?15. GHSI ?

897 Kata
**Reya POV** . . . Aku lega karena hari ini aku bisa berbicara banyak hal dengan Yunki. Kami sering melakukannya dulu, saling menceritakan masalah kami satu sama lain. Pada akhirnya aku mengakui jika pernah menyukainya, dia juga mengakui jika juga menyukaiku. Aku merasa kami ini sama-sama bodoh, aku merasa paling mengenalnya dan mengetahui semua tentang Yunki. Nyatanya, aku sama sekali tak mengetahui jika ia menyukaiku, bodohnya aku. Waktu itu aku membela Yoongu oppa? Aku hanya melerai dan berbicara dengannya. Saat aku kembali Yunki sudah tak ada di sana. Mereka bertengkar karena Yoongu oppa, selalu memakai barang-barangnya. Aku ingin berbicara sebelum berbicara dengan Yunki dan sama sekali tak memikirkan jika ia akan cemburu seperti itu. Ia memegang kepalaku dan kembali mengarahkan ke bahunya. Aku menurutinya dan memejamkan mataku. Aku terus terpejam. Tapi .., aku sama sekali tidak bisa tidur. Jantungku berdetak sangat cepat. Omo!! Aku merasakan ia mengecup tanganku, pasti ia mengira aku sudah tertidur. "Saranghae," Aku bermimpi? Mama! Apa yang harus aku lakukan? Aish!! Aku akan bersikap biasa saja besok pagi. Tapi, pasti ia akan mengetahuinya, sungguh aku tak mengerti dengan apa yang dilakukan Yunki. Apa itu benar pernyataan cinta? jantungku berlari sangat cepat. Yunki yaa ... Apa yang kau lakukan? Aku tak bisa menyukaimu, kita tak bisa bersama. Kau terlalu tinggi untuk ku gapai. Lagipula, aku juga belum bisa menjauhkan hatiku dari Danish. Aku terus terpejam, mungkin orang lain bilang jika kau memejamkan matamu akan tertidur. Tapi ... Aku tak bisa tertidur meskipun sudah cukup lama memejamkan mata seraya menunggunya tertidur. . . . Sudah cukup lama, bukankah seharusnya ia sudah terbiasa? Aku kemudian membuka mataku. Nafasnya akan menjadi lebih berat jika ia tertidur. Aku mencoba bangun. Mengubah posisi kepalaku dan berusaha berjalan pergi. Ia menahan dengan memegang kaus yang ku kenakan. Aku kembali duduk di sisinya. Menatap sahabat kecilku yang masih terpejam. "Tidur," ucapnya tegas tanpa membuka mata. . . . Aku terbangun saat ponsel berdering, segera ku angkat. "Yeoboseyo, assalamuallaikum kak?" "Waalaikumsalam. Via? Apa kabar?" "Kak, kakak di Korea?" "Iya," jawabku singkat sambil membenarkan selimut Yunki yang masih terlelap. "Kok nggak bilang, aku malah tau dari Dwi?" "Ah! Aku lupa kamu kuliah di sini kan? Besok bisa ketemu?" "Aish! Kakak gimana sih? Besok bisa kak." "He,em oke. Nanti kakak kabarin lagi." "He,em oke. Assalamuallaikum aku mau otw kampus nih kak." "Waalaikumsalam," Segera setelah itu, aku berjalan ke dapur untuk memasak sarapan untuk kami berdua. Aku hanya memasak nasi goreng dan omelette. "Kau sudah bangun?" tanya Yunki yang terlihat masih kesulitan membuka matanya. "Tidurlah di kamarku, tubuhmu pasti terasa sakit karena tidur di sofa semalaman." Yunki tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja." Aku berjalan menuju Yunki kemudian berjalan seraya mendorong ke kamarku. "Tidurlah," ucapku setelah kami sampai di kamar. "Aish, aku merasa kita seperti pengantin baru," ucapnya dengan lelehan yang menyebalkan. "Yak! Jangan bicara sembarangan!" Aku tak perduli dan segera berjalan kembali ke dapur. . . . . Aku sudah menyelesaikan masakanku setelahnya, aku duduk kembali di ruang tengah sambil mempelajari buku yang berisi tentang serat kain yang di pakai perusahaan. Saat itu ponsel yang berada di dekat cangkir kopiku berdering. "Danish?" Aku mengangkat panggilan video darinya. Aku melihatnya duduk, aku tau ia berada di kamarnya. "Hai," sapanya sambil tersenyum menatapku. "Hai," jawabku canggung. Kami terdiam setelah saling menyapa. Ia menatap dengan tatapan yang selalu bisa membuatku berdebar, sementara aku terdiam sambil mengaduk kopiku. Aku gugup? Tidak juga aku hanya tak siap jika harus berbicara banyak dengannya. "Yaa," sapaannya membuatku menoleh dan menatap Danish, ia tersenyum simpul." Aku kangen kamu." Aku hanya tersenyum sekilas. Entah apa yang kurasakan, aku juga rindu. Tapi ... Tak bisa ku ungkapkan tak lagi kurasa yang bisa membuat kami kembali bersama. Maka aku memilih diam. Dibanding bicara seolah memberikan sebuah harapan. "Kamu mungkin nggak tau, kalo aku sering lewat depan rumah kamu tiap pulang kampus. Cuma buat liat kamu lagi ngajar. Sebulan ini, aku nggak liat kamu. Aku pikir kamu sakit, aku tanya Inne katanya ... kamu udah nggak di Indonesia." Aku hanya mengangguk sambil terus mengaduk kopiku tanpa bisa menatapnya. Ada sedikit perasaan sesak di dadaku. "Ya ... liat aku, aku sengaja vicall cuma mau liat kamu." Aku menatapnya, melihat raut wajahnya yang berubah dan tersenyum. "Aku ... masih sayang kamu ya." Deg! Semalam Yunki, sekarang Danish ada apa dengan kedua orang ini? "Udahan ya," ujarku. "Tunggu!" "Apa lagi?" "Jawab dulu." "Buat aku kita udah nggak ada apa-apa Dan!" ucapku kesal. "Alasan kamu mutusin aku tu aneh, kamu tau nggak? cinta itu terkadang bukan hal yang terus harus di pikirin, tapi dijalanin. Kalo terus di pikirin kamu bakal punya 1000 alasan buat putus." Aku segera mematikan panggilan video dari Danish. Sungguh seharusnya aku tak menerimanya. Aku menelungkupkan kepalaku ke meja makan, perasaanku sakit tiap kali Danish menghubungiku. Alasan aku putus dengan Danish mengingatkanku bahwa aku juga tidak boleh menyukai Yunki, aku dan Danish berbeda agama. Aku memang bukan muslimah baik, yang bahkan bisa dengan enteng membiarkan rambutku terlihat Yoongi. Tapi, untuk menjalani hubungan itu benar-benar jadi beban pikiranku karena aku terus saja di tanya. Kira-kira apa Danish mungkin merubah agamanya? Apa aku akan terus bertahan dalam perbedaan? Apa aku akan terus melanjutkan hubungan sampai kami menikah? Bagaimana, kalau nanti aku dan Danish pacaran lama tapi diantara kami tidak mau saling mengalah? Bukan cuma itu, aku juga terpaksa merahasiakan hubungan kami karena Mama dan Papa yang nggak akan merestui hubungan kami. Kenapa aku harus angkat panggilannya tadi? *** .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN