iblis. Namun, penyesalan itu tak berarti apa-apa. Semua terlihat kabur hingga wanita itu hanya bisa berdoa dalam hati, "Tuhan, kenapa kau memberikan takdir yang seperti ini? Aku bahkan tidak pernah melakukan kejahatan selama hidupku. Kesalahanku hanya satu, yaitu terlalu mencintai Kendra hingga aku menjadi manusia bodoh! Tuhan, tolong beri aku keadilan!" *** “Arghh! Mimpi apa itu? Kenapa itu terasa begitu nyata dan, aww!” Maureen meringis, memegang bagian kepalanya ketika rasa sakit itu benar-benar terasa nyata. Sekelebat suara asing menyerbu indera pendengarannya. Maureen menutup telinga, menghalau apa pun yang mencoba membuatnya kesakitan. Namun, setitik air mata menetes, bahkan kini semakin deras mengalir. “Ada apa ini? Kenapa aku ada di apartemen? Bukankah tadi aku masih berada di rumah sakit? Kok, sekarang aku ada di sini?” Maureen melihat sekeliling. Benar, dia masih berada di apartemennya yang lama karena dua bulan setelah dia jadian dengan Kendra, Maureen memutuskan pindah ke apartemen yang bersebelahan. Maureen melihat ponselnya tergeletak di nakas tepat di sebelah keranjang buah dan terdapat sebuah pisau di sana. Maureen mengambil ponsel itu dan mengerutkan keningnya. "Ponsel ini bukannya sudah rusak tiga bulan yang lalu karena terlindas mobil? Sial, sebenarnya apa yang terjadi," gumam Maureen membuka ponselnya. Maureen melihat kamar apartemennya. Dia lalu memegang perutnya, tidak ada yang sakit. Wanita itu benar-benar bingung dengan kejadian yang terasa sangat nyata tadi. “Kendra gak mungkin melakukan itu? Gak! Ini pasti mimpi, kan? Ya, ini pasti hanya mimpi!” Akan tetapi, Maureen dibuat terkejut saat melihat tanggal, hari, dan tahun yang tertera di ponselnya. "Apa-apaan ini? Bagaimana bisa aku kembali ke tujuh bulan lalu? Ini tidak mungkin! Aku pasti lagi mimpi!” Sekeras apa pun Maureen berusaha, tetapi tidak bisa. Ketika dia membuka mata, kalender yang ada di ponselnya sama sekali tidak berubah, bahkan detik itu terus berjalan seperti biasa. “Ini tidak mungkin!” Maureen melempar ponselnya, lalu meremas rambutnya frustasi. Dia tidak tahu kenapa bisa kembali ke masa saat dia baru saja berhubungan dengan Kendra. Tepat di bulan ini pula, wanita itu mengingat jelas akan ada saat di mana dia bertemu dengan Nita. "Apa Tuhan memberikanku kesempatan agar tidak bertindak ceroboh, apalagi dimanfaatkan oleh orang seperti Kendra dan Nita?” Maureen terlihat berusaha berpikir pada saat kepalanya masih terasa sakit. “Iya, ini pasti adalah jawaban Tuhan tentang doaku. Aku harus balas dendam kepada dua orang itu!” Maureen mengepalkan kedua tangannya. Dia masih ingat dengan sangat jelas rasa sakitnya dikhianati oleh Kendra dan Nita. Wanita itu segera menoleh ketika pintu kamarnya terbuka, lalu munculah sosok orang yang membuat tubuhnya langsung terasa kaku. “Kendra,” gumam Maureen benar-benar tidak menyangka jika pria tersebut ada di hadapannya. Seperti kaset rusak, kilasan kejadian di ruang rawat itu berkelebat di kepalanya. Bibir wanita itu seketika berkata tanpa bisa dikontrol. "Dasar laki-laki jahat!" “Hai, Sayang. Gimana kabar kamu? Apa kepalamu masih sakit?” Tangan Maureen mengepal erat. Menatap pria yang dengan tega mengkhianatinya, bahkan sampai merenggut nyawanya demi wanita lain. "Laki-laki sepertimu lebih baik mati!" bisiknya penuh dendam. Maureen perlahan mengambil pisau dari keranjang buah, menggenggamnya erat sambil terus menatap tajam Kendra yang semakin mendekatinya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN