Tiga Belas

1604 Kata
Karena hari ini merupakan hari spesial bagi orang tua Angel yang sedang merayakan anniversary pernikahan mereka ke tiga puluh tahun. Sehingga Angel dan kakak perempuannya, yang bernama Vina pun memasak banyak makanan. Vina sudah menikah sejak lima tahun lalu dengan suami yang ditemui di tempat kerjanya dulu. Namun setelah menikah, Vina diboyong suaminya ke rumah mereka yang terletak di luar kota, butuh waktu sekitar tiga jam berkendara untuk sampai ke rumah ibunya. Itu sebabnya dia tak bisa sering menemui sang ibu, terlebih dia mempunyai anak yang masih kecil sehingga akan cukup merepotkan. Semua hidangan sudah tersaji di meja makan, terlampau banyak hingga hampir memenuhinya. Sang ibu memangku putri Vina yang berusia tiga tahun. Sementara ayahnya berbincang dengan suami Vina. Suami Vina cukup tinggi, namun tubuhnya berisi sehingga membuatnya terlihat besar. “Putri bapak masakannya selalu enak, lihat nih perut menantu bapak jadi membuncit, badannya melebar,” sungut Dedi, suami Vina. “Kamu Mas yang nggak bisa kontrol makanan, masa Pak aku masak sehari bisa dua sampai tiga kali karena dia habisin lauk,” adu Vina kepada ayahnya. Sang ayah hanya tertawa melihat kelakuan putri pertama dan menantunya. “Olah raga, Mas, kayak orang hamil!” kali ini Angel yang meledek kakak iparnya karena memang Dedi orang yang ramah sehingga mereka tak pernah canggung satu sama lain. “Udah dong, setiap malam,” ucap Dedi membuat Vina menendang kakinya dari bawah meja. Ibu dan ayah saling lirik dan tersenyum. Angel mengerutkan keningnya, tak mengerti mengapa mereka semua tampak tertawa? “Kenapa sih?” tanya Angel penasaran. “Olah raga malam, maksudnya main badminton, main bulu tangkis, kayak itu Gel,” ralat Dedi. “Padahal sama aja badminton dan bulu tangkis,” ucap Angel, namun sedetik kemudian dia seolah paham jenis olah raga malam yang tadi tersirat dari ucapan kakak iparnya. Membuat Angel mendengus. “Dasar otak messsuuum!” cebik Angel, barulah tawa keluarganya pecah membuat Angel menggeleng sebal. “Gel, ini makanannya terlalu banyak, coba panggil Darren, ajak makan di sini,” pinta sang ibu. “Iya, ajak dia. Kalian kan besok hari pertama kerja di tempat baru harus banyak tenaga, jadi harus banyak makan, malam ini,” ucap sang ibu. Angel menoleh ke arah Vina sang kakak, bermaksud menanyakan apakah kakak dan kakak iparnya tidak keberatan jika ada orang asing yang ikut makan di acara keluarga ini. “Panggil Gel, nanti keburu dingin makanannya,” ucap Vina yang sudah menginap sejak malam kemarin demi bisa menyiapkan acara sederhana untuk orang tuanya ini. “Nggak apa-apa nih?” “Iya nggak apa-apa, panggil sana calon suami kamu,” goda Dedi membuat Angel memanyunkan bibirnya. “Mas Dedi nih!” sungut Angel sambil beranjak, kedua orang tuanya hanya saling tatap dan tersenyum penuh arti. Angel pun menuju kamar kost Darren, melihat ada sandal di depan pintu membuatnya yakin pasti Darren ada di dalam. Dia pun mengetuk pintu kamar Darren dan terdengar suara dari dalam sana yang memintanya menunggu. Darren membuka pintu kamar itu dan tersenyum melihat Angel yang sudah berdiri di depan kamarnya. “Mas lagi apa?” tanya Angel. “Nyetrika baju untuk besok,” ucap Darren, membuka lebar pintunya dan memperlihatkan bajunya yang sedang di setrika, hanya kemeja putih yang dikenakan saat interview dan juga celana bahan. Angel tersenyum getir, sebenarnya dia sangat ingin belanja dengan Darren, membelikan setidaknya sepasang pakaian yang lebih bagus untuk kerja. Namun dia tahu Darren pasti akan menolak pemberiannya. Bahkan ketika mereka membeli sepatu di toko pun ketika Angel ingin membayarinya, Darren menolak tegas dan berkata dia akan sangat kecewa jika Angel membelikannya. Dia tentu masih menjaga sisa harga dirinya. “Ada apa?” tanya Darren. Angel merasa seolah deja vu, yaa minggu lalu ketika dia pulang dari bermain bersama temannya, dia pun sempat melirik kamar Darren yang terbuka, Darren sedang menyetrika baju yang sama. Padahal saat interview kedua, para calon karyawan bebas mengenakan pakaian yang membuat mereka nyaman. Membuat Angel semakin khawatir apakah memang Darren hanya memiliki itu sebagai pakaian terbaiknya? Angel sampai mengadu kepada Vina untuk meminta solusi, namun Vina tak bisa menjawabnya saat itu karena dia juga bingung. Darren tentu menolak jika menerima pemberian Angel. “Mas diajak makan malam sama bapak dan ibu,” ucap Angel. “Lho bukannya ada Vina dan mas Dedi?” tanya Darren. Bisa dibilang usia Vina dan Darren sepantar. “Iya makanya diajak makan bareng, aku sama mbak Vina masak banyak, takut mubazir. Ayo mas, nanti keburu dingin makanannya. Matikan dulu setrikanya,” ucap Angel. Darren mengangguk dengan canggung, mencabut colokan setrika dan keluar dari kamarnya. Berjalan di belakang Angel yang langsung mengajaknya menuju ruang makan. “Mas,” sapa Darren. Memang beberapa kali pernah bertemu dengan Dedi. “Ayo sini, makan bareng,” ucap Dedi seraya tersenyum ramah. “Duduk Ren,” tutur ayah Vina. Darren pun mengambil duduk di samping Vina, dan juga di sebelah Dedi, kebetulan meja itu melingkar. Sehingga semakin terasa kedekatannya. Anak Vina memilih turun dari pangkuan sang nenek lalu bermain boneka di bawah, sementara kedua orang tuanya ikut makan namun tak lepas memperhatikannya. “Jadi kamu jadi bagian apa di kantor itu?” tanya Dedi kepada Darren. “Saya tim dari asisten pak Enzi, Mas,” jawab Darren. “Wah berarti kalian berdua termasuk orang terdekatnya ya?” ujar Dedi. Angel yang sedang menyendok nasi itu mengangguk saja, sementara Darren mengiyakan. “Ayo berdoa bersama dulu, baru lanjutin ngobrolnya,” ucap ibu Angel yang disetujui mereka. Ayah Angel memimpin doa malam ini, termasuk doa untuk kelancaran pekerjaan Angel, Darren dan juga Dedi. Setelah makan malam yang terasa hangat dan nyaman, yang bahkan tak pernah dibayangkan Darren sama sekali. Terlebih menu makan malam itu sangat nikmat dan berlimpah ruah. Darren hampir lupa kapan terakhir kali dia makan sampai kekenyangan? Karena perutnya benar-benar terisi penuh. Ibu Angel terus meletakkan lauk di piringnya, sehingga mau tidak mau dia menghabiskannya. “Besok ibu buatkan bekal untuk kalian kerja ya,” ucap ibu Angel, sementara Angel dan Vina bergantian memindahkan piring-piring itu ke dapur. “Ibu, aku nggak mau ah, masa hari pertama kerja sudah bawa bekal sih?” sungut Angel dari arah dapur. “Iya bu, hari pertama kerja justru biasanya untuk perkenalan dengan teman baru, mencari tempat makan yang nyaman di sana, kalau bawa bekal justru nanti akan susah sosialisasi di hari selanjutnya,” imbuh Vina sambil berjalan menghampiri sang ibu. Lalu Angel memeluk leher ibunya dari belakang, “hari berikutnya, baru deh ibu buatin aku sama mas Darren bekal. Ya Mas?” ucap Angel seraya mengedipkan mata ke Darren yang justru terasa terpanah, lalu Angel mengecup pipi sang ibu. Entah mengapa membuat Darren menunduk sedih, dia bahkan tak pernah mengenal sosok ibunya, satu-satunya foto orang tuanya itu adalah foto pernikahan mereka yang disimpan oleh Bagus dan diberikan ke Darren ketika Darren mulai sering meminta pakdenya menceritakan tentang masa kecil sang ayah. “Ren, aku dan mas mau bicara, ke depan yuk,” ucap Vina seraya menyentuh bahu Darren. “Saya ke depan dulu, Bu, Pak, terima kasih banyak makan malamnya semoga sehat selalu,” ucap Darren. “Iya nak Darren, sama-sama, jangan sungkan sama kami ya, rumah kami selalu terbuka untuk kamu,” ucap ayah Angel yang di setujui istrinya. Darren mengekor Vina yang mengamit tangan suaminya yang kini menggendong anak mereka, tinggi Darren dan Dedi hampir sama, hanya tubuhnya saja yang berbeda, Darren jauh lebih kurus atau Dedi yang memang kian membengkak. Mereka menuju bagasi mobil dan sang suami kini membuka bagasi itu. Tampak beberapa paper bag berukuran besar juga sebuah kardus. “Sebenarnya aku takut tersinggung ngomong ini, tapi ... hmm bagaimana ya?” ucap Vina tak enak hati, memberik kode kepada suaminya namun sang suami justru menyuruhnya meneruskan ucapannya. “Nggak apa-apa Vin, cerita saja,” ucap Darren. Sebenarnya sebelum Vina menikah, Darren cukup mengenal baik Vina sehingga mereka terlihat seperti seorang teman. “Hmm, jadi kamu lihat sendiri kan tubuh Mas Dedi sudah membengkak seperti sapi gelonggongan,” kekeh Vina yang justru ingin tertawa mengucapkannya. “Mah ... ,” sungut Dedi sambil memonyongkan bibirnya sebal. “Hahaha, sorry,” ucap Vina, Darren sampai ikut tertawa dibuatnya. “Nah mas Dedi punya banyak baju yang kekecilan, bahkan sebagian baju kerjanya masih baru, hanya dilepas label saja untuk prewash, kira-kira kamu mau nggak ya nerimanya? Aku yakin kamu muat memakai pakaiannya, masih bagus-bagus dan layak pakai kok,” imbuh Vina. Darren melihat ke arah Dedi yang sudah mengangguk. “Kami sudah memilah yang terbaik diantara yang lain, maaf ya Ren jangan tersinggung, kami berpikir akan sangat baik jika kamu menerimanya jadi tidak mubazir, oiya di dalam sini juga ada tas punggung masih baru, aku beli laptop bulan lalu dan dapat hadiah tas. Tapi karena aku sudah punya yang sama, jadi tasnya untuk kamu saja,” ucap Dedi, menunjuk ke satu kardus. “Memangnya nggak apa-apa kalau aku terima? Jujur aku sangat senang Vin, Mas Dedi ... aku memang kepikiran mau cari baju second di pasar nanti setelah gaji terakhir aku turun,” ucap Darren dengan mata berbinar. “Ren, jika butuh sesuatu kamu bicara sama kami, kami akan usahakan membantu kamu. Kamu sudah seperti keluarga bagi kami, selama kami tinggal di luar kota juga kamu banyak membantu dan menjaga ibu dan bapak, mengantar mereka ke dokter dan kemanapun, jadi jangan pernah sungkan. Kamu masih menyimpan nomor aku kan?” ucap Dedi. “Masih kok, Mas. Terima kasih banyak ya, aku terima pemberiannya,” ucap Darren. Dedi dan Vina pun tersenyum senang, dan juga lega sekaligus karena Darren mau menerima pemberian dari mereka, yang tanpa Darren ketahui bahwa Angel dan mereka menambahkan beberapa setelan baju baru dan melepas labelnya agar Darren tidak curiga. Sebagai hadiah untuk Darren yang telah baik kepada mereka. ***      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN