?3. GHSI?

1326 Kata
Takdir, takdir adalah benang merah yang sudah diikatkan tuhan pada setiap manusia. Mereka memiliki jalan masing-masing. Untuk memutuskan, menemukan, mempertemukan, menyatukan dan memisahkan. Bukan hanya masalah jodoh dan maut. Apakah mungkin aku di takdirkan kembali bertemu denganmu? _________ **Reya POV** . . . Aku merapikan ruang tengah rumah, yang di jadikan ruang kerja, tempat mengajar juga membuat aneka kerajinan tangan. Setiap harinya mengajar les untuk anak-anak sekolah dasar. Sebenarnya, awalnya mengajar adalah sebuah hal yang tidak terpikirkan olehku. Setelah lulus SMU, aku kembali ke Indonesia, kemudian tinggal bersama orang tuaku. Setelah kembali ke Indonesia aku mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa kuliah di jurusan broadcasting dan beruntung aku mendapatkan kesempatan . Senang? Pasti, tapi saat itu aku harus melepaskan mimpiku. Papa bangkrut dan akhirnya aku harus membantu ekonomi keluarga. Menerima pekerjaan mengajar adalah kesempatan yang tak mungkin aku lewatkan. Awal sekali aku sempat mengajar untuk sebuah LSM internasional dan juga mengajar untuk seorang anak berkebutuhan khusus. Sebenarnya bisa saja meminta mendiang Kakek pada saat itu untuk membiayai kegiatan kuliahku. Tapi jika di pikir lagi, bagaimana dengan kebutuhan ekonomi keluargaku. Rasanya ingin egois kemudian melanjutkan kuliah diantara banyak hal yang harus aku pikirkan. Pada akhirnya, aku memilih bekerja kebetulan saat itu memang sudah ada beberapa tawaran. Sempat bercita-cita jadi guru, tapi impian itu berubah ketika aku berada di Korea. Aku kadang menyesal karena tak mengambil beasiswa itu. Sesekali wajar kan jika aku menyesal? Terkadang ada rasa iri jika melihat beberapa teman sebaya yang menceritakan masa-masa saat mereka kuliah. Namun, aku percaya jika tuhan selalu punya jalan untuk membahagiakan umatnya. Meski itu bukan jalan yang kau inginkan, intinya bersyukur saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, murid-muridku yang kadang aneh dan ajaib ini sudah ada di hadapan sibuk mengobrol dan bergurau. Kelasku kecil hanya 6 anak persisnya, tapi, cukup menguras emosi terutama saat aku sedang PMS. Dua jam mengajar dan setelahnya aku akan merebahkan tubuh di kasur, pernah mengalami cidera punggung empat tahun lalu. Ini membuatku sulit jika harus berjalan atau duduk terlalu lama. Mama duduk di sisiku sementara aku rebah di tempat tidur. "Mbak, tadi Pak Billy ke sini." ucap Mama seraya sedikit memijat punggungku. "Kenapa pak Billy ke sini Ma?" Tanyaku sambil sibuk mengolesi punggung dengan cream oles untuk meredakan nyeri punggung. "Kamu kan udah pernah bantu Eyang Kakung dulu di Korea ." "Ehem, terus?" Mama mengusap dan memijat pelan punggungku yang masih terasa sakit. "Kalau bisa ... kamu diminta ke Korea lagi." Deg! Kembali? Ke Korea? "Kok tiba-tiba banget?" "Kamu kan sering bantu Eyang ngurus pembukuannya waktu itu. Pak Billy memang lagi butuh karyawan sama di suruh bantu ngawasin kerja pegawai." Aku mengerti pekerjaanku saat ini tak cukup, untuk menutupi kebutuhan keluarga. Aku anak pertama, dan saat ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena Papa sudah lama sakit, tangan kirinya sering mati rasa dan tak mungkin lagi bekerja. Beberapa tahun lalu jatuh dari tangga setelah membenahi genting rumah. Tangan kirinya cidera karena menjadi penopang, hingga saat ini tak pernah benar-benar pulih. Tapi, sejujurnya aku tak pernah berpikir akan kembali ke Korea setelah hari terakhirku yang tak baik dengan Yunki. Kami tak bertegur sapa selama beberapa waktu entah apa alasan jelasnya. Awalnya dia mengabaikanku lalu kami menjadi saling mengabaikan. Lelah sekali, karena terus di diamkan dan tiba waktu aku kembali ke Indonesia, aku pergi tanpa pamit. Aku rasa mungkin memang harus ke Korea lagi. Bukan untuk cinta pertamaku, tapi untuk keluargaku. Semua orang ingin memperbaiki kehidupan mereka, dan rasanya inilah cara Allah untuk itu. *** **Yunki POV** . . Sedari tadi aku menatap ponsel, melihat banyak foto gadis berhidung datar itu. Pipinya masih sebesar apel dan semerah tomat, senyumnya masih sama. Yang membuat berbeda kini ia mengenakan syal di kepala, hijab? Itu kan namanya? Aku mencoba mencari tahu namanya melalui pencarian di internet. "Hyeong!" suara teriakan Jeonguk menghentikan aktifitasku. Aku hanya menatap ke arahnya tanpa menjawab apapun. Aku bisa melihatnya berjalan menghampiri dan duduk di sampingku. "Apa kau jadi maniak ponsel sekarang? Kau mulai bermain game?" "Aish, apa maksudmu? Aku tak berminat dengan game." "Kau, jadi aneh sejak beberapa hari lalu," ia memukul pundakku kemudian menatap curiga. "Ada apa sebenarnya?" Kutepis tangannya, "bukankah dua minggu lagi kita berangkat ke Indonesia?" Ia mengangguk dengan tatapan linglung. "Baiklah aku akan bersiap," ucapku sambil berjalan menuju kamar sejujurnya aku mulai merasa aneh dengan diriku sendiri. "Tumben sekali kau bersiap hyeong?! 2 minggu itu masih sangat lama." Aku tidak menjawab pertanyaannya dan hanya melangkahkan kaki ke kamar. Sejak menemukan akun Twitter gadis itu membawaku kembali mengingat kejadian saat bersamanya di Daegu dulu. Awal perkenalan yang aneh dia aneh dan karena itu aku menyukainya, dulu. Reya gadis yang riang, meskipun selalu memberikan kesan pertama jika ia galak dan tak bersahabat. Nyatanya, saat sekolah dasar dan menengah ia bisa mempunyai banyak teman karena ia juga cukup pintar. Reya selalu perhatian, membawakan ku sarapan pagi. Bekal yang sengaja ia bawa karena tak pernah mau sarapan. Sejujurnya aku jarang sekali sarapan pagi Ibu dan Ayah selalu berangkat kerja lebih awal. Aku dan Kakakku selalu membuat sarapan sendiri dan ia tak pernah mau membuat untukku. Juga aku lebih suka tidur di banding sarapan. Akhirnya sarapan jadi hal yang sering aku lewatkan, masih teringat jelas semua ini bermula dari saat itu. . . . . Sembilan tahun lalu. Aku melangkahkan kaki ke sekolah, di depan sekolah melihat Reya melangkahkan kaki dengan jaket putih. Ia bertubuh lebih tinggi di banding anak-anak seusia kami, ia bahkan lebih tinggi dariku saat itu. Tapi, saat SMA aku menyusul menyenangkan sekali melihat ia kesal. Gadis itu menghentikan langkahnya, apa ia mengetahui aku membuntuti? Ia menoleh ke belakang dan tersenyum ke arahku. Wajah muramnya berubah saat tersenyum, ketika ia mengakhiri senyumnya ia kembali menunjukkan wajah muramnya. Ah, gadis aneh! Aku terdiam dan kami saling bertatapan. "Yunki ssi," sapanya membuka kebekuan diantara kami. "Reuya ssi," "Reya re-ya bukan Reuya E bukan Eu!" protesnya kemudian mempoutkan bibir. "*Mianhae," ucapku. (*Maaf) Ia kembali tersenyum. "*Gwenchanayo," (*Tak apa-apa) Sedikit kecewa setelah beberapa hari kami berkenalan ia masih menggunakan bahasa formal. Hari itu sekolah kami mengadakan perlombaan. Aku mengikuti perlombaan lari dan Reya? Ia tidak mengikuti apapun. Aku bertanya, dan ia menjawab karena ia tak tertarik dan mudah lelah. Selesai berlomba ia menghampiriku di taman belakang sekolah dan memberikanku kotak makannya. Aku menatapnya sesaat Ia duduk di samping ku sambil tersenyum. Aku suka melihatnya yang terus saja tersenyum jika bersamaku, gadis aneh? "Kau lapar?" Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Aku melihatmu saat berangkat sekolah kau tidak membawa tas, dan juga kau sendirian di sini pasti karena orang tuamu tidak datang. Aku pikir kau pasti—" Kruukk kruukk Perutku berbunyi saat itu tidak bisa lagi menyembunyikan rasa laparku. Kami saling menatap, perlahan ku tatap ia dengan malu. Reya terkekeh kemudian membuka kotak bekalnya yang ia bawa lalu menyerahkan kepadaku. "Makanlah, Yunki-ssi aku melihatmu tadi, kau hebat bisa meraih juara dua diperlombaan itu." Senyumnya merekah dengan 2 ibu jari yang ia acungkan bersamaan. Aku rasa itu pujian yang tulus. "Reya, aku pernah melihatmu sebelum kita berkenalan," ucapku tiba-tiba teringat pertemuan pertama kami. Ia menatapku dengan penasaran dan menaikkan bibir bawahnya. Sehingga pipi merahnya semakin membesar, imut sekali. "Saat kau menolong kucing, beberapa waktu lalu." Ia berfikir sejenak. "Aku terjatuh saat itu?" tanyanya. Aku mengangguk. Ia mengerutkan keningnya dan mengerucutkan bibirnya. "Kau tidak menolongku?" protesnya. "Aku mau menolongmu, tapi kau bangkit lebih cepat dari langkah kakiku." Ia mengangguk, "lain kali, kau harus menolongku." "Baiklah," janjiku. "Aku akan membawakanmu sarapan mulai besok," ucapnya penuh semangat. "Kenapa?" tanyaku heran mengapa ia begitu bersemangat. Ia tersenyum menunjuk susuan gigi rapinya, "Aku selalu melakukannya pada teman baikku. Karena kau baik, maka aku akan melakukan itu." Aku menatapnya masih penasaran, agak heran dengan sikapnya. Sepertinya itu bukan alasan sesungguhnya. Ia menatap dengan tatapan aneh, kemudian terlihat canggung. "Sebenarnya, aku tidak suka sarapan. Tapi, nenek selalu memaksa sarapan. Jadi, aku selalu membawanya ke sekolah berjanji akan memakannya saat di perjalanan. Karena itu aku selalu membawa dua bekal ke sekolah." jelasnya. "Kau mau kan?" Aku mengangguk. "Terima kasih Lim Yunki," *** . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN