16. Another Disappearance

2356 Kata
Satu hari menuju hari pernikahan Sierra dan Hansel. Sejak pagi, tamu-tamu undangan mulai berdatangan dan menempati kamar masing-masing yang ada di resort yang telah disewa oleh keluarga calon pengantin. Meskipun sebenarnya Sierra sudah diharuskan untuk tidak melakukan apa-apa hari ini agar esok hari dirinya tetap fit, namun perempuan itu justru sibuk menyambut tamu-tamunya satu per satu. Jadilah pagi ini Lanitra ditinggalkan oleh Sierra ketika matahari bahkan belum terbit. Dan hingga siang hari ini, Lanitra belum lagi bertemu dengan Sierra.   Lanitra pun bersyukur Sierra sedang sibuk sehingga dirinya tidak akan tahu bahwa saat ini pikiran Lanitra sedang kacau. Sejak kemarin, Langit tidak memberi kabar dan tidak bisa pula dihubungi. Lanitra khawatir bukan main, bahkan semalam ia tidak bisa tidur sama sekali, bahkan semenit pun tidak bisa. Ia hanya pura-pura tidur di hadapan Sierra, semata agar temannya itu tidak curiga. Sama seperti sebelumnya, Lanitra tidak ingin membuat Sierra khawatir dengan masalahnya. Terlebih lagi besok adalah hari pernikahan perempuan itu.    Entah sudah berapa banyak panggilan telepon yang telah dilakukan oleh Lanitra serta pesan yang telah dikirimkannya kepada Langit jelas kemarin, namun semua pesan dan telepon tersebut berakhir nihil. Padahal, kurang dari satu jam lagi adalah waktu penerbangan Langit menuju Bali.     Pikiran buruk pun sudah memenuhi pikiran Lanitra. Kekhawatiran Lanitra kali ini pun semakin bertambah dibandingkan hilangnya Langit waktu itu. Karena Langit jelas tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama lagi. Langit pun sudah berjanji tidak akan lagi menghilang seperti waktu itu. Jadi, jika sampai is menghilang begini, pasti sesuatu di luar kuasanya sedang terjadi. Lanitra takut apa yang terjadi berhubungan dengan sakit kepalanya tempo hari.   Bagaimana kalau sakit kepalanya kambuh dan Langit sampai pingsan? Bagaimana jika sakit kepala tersebut menyebabkannya kecelakaan? Pikiran semacam itu terus memenuhi kepala Lanitra seiring dengan detik demi detik berlalu.   Lanitra benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa karena sekarang mereka sedang terpisah pulau, sehingga dirinya tidak bisa langsung mendatangi tempat tinggal Langit atau mencarinya ke Cielo Cafe. Lanitra pun mencoba menghubungi Rhea sebagai satu-satunya karyawan Cielo Cafe yang kontaknya ia simpan. Namun, Rhea juga tidak bisa dihubungi sejak pagi tadi sehingga Lanitra benar-benar tidak tahu harus menghubungi siapa lagi.    Sekarang dirinya sedang dalam perjalanan menuju bandar udara I Gusti Ngurah Rai. Sesuai dengan perkataan Sierra semalam, ia meminjamkan mobil yang seharusnya digunakan Lanitra untuk menjemput Langit di bandara. Akan tetapi, siang ini Lanitra menuju sana bukan untuk menjemput Langit, melainkan karena dirinya berharap Langit akan tetap muncul disana dan pada akhirnya berkata kalau dirinya menghilang hanya untuk memberi kejutan pada Lanitra. Apapun itu alasannya, Lanitra akan menerima. Yang penting Langit menunjukkan batang hidungnya.   Jujur saja, Lanitra bukanlah seseorang yang agamis. Ia bahkan jarang sekali beribadah dan berdoa. Namun, di sepanjang perjalanannya menuju bandara, Lanitra terus merapalkan doa.    Semoga Langit tetap datang. Semoga Langit baik-baik saja. Semoga.   ***   Sesampainya di bandara, Lanitra segera berlari menuju arrival gate. Ia bahkan sempat hampir terjatuh karena menabrak orang ketika berlari dengan cepat dari parkiran mobil. Dan ketika dirinya sudah sampai di arrival gate, masih ada waktu sekitar dua puluh menit lagi sebelum pesawat yang seharusnya dinaiki oleh Langit melakukan landing.    Waktu dua puluh menit itu pun digunakan Lanitra untuk menghubungi nomor Rhea dan Langit secara bergantian. Tangan Lanitra bahkan sampai gemetaran saat memegang ponsel karena panggilan yang dilakukannya ke dua nomor itu tak kunjung mendapat jawaban.    Ketika pada akhirnya ia mendengar pengumuman tentang pesawat dari Jakarta yang baru saja tiba, jantung Lanitra berdetak kencang seiring dengan matanya fokus mencari orang-orang yang perlahan mulai keluar satu per satu dari arrival gate tersebut.    Please...please be there...   Lanitra terus memohon di dalam hati. Hanya saja, wajah Langit tak kunjung dilihatnya. Ia justru melihat Alvaro keluar dari sana sambil menggeret sebuah koper. Dan Alvaro datang bersama beberapa wajah familiar yang merupakan rekan kerja mereka di kantor penerbit.   Begitu melihat Lanitra, Alvaro pun spontan tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Namun, senyum itu perlahan memudar begitu Lanitra menghampirinya dengan napas terengah dan keringat membasahi wajahnya.   "Lani, kamu ken—"   Lanitra memotong ucapan Alvaro dengan menarik laki-laki itu menjauh dari rombongan rekan kerja mereka karena tidak ingin menarik perhatian.   Alvaro hanya menurut.   Begitu keduanya sudah menjauh, Lanitra segera mengajukan sebuah pertanyaan, "Langit nggak ada di pesawat?"   Alvaro spontan mengerutkan kening. "Emang kita satu flight?" Tanyanya bingung. "Aku pikir dia flight pagi atau malem, karena dia nggak ada di pesawat yang sama kayak aku dan yang lain."   Jawaban dari Alvaro sukses membuat Lanitra terduduk lemas. Alvaro jelas khawatir dan segera berjongkok di hadapan Lanitra. Laki-laki itu bertanya ada apa, namun pertanyaan tersebut tidak dihiraukan Lanitra sama sekali.   Pikiran Lanitra hanya fokus pada satu hal; Langit tidak datang.   Dan pikiran itu pun membuat tangis Lanitra pecah. Untuk yang pertama kalinya, Lanitra menangis karena Langit Dawana.   ***   Sebenarnya, Lanitra dan Langit sudah memiliki rencana tentang kunjungan mereka ke Bali. Keduanya tidak hanya ingin menghadiri acara pernikahan Sierra, tapi juga berencana untuk tinggal beberapa hari lebih lama guna menghabiskan waktu berlibur. Seharusnya, Bali akan menjadi destinasi liburan bersama mereka yang pertama. Mereka pun sudah merencanakan kemana saja akan pergi. Beberapa destinasi wisata di Uluwatu, Ubud, hingga Nusa Dua sudah masuk ke dalam daftar tempat yang akan mereka kunjungi setelah rangkaian acara pernikahan Sierra selesai.   Lanitra pun sudah membayangkan bahwa liburannya bersama Langit di Bali akan berakhir menyenangkan dan tak terlupakan. Sayangnya, semua bayangan tersebut hancur karena Langit yang tiba-tiba menghilang. Langit tidak datang sesuai dengan janjinya.   Saat ini, yang duduk di balik roda kemudi mobil yang dipinjamkan oleh Sierra bukan lah Langit, melainkan Alvaro. Dan rasa senang yang sebelumnya dinantikan Lanitra saat menjemput Langit justru tidak terasa karena digantikan oleh rasa sedih bercampur khawatir akibat absennya laki-laki itu.   Lanitra sudah tidak menangis lagi karena Alvaro telah menenangkannya. Saat melihat Lanitra menangis tadi, laki-laki itu segera membawa Lanitra ke dalam mobil dan pelan-pelan menyuruh Lanitra untuk menjelaskan situasi yang sedang terjadi. Mau tidak mau, Lanitra pun menjelaskan semuanya. Tentang Langit yang sejak kemarin tidak memberi kabar, Langit yang tidak datang, hingga tentang sakit kepala Langit minggu lalu yang ditakutkan Lanitra memiliki sangkut paut terhadap hilangnya Langit saat ini.   Alvaro pun menenangkan Lanitra, mencoba menjernihkan pikirannya, sebelum mereka berusaha untuk mencaritahu kabar tentang Langit nanti. Lanitra hanya menurut dan membiarkan Alvaro membawanya pergi dari bandara, entah kemana. Yang pasti, Lanitra tidak ingin pulang dulu ke resort dan bertemu Sierra. Karena jika Sierra melihatnya dengan kondisi sekarang, perempuan itu pasti akan langsung khawatir. Lanitra tidak ingin Sierra khawatir padanya tepat sehari sebelum hari bahagianya.   Di sepanjang perjalanan, Lanitra tidak bicara apa-apa. Ia hanya menyandarkan kepala pada jendela mobil dan melamun. Alvaro pun memilih diam karena tahu saat ini Lanitra sedang tidak ingin berinteraksi sama sekali. Ia baru bicara ketika mobil yang mereka naiki sampai di pelataran parkir sebuah restoran.    "Lanitra," panggil Alvaro lembut.   Lanitra menoleh, menatap Alvaro dan sepasang matanya yang terlihat sedih.   "Mau turun dulu atau mau coba hubungi Rhea lagi sekarang?"   Lanitra menyerahkan ponselnya yang sudah menampilkan kontak Rhea pada Alvaro. Ia tidak sanggup jika harus melakukan panggilan itu lagi, takut kalau dirinya akan semakin kacau jika panggilan yang dilakukannya akan kembali berakhir tidak terjawab.   Alvaro meraih ponsel Lanitra dan segera menghubungi kontak Rhea. Pada percobaan pertama, panggilan tersebut tidak dijawab. Begitu pula dengan panggilan kedua dan ketiga, hasilnya sama saja. Menyadari percobaan Alvaro yang tidak membuahkan hasil, airmata Lanitra kembali menetes.   "Jangan nangis lagi, please?" Pinta Alvaro yang menyadari airmata yang mulai menjatuhi pipi Lanitra. "It's gonna be alright. Jangan khawatir."   Lanitra menggelengkan kepala. Tidak percaya pada ucapan Alvaro. Karena jika semuanya baik-baik saja, Langit tidak akan menghilang secara tiba-tiba seperti ini.    "Lanitra, kamu harus tenang dulu."   "Gimana caranya aku tenang, Mas?" Lanitra kembali terisak. Ia mengalihkan wajahnya ke luar jendela, menolak menatap Alvaro ketika bergumam, "Pasti ada yang nggak beres."   Alvaro menghela napas dalam. Dirinya ikut sedih melihat Lanitra menangis seperti ini. Satu tangannya bergerak untuk menepuk-nepuk pundak Lanitra, sementara satu tangannya lagi mencoba untuk kembali menghubungi Rhea dengan ponsel Lanitra.    Di luar dugaan, kali ini panggilan tersebut diterima.   "Halo, Kak Lanitra? Ya ampun kenapa kok sampai telepon berkali-kali? Maaf banget, Kak, ponsel aku tadi ketinggalan dan ini aku baru bisa pulang untuk ambil ponsel ke rumah, soalnya lagi istirahat." Suara yang bicara dengan cepat itu menyapa telinga Alvaro sesaat setelah panggilan tersambung.   "R-rhea?" Alvaro membalas ragu.   Mendengar Alvaro bicara di telepon, Lanitra langsung menoleh dan dengan cepat merebut ponsel itu dari tangan Alvaro, lalu menempelkan benda tersebut ke telinganya sendiri.   "Halo? Rhea?"   "Iya, Kak? Kenapa? Maaf banget banget ya baru angkat telepon soalnya—"   "Kamu tahu Langit dimana? Dia ada di Cielo?" Lanitra cepat-cepat memotong ucapan Rhea.    "Mas Langit?" Rhea bertanya. "Hari ini kan Mas Langit emang nggak ke kafe. Bukannya Kak Lanitra udah tau ya?"   "Langit bilang nggak mau kemana?"   "Kemarin sih bilangnya mau ke Bali nyusul Kak Lanitra." Tubuh Lanitra seketika lemas mendengar jawaban itu. Ia sudah hendak menangis lagi, namun Rhea melanjutkan penjelasannya. "Tapi tadi pagi Mas Langit ngabarin katanya ada urusan mendadak ke luar negeri. Emangnya Kak Lanitra nggak tau? Kan Mas Langit pasti bilang karena nggak jadi ke Bali?"   Dèjá vu.   Tangan Lanitra mencengkeram erat ponselnya. Percakapan antara dirinya dan Rhea ini...pernah terjadi sebelumnya.   "Urusan apa?"   "Kurang tau sih, Kak. Tapi kayaknya urusan kelu—"   Lanitra tidak mendengar ucapan Rhea sepenuhnya karena ponsel yang semula digenggamnya dengan erat justru sudah terlepas dan jatuh ke dekat kakinya.    "Kenapa?" Alvaro spontan bertanya khawatir.   Lanitra tidak menjawab. Tidak ingin mengatakan kepada Alvaro kalau Langit kembali hilang dengan alasan yang sama seperti waktu itu.    Langit mengingkari janjinya sendiri dan berhasil mencipta sebuah kekecewaan di dalam hati Lanitra, yang jauh lebih besar daripada waktu itu.   ***   Lanitra Ellena benar-benar bisa bertransformasi menjadi seorang aktor yang handal jika sedang menyembunyikan sesuatu di depan Sierra. Di saat pikirannya sedang kacau dan hatinya sedang kalut, ia masih bisa tersenyum bahagia dan berlagak baik-baik saja demi Sierra, semata agar temannya itu tidak mengkhawatirkannya di hari pernikahannya.   Sierra sudah tahu kalau Langit tidak datang. Dan Lanitra pun beralasan kalau Langit harus terbang ke Singapura karena pamannya salah satu anggota keluarganya sedang sakit kritis. Sierra pun percaya dan menyayangkan sekali ketidakhadiran Langit. Namun ia bisa memaklumi alasannya dan menyuruh Lanitra untuk tetap bersenang-senang meskipun Langit tidak jadi datang. Lanitra mengiyakan. Sementara di dalam hati ia benar-benar merasa bersalah karena telah berbohong lagi kepada Sierra.    Hanya Alvaro satu-satunya yang tahu kalau Lanitra hanya berlagak baik-baik saja di depan semua orang. Memang Lanitra bahagia atas pernikahan Lanitra. Ia bahkan jadi yang bertepuk tangan paling meriah setelah upacara pernikahan Sierra dan Hansel tadi selesai. Namun, setelah berbahagia untuk Sierra, Lanitra tidak bisa berbahagia untuk dirinya sendiri usai acara inti dari pernikahan Sierra selesai.   Ketika semua tamu undangan sedang bercengkerama bersama, mengobrol satu sama lain, dan menikmati hidangan yang disediakan, Lanitra justru memilih untuk menarik diri dari keramaian dan menyendiri ke bagian paling sepi di lokasi acara pernikahan Sierra dan Hansel.   Acara pernikahan Sierra dan Hansel sendiri diadakan di salah satu resort di daerah Uluwatu yang terkenal memiliki sebuah wedding venue dengan berlatarkan pemandangan laut yang indah. Jadi, pemandangan di hadapan Lanitra saat ini adalah laut biru yang dihias deburan ombak menabrak bebatuan.   Seharusnya, pemandangan yang memanjakan mata di hadapannya ini bisa membuatnya tenang dan berdecak kagum. Sayang sekali, suasana hati Lanitra sedang terlalu kelabu sehingga ia sendiri tidak bisa menikmati pemandangan indah tersebut. Yang dilakukannya hanyalah menatap kosong pada pemandangan itu dan berkali-kali menghela napas.   Lanitra bahkan tidak sadar bahwa sedari tadi Alvaro mengikutinya. Dan laki-laki itu pun sudah berdiri di sebelahnya, ikut merasa sedih melihat Lanitra seperti ini.   "Masih belum ada kabar?"   Pertanyaan dari Alvaro berhasil membuat Lanitra tersentak kaget. Ia menoleh pada Alvaro dan menghela napas mendapati laki-laki itu. Tapi kemudian, Lanitra menggelengkan kepala dan kembali menghadap ke depan, pada hamparan laut.   Alvaro tidak bicara apa-apa lagi. Selama beberapa saat mereka hanya diam. Di antara keduanya hanya terdengar suara debur ombak dan hiruk pikuk yang berasal dari wedding venue Sierra. Alvaro sebenarnya ingin menghibur Lanitra, menghilangkan kesedihannya, namun ia tidak tahu bagaimana caranya. Karena rasanya, hanya sekedar kata-kata saja tidak akan cukup untuk membuat Lanitra merasa lebih baik. Maka yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah berada di samping Lanitra, menemani perempuan itu dan memastikan kalau dirinya tidak akan membahayakan diri sendiri akibat beban pikirannya.   Di dalam hati Alvaro mengutuk laki-laki yang sudah menjadi alasan di balik kesedihan Lanitra. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki itu yang menghilang begitu saja tanpa memberi kabar kepada Lanitra yang merupakan kekasihnya. Laki-laki itu justru hanya memberitahu karyawan kafenya bahwa ia pergi ke luar negeri karena ada urusan mendadak.    Urusan mendadak apa? Bahkan Alvaro tidak bisa sepenuhnya percaya. Dan kalaupun memang ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, setidaknya ia harus mengabari Lanitra, bukannya menghilang begitu saja dan membuat Lanitra sedih.   Padahal kecurigaan Alvaro terhadap Langit Dawana sudah menghilang seiring dengan hubungannya dan Lanitra yang terlihat baik-baik saja. Terlebih lagi Lanitra tampak sangat bahagia bersama dengan Langit. Namun, karena Langit menghilang dan berdasarkan cerita Lanitra, ini bukan pertama kalinya, tanpa bisa dicegah rasa curiga itu kembali hadir.   "Besok aku mau pulang." Tiba-tiba Lanitra berujar. "Aku udah bilang ke Sierra, alasannya mau nyusul Langit ke Singapura. Sierra percaya dan ngebolehin."   Alvaro mengangguk. "Oke."   "Aku jahat banget ya, Mas? Udah bohong ke Sierra begitu. I'm such a bad friend, aren't I?"   Kali ini Alvaro menggeleng. "Kamu memang bohong sama Sierra, tapi karena kamu bohong nggak lantas menjadikan kamu teman yang buruk buat dia. Alasan kamu bohong juga karena kamu nggak mau Sierra khawatir kan?"   "Tapi tetap aja...aku nggak jujur."   "You can talk to her later, okay? Dan aku rasa Sierra juga nantinya akan ngerti."   Lanitra menghela napas. Ketika dirinya menoleh untuk menatap Alvaro, kedua matanya sudah berkaca-kaca, siap menumpahkan airmata.   "Jangan nangis, please," pinta Alvaro. "Aku nggak suka liat kamu nangis, Lani. Karena aku juga jadi ikut sedih."   Mau Lanitra juga begitu. Tapi sejak kemarin, ia tidak bisa untuk tidak sedih dan beberapa kali menangis karena memikirkan Langit. Bahkan sekarang dadanya terasa sangat sesak.   "I love him so much, Mas," ujar Lanitra dengan suara bergetar. "Dan aku yakin kalau Langit juga ngerasain hal yang sama. We are so happy together. Tapi...tapi...sekarang aku sadar kalau aku belum tau Langit sepenuhnya. Masih ada yang dia tutupin dari aku dan jadinya begini. Aku harus gimana?"   Alvaro tidak tahu jawabannya. Yang bisa dilakukannya hanyalah menarik Lanitra yang sudah menangis ke dalam pelukannya, mengusap-usap punggung perempuan itu untuk menenangkannya.   Siapapun yang tahu tentang perasaan Alvaro kepada Lanitra pasti akan berpikir bahwa dirinya mengambil kesempatan di dalam kesempitan karena telah memeluk Lanitra seperti ini. Tapi Alvaro berani sumpah, ia sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Alvaro hanya ingin menenangkan Lanitra, membuatnya merasa baik-baik saja. Karena sebelum dirinya jatuh cinta pada Lanitra, perempuan itu sudah terlebih dahulu menjadi temannya dan menjadi seseorang yang dianggapnya sebagai adik sendiri.   Mendengan tangisan Lanitra membuat hati Alvaro sakit, baik itu sebagai orang yang mencintainya maupun sebagai temannya. Dan setelah kejadian ini, penilaian Alvaro terhadap Langit sudah benar-benar berubah buruk.    Mungkin insting Alvaro waktu itu memang benar, Langit tidaklah sebaik itu untuk Lanitra.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN