17. Nowhere to be Found

1899 Kata
Ketika dirinya kembali ke Jakarta, yang pertama kali didatangi oleh Lanitra adalah rumah Langit. Dari bandara, ia bahkan belum sempat pulang ke apartemennya sendiri dan langsung menuju ke kediaman Langit yang merupakan satu-satunya tempat pertama yang terpikirkan olehnya untuk mencari Langit.    Sayangnya, Lanitra terlalu banyak berharap. Karena begitu sampai disana, tentu saja rumah Langit tidak menunjukkan kehidupan sama sekali. Pagarnya digembok dan lampu luarnya hidup, tanda kalau rumah itu sedang ditinggalkan. Lanitra pun tidak menerima sahutan sama sekali saat dirinya berkali-kali memencet bel yang ada di pagar. Dan tidak peduli sekeras apa dirinya memanggil nama Langit, ia pun tidak mendapatkan respon apa-apa.   Langit benar-benar pergi. Entah kemana.   Dan hari itu, cukup lama Lanitra berjongkok lemas di depan rumah Langit, dengan hati yang semakin kecewa karena menghilangnya laki-laki itu.   ***   Ketika pertama kali Langit tiba-tiba menghilang tanpa kabar waktu itu, Lanitra memang kecewa. Namun, kekecewaannya lebih kepada bingung dan khawatir, bukannya sedih. Memang sih ada sedih yang dirasakannya, tetapi rasa sedih itu tidak dominan karena memang waktu itu perasaan Lanitra pada Langit belum sebesar sekarang mengingat kemarin mereka hanya sebatas teman.   Berbeda dengan sekarang, selain membuat bingung dan khawatir, Langit yang menghilang tanpa kabar benar-benar membuatnya sedih sekaligus takut. Entah sudah berapa kali ia menangis, Lanitra tidak bisa menghitungnya lagi. Kantung matanya pun semakin hari semakin menghitam, menandakan kalau pola tidurnya akhir-akhir ini tidak lah baik. Ia pun sudah kehilangan beberapa kilogram dikarenakan nafsu makannya juga ikut menurun akibat sedih yang dirasanya setiap hari.   Sudah lewat sepuluh hari semenjak Langit menghilang. Dan itu lebih lama daripada sebelumnya. Lanitra tidak tahu harus mencari kemana. Setiap hari ia ke rumah Langit, namun hasilnya sama saja, laki-laki itu tidak ada disana. Lanitra pun selalu menanyakan kabar Langit ke Rhea, kalau-kalau laki-laki itu memberi kabar ke karyawan Cielo Cafe. Namun, nihil. Langit tidak memberi kabar apa-apa. Rhea justru menyampaikan sesuatu yang membuat tanda tanya di dalam pikiran Lanitra bertambah.   "Dari dulu, Mas Langit memang suka tiba-tiba ada urusan keluar kota atau luar negeri gitu, Kak. Nggak pernah bilang urusannya apa, tapi ngabarinnya emang selalu tiba-tiba. Terus Mas Langit nggak akan ada kabar lagi sampai pulang sendiri," jelas Rhea waktu itu, ketika Lanitra melakukan telepon rutinnya untuk menanyakan kabar Langit. "Kita juga bingung, tapi ya kita maklumin aja karena kayaknya urusan Mas Langit banyak. Oh iya, selama Mas Langit pergi, tugasnya digantiin sama Mas Ardi yang udah dipercaya sama Mas Langit untuk jadi semacam orang kedua di kafe. Tapi walau jabatan Mas Ardi gitu, Mas Ardi juga nggak pernah dikasih tau kemana Mas Langit pergi."   Cerita dari Rhea itu membuat Lanitra yakin kalau ada suatu rahasia besar tentang dirinya yang disembunyikan oleh Langit. Lanitra memang tidak ingin memaksa Langit untuk langsung bercerita tentang semua yang ada pada dirinya, tetapi Lanitra juga tidak mau jika apa yang tidak diketahuinya itu membuatnya jadi seperti ini.   Jujur saja, Lanitra lelah karena sedih setiap hari. Lebih lelah lagi karena dirinya harus bersikap baik-baik saja di hadapan orang-orang tertentu, contohnya seperti keluarganya dan Sierra. Setiap kali ibunya menelepon, Lanitra selalu berusaha bersikap biasa saja. Sama halnya jika Sierra yang menelepon—perempuan itu sedang bulan madu keliling Eropa selama sebulan penuh, Lanitra akan membuat dirinya terlihat ceria dan bahagia. Ia bahkan tidak habis pikir sendiri karena kemampuan aktingnya bisa sebagus itu.   Hanya Alvaro yang tahu kebenarannya. Dan selama Lanitra bersedih karena Langit tak kunjung memberi kabar, Alvaro lah yang selalu menemani Lanitra dan setiap hari memastikan Lanitra baik-baik saja.   Termasuk hari ini. Lanitra sudah mendapati Alvaro berdiri di depan pintu unit apartemennya ketika ia baru pulang dari rumah Langit tanpa mendapatkan apa-apa. Alvaro datang dengan membawa paper bag yang Lanitra pastikan berisi makanan. Hampir setiap hari laki-laki itu datang hanya untuk menyuruh Lanitra makan. Kalau bukan karena Alvaro, mungkin Lanitra akan kehilangan berat badan lebih banyak.   "Hari ini aku bawa sushi favorit kamu."   Lanitra hanya mengangguk menanggapi perkataan Alvaro dan membuka pintu agar mereka berdua bisa masuk.   Ketika sudah di dalam, Lanitra langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa yang ada di ruang TV. Sementara Alvaro berjalan menuju dapur guna menyiapkan makanan untuk Lanitra. Selagi Alvaro sibuk memindahkan makanan ke dalam piring, Lanitra bersandar pada langit-langit apartemennya dan menghela napas. Lagi-lagi, tidak ada informasi dan kabar apapun tentang Langit yang didapatnya hari ini.   Mau sampai begini terus? Lanitra bertanya dalam hati. Ia jadi ingin menangis lagi. Tapi jika dirinya menangis sekarang hanya akan membuat Alvaro khawatir. Sudah cukup Alvaro dikhawatirkan oleh Lanitra selama hampir dua minggu ini. Ia tidak mau semakin menambah beban pikiran Alvaro jika melihatnya menangis lagi.   "Ayo makan, Lani."   Tidak lama kemudian Alvaro datang dengan membawa piring berisi berbagai macam jenis sushi. Semuanya adalah sushi yang disukai oleh Lanitra.    Lanitra segera duduk tegak dan mengangguk pada Alvaro. Meskipun melihat sushi-sushi tersebut sama sekali tidak membuatnya nafsu makan, tapi ia tetap memakannya. Semata agar Alvaro tidak semakin khawatir.   "Aku juga beli cinnamon cheesecake dari Cielo. Abis ini mau kamu makan?"   Mendengar nama kue itu membuat Lanitra terdiam sesaat. Lalu, ia menggelengkan kepala. Tidak ingin memakan kue itu karena bukan Langit yang membuatnya.    "Yaudah. Nanti Mas simpan di kulkas."   "Nggak usah," ujar Lanitra. "Mas bawa pulang aja. Aku nggak mau."   "Tapi kan—"   Lanitra memotong ucapan Alvaro dengan gelengan kepala yang pada akhirnya membuat Alvaro menghela napas dan menyerah. "Oke."   Padahal ia hanya ingin menghibur Lanitra dengan membawakan kue tersebut. Dengan harapan agar rindu Lanitra terhadap Langit bisa sedikit terobati, tapi ternyata dia salah. Mendengar nama kue itu saja justru membuat Lanitra langsung sedih.    Alvaro pun memilih diam dan memerhatikan Lanitra yang makan pelan-pelan. Dan dari banyaknya sushi yang terhidang di piring, Lanitra hanya makan tiga di antaranya, lalu meletakkan sumpit yang tadi dipakainya ke atas piring. Lanitra sudah selesai makan. Padahal itu sushi favoritnya. Melihatnya lagi-lagi membuat Alvaro menghela napas.   "Sisanya aku simpan ya buat kamu makan malam."   "Iya."   "Jangan lupa dimakan loh."   Lanitra hanya mengangguk.   "Hari ini aku nggak bisa disini sampai malam, soalnya aku ada acara."   "Oke."   "Kamu jangan nggak tidur."   "Iya."   "Jangan sedih juga."   Lanitra tidak menjawab, karena tahu kalau dirinya tidak akan bisa.   ***   Sebenarnya, berat bagi Alvaro untuk meninggalkan apartemen Lanitra di saat perempuan itu belum tidur. Karena biasanya, Alvaro selalu baru pulang ketika Lanitra sudah tidur semenjak ia pernah mendapati perempuan itu tidak tidur selama dua hari berturut-turut hingga penampilannya sudah persis seperti zombie. Karena itulah Alvaro jadi selalu memastikan Lanitra tertidur dahulu sebelum pulang. Walaupun jika pada akhirnya Lanitra tetap terbangun ketika Alvaro, setidaknya perempuan itu masih sempat terlelap meski hanya satu atau dua jam.    Tetapi malam ini ia tidak bisa melakukan itu karena sudah memiliki janji. Salah satu teman terdekatnya berulang tahun hari ini dan untuk ia mengundang Alvaro dan teman-temannya yang lain untuk merayakan ulang tahunnya di salah satu kelab malam. Karena ini adalah teman dekatnya sejak jaman kuliah, Alvaro tidak bisa untuk tidak memenuhi undangan itu.   Jadilah sekarang dirinya sudah berada di tengah hingar-bingar kelab malam yang sejujurnya, tidak disukai oleh Alvaro. Walau terkadang dirinya memang senang minum minuman beralkohol, tetapi menghabiskan waktu di kelab malam yang ramai dan diiringi musik dengan volume keras bukanlah sesuatu yang digemarinya. Ia lebih memilih minum wine di restoran mahal atau minum beer murah di rumahnya daripada datang ke tempat seperti ini. Ya, tapi mau bagaimana lagi, ini demi temannya.   "Yo, Alvaro! Akhirnya datang ya lo, gue pikir nggak mau datang." Raka, teman Alvaro yang berulang tahun, menyapanya ketika Alvaro menghampiri meja yang sudah direservasi untuk mereka.    Alvaro menyalami Raka dan tertawa. "Datang lah, namanya juga udah diundang," ujarnya. "Happy birthday, anyway. Semoga cepat menemukan akal sehat lo yang udah lama hilang."   "Kampret lo."   Alvaro hanya tertawa. Lalu ia menyapa teman-temannya yang lain yang juga sudah datang. Beberapa di antara mereka membawa pacar, yang berulang tahun pun juga begitu. Rasa-rasanya hanya Alvaro yang datang sendiri dan itu membuatnya jadi bahan ledekan teman-temannya.   "Lo nggak laku apa gimana sih, Al? Udah berapa tahun jomblo. Kasian amat."   "Muka-muka kayak lo nih pasti ditolak cewek mulu."   "Atau nggak korban PHP."   "Bisa jadi juga terjebak friendzone."   "Mau gue kenalin sama cewek nggak?"   Alvaro hanya memutar bola menanggapi ledekan-ledekan tersebut. Merasa sedikit jengkel karena status sendirinya dipermasalahkan, sekaligus merasa tertampar karena ada salah satu temannya yang menyebut Alvaro terjebak friendzone yang mana hal itu adalah sebuah kenyataan menyakitkan dalam kisah cintanya.   "Gue mau ke toilet dulu."   "Anjayyy, ngambek nih diledekin?"   "Kagak ngambek, sialan. Gue mau kencing. Mau ikut lo biar percaya?"   Teman-teman Alvaro hanya tertawa dan membiarkannya pergi menuju toilet.   Alvaro sendiri tidak berbohong. Ia memang ingin buang air kecil, sekaligus juga ingin menelepon Lanitra setelahnya untuk memastikan perempuan itu sudah makan.    Untungnya keadaan di toilet tidak terlalu berisik sehingga Alvaro bisa bicara dan mendengar suara Lanitra dengan jelas ketika panggilan telepon mereka tersambung.   "Udah makan?" Alvaro bertanya usai mendengar suara Lanitra menyapanya.   "Belum."   "Udah jam berapa ini, makan sana. Jangan skip loh."   "Iya, Mas. Ini mau makan."   "Beneran ya?"   "Iya."   "Makannya yang banyak, jangan dikit banget kayak tadi siang."   "Hmm."   "Kalau bisa habis makan nanti langsung tidur."   "Iya."   "Kalau nggak bisa tidur telepon Mas aja."   "Oke."   "Yaudah. Bye, Lani."   "Bye."   Alvaro hanya bisa menghela napas setelah panggilan telepon tersebut berakhir. Jawaban Lanitra benar-benar sangat singkat. Padahal Lanitra yang dikenal Alvaro adalah seseorang yang bisa dibilang bawel. Tapi karena masalah ini ia jadi berubah pendiam seperti itu.    Langit Dawana sialan.   Kalau Langit kembali nanti, Alvaro benar-benar ingin memukul laki-laki itu karena telah seenaknya menghilang dan menyebabkan Lanitra bersedih seperti itu. Alvaro masih tidak habis pikir, apa yang menjadi penyebab Langit menghilang. Tapi apapun itu alasannya, entah bisa diterima atau tidak, Langit tetap lah sama. That guy still deserves one or two punches.    Alvaro keluar dari dalam toilet dengan hati yang sedikit kesal karena memikirkan Langit yang menurutnya b******k. Begitu berjalan menuju meja teman-temannya, Alvaro berdecak karena harus melewati orang-orang yang berdiri dan beberapa di antaranya sedang berjoget mengikuti alunan musik. Sepertinya orang-orang di dalam kelab malam ini semakin bertambah daripada sebelumnya.    Beberapa langkah lagi Alvaro hampir sampai ke meja teman-temannya. Akan tetapi, langkahnya terhenti begitu melihat seseorang yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Melihat orang itu membuat langkah Alvaro terhenti. Ia pun menyipitkan mata, mencoba menajamkan penglihatan untuk memastikan bahwa orang yang dilihatnya itu benar-benar orang yang dikenalnya.   Mata Alvaro tidak rabun. Dan meskipun keadaan kelab malam remang dan dihiasi sorot lampu warna-warni, Alvaro bisa melihat wajah itu dengan jelas. Sesaat setelah dirinya sadar bahwa yang dilihatnya itu adalah seseorang yang dikenalnya, Alvaro pun berlari untuk mengejar orang itu yang kini sudah hampir mencapai pintu keluar.   Sayangnya, keadaan kelab malam menghambat pergerakan Alvaro. Ia tidak bisa berlari dengan lancar, bahkan dirinya sempat dimarahi oleh beberapa orang yang ditabraknya. Ketika Alvaro sudah terbebas dari kerumunan, orang yang dilihatnya tadi sudah keluar dari kelab. Alvaro berlari menyusul keluar secepat yang ia bisa.    "s**t!" Alvaro mengumpat keras karena orang yang dilihatnya tadi sudah tidak ada. Ia melihat ke sekitar, bahkan sudah berjalan mencari ke sekitar pelataran parkir mobil tempatnya berada sekarang. Namun orang itu sudah menghilang.    Lalu, sebuah mobil Lamborghini Aventador melintasinya. Alvaro segera memutar badan guna melihat mobil yang sudah lewat tersebut. Kaca mobil itu gelap, jadi ia tidak bisa melihat wajah orang yang ada di dalamnya. Akan tetapi, insting Alvaro berkata bahwa orang yang dikejarnya tadi ada di dalam mobil itu.   Alvaro mengambil ponselnya, kembali menghubungi nomor Lanitra. Ketika teleponnya diterima, tanpa menyapa Alvaro langsung bertanya, "Mobil Langit apa?"   "Hah?" Lanitra terdengar bingung karena pertanyaan tiba-tiba itu.   "Mobil Langit apa, Lani?" Alvaro mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada mendesak.    "Pajero Sport."   "Terus Langit punya mobil lain nggak?"   "Punya."   "Mobil apa?"   "Kenapa sih Mas? Kok tiba-tiba nanyain mobil Langit. Ada apa?"   "Jawab dulu, Lanitra. Mobilnya apa?"   "Porsche 911 sama La—"   "Lamborghini Aventador?"   "Kok Mas tau?"   "f**k," umpat Alvaro tanpa sadar.   "Mas kenapa sih?"   "Warna apa?"   "Mas jawab dulu, kenapa?"   "Warna apa?"   "Merah!" Lanitra menjawab kesal. "Kenapa sih, Mas. Jelasin. Jangan buat bingung."   Shit. s**t. s**t.   Ponsel Alvaro hampir terlepas dari genggamannya, terkejut karena dirinya yakin bahwa yang dilihatnya barusan adalah Langit Dawana. Dan Alvaro tidak tahu harus memberitahu Lanitra bagaimana karena saat melihat Langit tadi, ia mendapati bahwa laki-laki itu tidak sendirian, melainkan bersama seorang perempuan lain entah siapa.   Alvaro semakin ingin memukul Langit. Tidak hanya satu ada dua pukulan, tapi beratus-ratus pukulan pantas diterima oleh laki-laki itu yang berani-beraninya mengkhianati Lanitra.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN