Empat Belas

1367 Kata
Enzi menghabiskan malam dengan menonton televisi di rumah mewahnya di kawasan elit Jakarta, rumah ini peninggalan dari kakeknya yang merupakan pemilik rumah sakit swasta terbesar. Sang kakek jelas mewariskan seluruh kekayaannya kepada Enzi yang merupakan cucu satu-satunya. Termasuk rumah sakit, sehingga sejak mendiang kakek meninggal dia lebih sering bolak balik Singapura – Indonesia untuk mengurus rumah sakit juga. Sore tadi dia bermain golf bersama para rekan bisnisnya dan lepas maghrib dia sudah di rumah, beberapa temannya menghubungi meminta dia berkumpul di club namun Enzi merasa sangat malas, entah mengapa? “Hello sweety, how are you!!” ujar seorang wanita yang baru saja memasuki ruang televisinya. Enzi mendengus melihat wanita itu. Dia bernama Cherry, sepupu Enzi dari sang ayah. Ayahnya yang merupakan warga negara Indonesia menikah dengan ibunya yang merupakan warga Singapura sehingga dia mewariskan mata sipit sang ibu. Dia bahkan mengoperasi kelopak matanya agar terlihat lebih besar, namun tetap saja di mata Enzi dia terlihat tak pernah berubah sejak dulu. Mereka se-usia. Sejak sekolah dasar mereka bahkan selalu satu sekolah, hingga ketika sekolah menengah awal, Cherry ikut orang tuanya yang memutuskan pindah ke Perancis untuk mengembangkan bisnis mereka. Sejak itu Cherry seolah memiliki tujuan hidupnya selain mengganggu Enzi setiap hari, yaitu menjadi designer. Dan dia berhasil melakukannya. Namanya cukup terkenal sebagai designer handal, dia bahkan mempunyai brand tersendiri. Tentu keuangan orang tuanya yang mampu menyokongnya. “Mau apa?” sungut Enzi, entah mengapa melihat Cherry selalu membuat moodnya turun. Lihatlah pakaiannya yang aneh, mungkin cocok jika dia sedang berada di atas catwalk, tapi ini ... Indonesia! Rumah pribadi! Dia mengenakan gaun sepaha motif hyena, dengan mantel bulu berwarna ungu tua yang entah dibuat dari bulu apa? Rambutnya yang di sanggul ke atas seolah dia ingin menghadiri pesta. Apa dia tidak takut ruam memakai mantel tebal itu? “Ketemu kamu sweety,” ucap Cherry sambil duduk di samping Enzi, melepas mantelnya dan meletakkan di sandaran sofa. Dia tak mau asisten rumah tangga Enzi memegang mantel itu karena khawatir merusaknya. Cherry memang terbiasa mengucap bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris. Dulu bahasa indonesianya sangat berantakan karena kedua orangtuanya menggunakan bahasa Inggris sehari-hari, namun dia mencoba mempelajarinya agar bisa bergaul dengan Enzi. Meski diganggu hampir setiap hari, Enzi tak pernah marah yang sesungguhnya kepada Cherry, karena pesan sang ayah, yang mengatakan biar bagaimanapun Cherry adalah wanita dan keponakannya. Jika memang Enzi marah kepadanya terserah, namun jangan pernah bermain tangan dengannya. Itu adalah pesan yang selalu Enzi ingat. Karena untuk pertama kalinya sang ayah berbicara cukup panjang dengannya. “Bisa nggak sih kamu pakai pakaian yang biasa gitu? Yang normal!” cebik Enzi. “Why honey?” tanya Cherry, yang kini kembali berdiri, gaun sepahanya memang bagus namun Enzi tak suka melihatnya. Bagian atasnya terlalu terbuka dan gaun itu sangat pendek, juga motifnya yang membuat mata Enzi sakit. Wanita itu bahkan sudah berputar di depan Enzi untuk mencari perhatiannya. “Duduk! Merusak pemandangan! Tubuh rata aja sok mau pamer!” sungut Enzi sambil menarik tangan Cherry dan menghempaskannya ke kursi, dia pun mengganti channel televisi. Memang tubuh Cherry tidak montok, namun semuanya justru terlihat pas. “Aku sedang berpikir untuk operasi payuudara dan bokoong, menurut kamu bagaimana?” “Jangan!” “Why?” ucapnya dengan nada di panjangkan seolah mengatakan whaaaaaaiiiii. “Kamu mau jadi objek seksuall dari pria pria?” “Kamu jealous sweety?” tanya Cherrry sambil tersenyum manis yang justru membuat Enzi muak. “Mimpi! Sudah diam jangan berisik aku mau lihat berita!” ketus Enzi, Cherry pun melihat ke arah televisi yang menampilkan siaran berita berbahasa Turki. “Kamu bisa bahasa Turki?” tanya Cherry yang mendapat pelototan tajam dari Enzi. “Oke fine, aku silent,” ucap Cherry sambil mendengus. Enzi menggeleng dan tetap menonton saluran berita itu meski dia tak mengerti artinya. Bisa-bisanya dia menghentikan perpindahan channel di saluran Turki. Namun dia terlalu malu jika menggantinya, gadis itu akan puas menertawainya nanti. *** “Iya Rin, sudah malam kamu langsung pulang saja, terima kasih ya,” ucap Ravin yang sedang menelepon Karin, rekan kerjanya. Karin memang wanita yang sangat bertanggung jawab, sejak mengenalnya di perusahaan Zephyr corp, Ravin selalu puas dengan kerjanya yang cekatan. Dia juga pandai dan ramah. Saat ini dia bahkan berada di perusahaan pembuat id card, mengambil id card karyawan untuk dibagikan esok kepada karyawan baru. Ada beberapa kendala saat pencetakan kartu identitas itu sehingga Karin meluangkan waktunya di hari libur ini untuk mengecek langsung dan membawanya pulang. “Sudah malam, masih kerja aja?” tutur Triana seraya mendorong pintu kamar sang anak, membawakannya teh hangat dengan cemilan. Melihat pintu kamar Ravin yang terbuka setengah membuatnya memastikan bahwa putranya tidak sedang melakukan hal pribadi sehingga dia bisa masuk. Memang di rumah ini ada etika ketika masuk kamar harus mengetuk terlebih dahulu jika pintunya tertutup. “Iya, Bun. Mau memastikan besok semuanya berjalan dengan lancar.”  Ravin menoleh ke arah sang ibu yang kini mengusap rambutnya, sementara tangan sebelah sang ibu meletakkan baki kecil yang berisi teh hangat dengan cemilan itu di meja kerja Ravin yang telah terbuka laptop di hadapannya. “Kamu selalu seperti itu, totalitas jika melakukan sesuatu, bunda bangga banget sama kamu,” ucap Triana, memijat bahu Ravin membuat Ravin tertawa dan memegang kedua tangan bundanya lalu mengecupnya. “Aku juga bangga jadi anak bunda, bunda selalu melimpahi aku dengan kasih sayang, membuatkan aku makanan enak setiap hari, kalau menikah nanti, aku mau punya istri seperti bunda,” ucap Ravin. Triana tersenyum lebar dan mengangguk. “Tapi, bunda hanya satu – satunya di dunia ini, sepertinya akan sulit,” ucap Triana membuat keduanya tertawa. “Iya deh Bunda the one and only, termasuk di hati aku,” ucap Ravin. Triana melepas satu tangannya, mengambil sebuah kertas dari saku bajunya lalu menyerahkan ke Ravin. “Ini apa Bun?” tanya Ravin. “Ini alamat rumah orang tua kamu yang lama, barangkali kamu mau melihat rumah itu, kabarnya sampai saat ini belum ada yang menghuninya meskipun rumah itu tampak terawat dan rapih,” ucap Triana yang tak dapat menyembunyikan bulir bening yang menggenang di matanya. “Bun ... ,” desah Ravin. “Nggak apa-apa sayang, bunda nggak apa-apa. Bunda hanya mau kamu tahu saja ... kamu berhak tahu, makanya kemarin ayah dan bunda memastikan apakah alamat itu benar karena sudah sangat lama kami memiliki alamat itu namun belum pernah mengunjunginya, kami takut alamat itu salah, namun mendengar dari kepala RT di sana, katanya itu memang benar rumah peninggalan Bagas, ayah kamu,” ucap Triana. Ravin memutar kursinya lalu meletakkan kertas berisi alamat itu di meja, dan memegang kedua tangan bundanya. “Terima kasih ya Bun, aku bersyukur banget menjadi anak Bunda, bunda perlu tahu itu,” ucap Ravin. Triana mengangguk dia tak bisa berlama-lama di sana atau dia bisa menangis dan sulit menghentikannya. “Lanjutkan kerjanya, jangan tidur terlalu larut ya,” ucap Triana. Ravin melepas tangan sang ibu dan mengangguk. Lalu Triana keluar dari kamar Ravin, menutup pintu kamar sang putra  dan bersandar di pintu itu seraya memegang daadanya yang sakit, dia kembali menangis hingga sang suami yang tak sengaja melihatnya itu menghampirinya dan meletakkan jari telunjuk di bibir meminta sang istri tak bersuara khawatir, Ravin mendengar tangisannya. Dia memapah tubuh sang istri menuju kamar mereka. Lalu memeluknya sambil duduk di ranjang. “Kenapa Bun?” tanya sang suami setelah tangis Triana mulai reda. “Daada bunda sakit Yah, bunda selalu takut Ravin meninggalkan kita,” ucap Triana menyeka air matanya. “Hei bunda, istri ayah yang cantik,” panggil Bachtiar, seraya merapikan anak rambut sang istri. “Ravin sudah dewasa bunda, suatu saat dia pasti akan meninggalkan kita untuk membina rumah tangganya sendiri. Namun bunda harus percaya bahwa kita selalu ada di hati dan doanya, jadi jangan takut ya, meskipun darah kita nggak mengalir di dalam tubuhnya, namun dia tetap anak kita. Dan tak akan ada yang mengubah itu,” ucap Bachtiar. Triana mengangguk meski air mata tak henti menetes dari matanya. Sesakit itukah rasa sayangnya kepada putra semata wayangnya. Rasa sakit yang sangat sulit dijelaskan. ***  note : hai gaess ... jika kalian melihat tulisan aku yang menambah huruf konsonan dan vokal dalam setiap kata, percayalah aku tidak 100% typo karena aku menghindari taburan bintang di dalam ceritaku hehe mohon dimengerti yaa ^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN