Permintaan Alex

1514 Kata
Aku mulai bisa berdiri meski harus dipapah. Setiap hari aku selalu berusaha berjalan. Keinginanku kuat untuk bisa menjalankan aktivitas normal lagi. Sudah tiga hari Alex tidak menjengukku, selama itu pula mama dan papa sering pergi. Aku kadang ditinggal sendiri di rumah. Walau mereka pergi sebentar saja bukan berarti aku tidak curiga. Apa lagi mama terlihat sedih setiap kali pulang. Aku ingin bertanya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Sampai di hari Alex datang kembali ke rumah. Dia minta maaf meski aku tidak mempermasalahkan. Hari-hari damaiku kini terusik. Alex tidak berhenti menggangguku. Bahkan ia lebih cerewet dari biasanya. “Kamu mau aku masakin makan siang?” tanya Alex, sesekali ia melihat jam di tangannya. Aku tahu ia sedang melihat waktu, kapan kembali bekerja. “Gak perlu. Pak Alex kalau mau pergi silakan saja. Bapak tidak perlu merasa bersalah dan bertanggung jawab pada saya,” ujarku. Alex menggulung kemejanya sebatas siku. Apapun yang aku katakan rasanya percuma. Alex tetaplah Alex, yang selalu melakukan apa yang diinginkannya. “Saya sudah belajar masak. Kamu harus mencobanya,” ucap Alex lalu mulai merebus air. “Terserah Bapak.” Aku segera pergi dari dapur, mendorong roda kursi rodaku dengan susah payah. Aku berhenti di ruang tengah, sesekali menoleh ke dapur. Alex tidak mengejarku, dia benar-benar memasak. Aku semakin ragu untuk melupakannya. Dari dulu sampai sekarang aku tidak benar-benar membenci Alex. Aku tidak tahu apa yang membuat diriku bisa selemah itu padanya. Setelah menunggu dua puluh menit Alex pun keluar dari dapur. Wajahnya berkeringat membuat aku tersentuh. Sesulit inikah membencimu? “Ayo, kita makan siang bersama.” Alex mendorong kursi rodaku ke dapur. Aku tidak menolak saat ia menggendongku untuk duduk di meja. Alex sudah repot-repot memasak jadi untuk kali ini aku akan menerimanya. “Pak Alex tidak makan?” tanyaku. “Kamu duluan. Saya mau tahu komentar kamu,” ujarnya. Aku mulai menikmati makan siangku. Tumis daging sapi, tapi Alex sengaja menambahkan sayuran lebih banyak. Makanannya cukup enak, aku sendiri belum tentu bisa memasaknya. “Enak, saya suka,” jawabku singkat. Alex tersenyum, ia segera menyantap makan siangnya. Melihat dia makan dengan lahap membuat perasaanku tenang. Memang kalau dilihat Alex terlihat lebih kurus. Aku tidak tahu penyebabnya, mungkin karena pekerjaan. “Kenapa tidak makan? Mau saya suapi?” tanya Alex lalu mengarahkan sendoknya padaku. Tanpa pikir panjang aku menerima suapannya sebagai bentuk terima kasih. “Itu sebagai ucapan terima kasih,” kataku. Alex mengangguk pelan lalu melanjutkan makannya. Setelah selesai makan Alex mencuci piring kotor. Aku tidak tahu kenapa ia repot-repot melakukan itu. “Sebenarnya apa yang Pak Alex inginkan dari saya?” Alex terdiam lalu kembali mencuci piring. Setelah selesai ia berbalik, berjongkok di depanku. “Saya ingin kamu kembali pada saya,” sahutnya. Aku menggeleng. “Saya tidak bisa. Rasa cinta saya mungkin tidak seperti dulu lagi. Kenapa Bapak masih mengharapkan saya?” tanyaku. Alex memeluk aku tiba-tiba, tangannya mengusap kepala belakangku dengan lembut. “Izinkan saya selalu di samping kamu. Saya yakin kamu masih mencintai saya.” Pelukan itu terurai, Alex mencium keningku cukup lama sampai aku harus mendorong tubuhnya menjauh. “Saya akan pikirkan lagi,” ujarku. Alex mengangguk pelan, ia harus kembali ke kantor. Pertemuan singkat siang ini membuat perasaanku gundah. Alex terlihat tulus membuat aku berpikir untuk memberikan kesempatan kedua. Alex bukan pria yang mudah menyerah, aku yakin dia akan terus berusaha sampai aku membuka hati kembali. Namun, keesokan harinya Alex tidak datang lagi. Aku kembali ragu dengan ucapannya. Sampai beberapa hari ia tidak memberi kabar. Aku selalu menunggu pesan dan teleponnya setiap saat, tapi Alex tidak menghubungiku. Aku kesal, merasa dipermainkan. Ia melakukan kesalahan yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Apa Alex akan meninggalkan aku lagi? Disaat hatiku mulai percaya, Alex justru mematahkannya. Sampai aku bisa berjalan, dia tidak kembali juga. Dering ponselku menggema saat akan beranjak tidur. Alex menghubungiku setelah sekian lama. Aku ingin menolaknya, tapi jauh di lubuk hati aku ingin tahu apa penyebab dia tidak datang. Dengan setengah hati aku menerima panggilannya. “Halo?” “Halo, Ana, kamu baik-baik saja?” Suara Alex terdengar tak bertenaga. Aku yakin ada masalah yang sedang dihadapinya mengingat pekerjaan Alex sebagai pemimpin perusahaan. Aku menyesal sempat marah padanya. Seharusnya akulah yang menghubunginya lebih dulu. Aku yakin Alex akan membalasnya. “Saya baik, Pak Alex sudah makan?” tanyaku seperti i***t. Kenapa aku harus perhatian padanya, Alex pasti memikirkan yang bukan-bukan. “Saya belum makan dari tadi siang. Saya justru merindukan kamu,” ucapnya. Perasaanku melambung tinggi. Rasa kesal langsung menghilag dalam sekejap. “Kenapa Pak Alex nggak makan?” tanyaku sembari beranjak dari tempat tidur. Kubuka jendela kamar yang membuat angin menerobos masuk. Aku bersandar pada jendela sementara tanganku masih menggenggam ponsel. “Saya banyak pikiran, hari ini saya tidak bisa berpikir tenang. Maaf saya belum bisa jenguk kamu,” katanya. “Jangan pikirkan saya, pikirkan kesehatan Pak Alex juga,” sahutku. Cukup lama kami bicara sampai akhirnya aku mengantuk. Alex mendengar aku menguap lalu memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan kami. Dia juga berjanji kalau besok akan datang menemuiku. Malam ini aku benar-benar bahagia. Keesokan harinya Alex benar-benar menepati janjinya. Ia datang setelah pulang kantor. Aku sudah memutuskan untuk memberikan pria itu kesempatan sekali lagi. Jantungku berdebar saat mobilnya masuk ke pekarangan rumah. Mama menemaniku di rumah, hari ini, ia sedang bersantai di ruang tengah sedangkan aku mengintip Alex dari jendela. Aku ingin menyambutnya untuk pertama kali. Saat bel berbunyi aku tidak langsung membuka pintu, bisa ketahuan kalau sejak tadi aku menunggunya. Setelah bel kedua aku perlahan membuak pintu. Alex terlihat kaget saat tahu akulah yang membuka pintu. Ia menatapku dari atas ke bawah. Aku sudah bisa berdiri dan bahkan berjalan. “Kamu sendirian?” tanya Alex. Aku menggeleng, tidak ingin membuat ia khawatir. “Mama ada di dalam. Masuklah.” Alex mengangguk lalu tiba-tiba ia mencekal tanganku. Kami saling berhadapan. “Kamu sudah sembuh?” tanya Alex dengan suara bergetar. Matanya memerah menahan tangisan. “Saya sudah bisa berjalan lagi,” kataku. Alex memalingkan wajahnya sembari mengusap air mata. Aku tidak tahu kenapa ia sangat emosional sekali. Setelah berhasil mengendalikan emosinya aku pun membawa Alex menemui mama di ruang tengah. Mama sangat gembira melihatnya. Mereka saling berpelukan, itu sudah biasa, tapi yang membuat aku bingung adalah pertanyaan mama selanjutnya. “Bagaimana keadaan Anthony, apa dia masih sakit?” tanya mama khawatir. Alex berusaha tersenyum dan mengangguk. “Dokter bilang dia sudah bisa pulang besok. Mama dan papa masih menjaganya di rumah sakit,” kata Alex. Aku mengernyit tidak paham apa yang dimaksud mama dan Alex. Siapa Anthony? Apa Alex punya saudara lain lagi? Kami duduk berdampingan, saat mama pergi ke dapur itulah saat yang tepat untuk bertanya. “Siapa Anthony?” tanyaku membuat Alex menghela napas. Ia terdiam cukup lama seakan sulit untuk berucap. “Dia anak saya,” jawab Alex membuat aku tertampar keras. Alex sudah memiliki anak? Tubuhku terasa lemas tak bertenaga. Air mataku langsung menggenang. Mimpi buruk apa lagi ini? Setelah dia pergi selama tiga tahun sekarang ia kembali dengan kabar buruk. Alex sudah berkeluarga, anaknya sedang sakit. “Ana dengarkan penjelasan saya.” Alex meraih tanganku, tapi aku segera menepisnya. Kesempatan kedua yang ingin kuberikan padanya sinar sudah. Bagaimana aku bisa menerima ini semua? “Anda mau mempermainkan perasaan saya lagi?” Kutatap ia lekat. Alex masih mencoba memegang kedua tanganku, tapi aku menolaknya. Satu tamparan di pipinya sangat pantas. Alex terdiam memegangi pipi yang memerah. Ia menunduk dalam-dalam. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Aku benar-benar kecewa kali ini. Alex menatapku dengan pandangan terluka. “Tolong dengarkan saya.” Aku tidak sanggup menatapnya lagi. Kupalingkan wajah ke arah lain. Alex memelukku dari belakang, ia menangis begitu juga denganku. Kenapa mencintainya sesakit ini? “Tolong jangan pergi. Saya tidak sanggup kalau kamu pergi,” bisiknya di telingaku. Aku segera menghapus air mata dengan kasar. Ini saatnya memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku harus yakin untuk berpisah dari Alex. “Saya bukan w************n. Saya tidak mau merusak rumah tangga orang. Apa bapak tidak kasihan dengan anak itu? Dia mungkin merindukan ibunya,” kataku. Alex meremas lenganku kuat-kuat. “Justru itu saya butuh bantuan kamu Ana,” sahutnya membuat aku kebingungan. Alex membalikkan tubuhku sampai kita saling berhadapan. Ia menggenggam tanganku erat, matanya terlihat teduh. “Jadilah istri sementara saya. Anthony butuh sosok seorang ibu. Saya tidak bisa melihat dia menderita setiap harinya,” kata Alex. “Tapi saya buka ibunya.” Alex menggeleng. “Wajah kalian mirip, saya yakin Anthony akan menganggap kamu sebagai ibunya,” ucap Alex. Aku masih bersikukuh tidak mau menerima ide konyol itu. Bagaimana kalau anaknya menolakku? Aku juga belum pernah punya anak, bagaimana aku bisa menjadi ibu yang baik? “Baik, saya tidak akan memaksa kamu, tapi tolong bertemu dengan Anthony sebentar saja. Setelah kamu bertemu dengan Anthony kamu bisa memutuskan untuk menerimanya atau menolak,” kata Alex yang terlihat frustrasi. Aku terdiam, memikirkan baik-baik keputusanku. Aku harus menyiapkan perasaanku yang mungkin akan tersakiti lagi. Namun, saat Alex bersimpuh di depanku membuat hatiku luluh. Dia terlihat rapuh. “Baiklah, saya setuju.” Alex menghela napas lega. Wajahnya kini berseri. Dalam benakku masih bertanya-tanya siapa wanita yang dinikahi Alex? Kenapa wanita itu pergi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN