Kegigihan Alex

1901 Kata
Kepalaku tiba-tiba berdenyut merasakan sekelebat bayangan samar dalam ingatan. Apa hukuman yang Alex maksud sama seperti dulu? Hukuman di dalam mobil yang pernah kita lakukan. Pikiranku mulai kacau. Aku pilih mengalah sehingga Alex bisa menggendong aku ke mobil. Alex memasukkan kursi roda itu bagasi sebelum duduk di sampingku. Di belakang kemudi. Dia tidak menggunakan jasa sopir seperti dulu. “Kenapa Pak Alex melakukan semua ini?” tanyaku saat mobil sudah berada di jalan raya. “Melakukan apa?” Kuhembuskan napas dalam-dalam. Alex seakan melupakan sesuatu. Aku yang sakit saja masih mengingat bagaimana hubungan kita berdua berakhir. “Dengar Pak Alex, saya bukan pegawai bapak lagi jadi berhenti peduli pada saya. Bapak lebih baik urus kepentingan bapak sendiri.” Alex tetap fokus pada jalanan di depannya. “Kamu juga penting bagi saya,” sahutnya membuat aku sedikit melayang. Ya, sedikit. Aku tidak mau dia membohongiku dengan mudah. “Maksud bapak?” Alex menatapku sekilas lalu kembali menghadap jalan raya. “Kamu salah satu yang terpenting dalam hidup saya.” Wajahku memanas, begitu juga dengan perasaanku yang mulai luluh dibuatnya. Kedua sudut bibirku tidak bisa menahan untuk tersenyum, sampai-sampai aku harus menatap ke luar agar Alex tidak melihatnya. “Kamu malu, ya?” tanya Alex. “Enggak. Aku gak mempan dirayu,” jawabku ketus. “Saya tahu,” balasnya. Kami terdiam lagi. Mobil terasa sepi membuat aku tidak nyaman. Sesekali kulirik Alex diam-diam. Aku mulai khawatir rasa cinta itu akan tumbuh lagi. Tuhan, jika dia adalah jodohku maka dekatkan aku dengannya, tapi kalau Alex hanya mempermainkan diriku tolong jauhkan dia dari hidupku. Sampai di rumah Alex kembali menggendongku ke lantai dua. Awalnya aku menolak dan meminta pakai lift saja, tapi dia tidak mau. Dia memang suka direpotkan. Alex memilih menaiki tangga yang jumlahnya puluhan. Aku belum mengerti jalan pikiran seorang Alex. Sampai saat ini aku tidak bisa memahaminya. “Saya berat lo, Pak,” ujarku. Kedua tanganku mengalung di lehernya. Alex tidak mengeluh sedikit pun. “Gak apa-apa. Kebetulan saya belum sempat ke gym. Anggap saja latihan berat,” jawabnya. Alex kini menatapku membuat degup jantungku menggila. “Bapak kok suka benget direpotin?” tanyaku. Alex mengulas senyumnya untuk pertama kali hari ini. Senyum itu yang membuat aku terbayang, senyum itu juga yang membuat jantung berdebar kencang. “Saya senang jika kamu yang ngerepotin.” Lagi-lagi jawaban Alex membuat harapan untuk bersamanya muncul kembali. Aku sudah menepis perasaan itu, tapi sekuat apapun aku menghilangkannya kalau Alex masih di sekitarku, itu rasanya mustahil. Kami berada di depan kamarku. Perlahan kubuka kamar yang sudah enam bulan tidak ditempati. Kamarku masih bersih dan tertata rapi. Ada koper di pojok dekat pintu. Aku rasa tidak pernah meletakkan koper di situ. Ada beberapa barang yang hilang seperti boneka dan foto yang terpajang di meja, Aku tidak tahu ke mana barang-barang itu. Alex membaringkan aku di tempat tidur. Aku yakin sekarang pinggangnya pasti sakit. Dia sendiri yang tidak mau mendengar ucapanku. “Kamar kamu bagus,” ujarnya lalu duduk di pinggir tempat tidur. “Lebih baik bapak pulang sekarang,” kataku. Biarlah kuusir sekalian. “Kamu marah sama saya? Apa yang membuat kamu begitu marah?” tanya Alex lagi. Aku terdiam untuk beberapa saat. Ini kesempatan yang baik memintanya untuk tidak mengganggu lagi. “Kalau bapak berpikir saya senang dengan apa yang bapak lakukan, itu salah. Saya tidak suka cara bapak ini. Tolong Pak Alex jangan dekati saya lagi. Hubungan kita sudah berakhir sejak bapak pergi. Saya tidak punya perasaan apapun pada bapak jadi tolong hentikan sekarang.” Alex menatapku sendu. Terlihat luka di matanya. Apa aku sudah keterlaluan mengusirnya. Rasa sakit yang Alex rasakan tidak sepadan dengan sakitku dulu. Senyum kembali menjadi topeng andalan Alex. Tangannya terulur mengusap kepalaku lembut. Perasaan apa ini? Aku merasa nyaman dan tenang. Alex tidak marah padaku. Apa yang terjadi pada pria itu selama di luar negeri? “Saya tahu kamu cemburu. Kamu tenang saja saya hanya mencintai satu wanita dalam hidup dan dia yang akan menjadi mama dari anak-anak saya.” Jantungku berdebar membayangkan memiliki anak dari Alex. Pikiran aneh itu tiba-tiba muncul membuat tubuhku panas. “Kamu pasti menghayal yang enggak-enggak, ya? Wajah kamu merah banget,” celetuk Alex membuat aku spontan memegang wajah. Alex tertawa, dia pasti membohongiku. “Jangan sok tahu.” Aku segera menarik selimut ingin istirahat. Aku harap Alex paham akan isyarat yang kuberikan. “Kamu mau tidur? Saya juga mau tidur.” Bukannya pergi, Alex justru berbaring di sampingku. Sebelum ia memejamkan mata aku segera mendorongnya sampai jatuh ke lantai. “Kalau Pak Alex mau tidur ya pulang saja kenapa tidur di kamar saya?” Alex segera berdiri sambil mengusap pantatnya. “Saya kabur dari rumah jadi mau nginep di sini. Saya yakin mama dan papa kamu mengizinkan.” Aku tidak habis pikir dengan mantan bosku ini. Tidak ada yang mengizinkan ia menginap. Aku juga yakin mama dan papa tidak akan mengizinkan Alex tidur di kamarku. Mama dan papa masih sayang dengan anak gadisnya. “Tapi saya tidak mengizinkan.” Alex kembali duduk di tepi tempat tidur. Ia merangkak mendekatiku. Ia bicara tepat di depan wajahku. “Baiklah saya akan pergi, tapi besok saya akan kembali lagi,” ucapnya dengan suara serak basah. Aku coba untuk mengatur napas yang terasa sesak. Aku tidak yakin bisa bertahan lama jika Alex terus menggempur pertahananku. Pintu kamar tertutup menyisakan kesunyian. Ada perasaan aneh saat berada di kamar sendiri. Aku merasakan kamar ini bukan lagi milikku. Kuteliti semua barang yang ada. Beberapa barang berhargaku raib, entah di simpan di mana. Aku harus bertanya pada mama. Ponselku tertinggal di rumah sakit, tidak ada hiburan selain televisi. Saat asyik menonton TV, tiba-tiba pintu diketuk. Mama datang membawakan semua barang-barang yang ada di rumah sakit. “Ponsel kamu sayang.” Mama memberikan ponselku lagi. Ada tiga pesan yang masuk dan itu berasal dari Alex. Ini adalah ponsel baru, ponsel lamaku hancur karena kecelakaan itu. Hanya orang-orang terdekat yang tahu nomor baruku. Menurut cerita mama, kartu perdanaku pun rusak, tidak terbaca lagi. Belum banyak nomor yang tersimpan, baru nomor papa,mama dan Alex. Kubuka satu per satu pesan Alex yang semuanya berisi permintaan maaf. Alex ketiduran, itulah informasi dari pesan singkat sekaligus alasan mengapa dia tidak menelepon tadi malam. “Nak Alex baik, ya, mau rawat kamu sampai sembuh,” kata mama yang sedang mengelurakan barang-barang dari tas. “Apa? Alex mau rawat aku sampai sembuh? Mama yang benar saja, aku nggak mau. Bukannya sembuh aku bisa terkena darah tinggi,” tolakku. Sekarang saja aku tidak bisa mengendalikan diri, bagaimana nanti saat kami sering bertemu. “Niat baik tidak boleh ditolak. Kalau kamu masih cinta sih mama gak masalah. Siapa tahu beneran jadi mantu.” Mama mulai menggodaku lagi. Bisa tercium bau-bau perjodohan semakin pekat, terlebih papa bertamu malam-malam ke ruamh Alex. Ini patut dicurigai. “Aku nggak suka lagi sama dia, Ma. Sudahlah aku mau tidur.” Kuletakkan ponsel itu di meja sebelum memejamkan mata. Suara mama yang memuji Alex sayup-sayup masih terdengar. Aku belum terlelap sepenuhnya karena jujur saja aku belum mengantuk. “Gak apa-apa, mungkin kamu belum siap. Mama keluar dulu, kamu istirahat, ya, nanti mama taruh kusi rodanya dekat tempat tidur kamu.” Mama lalu keluar membuat mataku langsung terbuka. Aku harus mencaritahu alasan Alex mendekatiku lagi. Ponselku berdering, sebuah panggilan dari Alex. “Halo.” “Halo, kamu lagi apa?” tanya Alex membuat alisku menekuk tajam. Apa aku tidak salah dengar? Alex bertanya apa yang aku lakukan? Itu luar biasa. “Apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang kakinya lumpuh?” ujarku. Alex tidak menjawab, aku merasa ini sedikit keterlaluan. “Saya mau tidur tolong jangan ganggu saya.” Nada suaraku sengaja dibuat lebih lembut. “Oh, jadi saya ganggu kamu, ya?” “Anda benar sekali, jadi saya izin menutup teleponnya.” Terdengar suara napas berat di seberang sana. “Sayang sekali, saya masih mau bicara sama kamu, tapi gak apa-apa saya lihat kamu dari lubang pintu saja,” kata Alex membuat aku curiga kalau pria itu belum pulang. Pintu terbuka menampakkan sosok Alex sedang menerima telepon. Sejak tadi Alex berada di depan pintu? Aku segera mematikan sambungan telepon begitu juga dengan dirinya. Bahkan ia masuk ke kamarku tanpa minta izin. “Saya mau pulang, besok saya akan datang lagi jenguk kamu.” Aku segera menepis tangannya yang mengusap kepalaku. “Lebih baik bapak jangan ke sini lagi. Saya berterima kasih karena bapak sudah menjenguk saya, tapi saya rasa itu sudah cukup. Jangan ada hubunga lagi diantara kita.” Alex tersenyum tipis. “Kamu kelelahan, tidurlah sudah malam.” Dia pun pergi setelah mengatakan itu. Aku sendiri bingung kenapa Alex masih gigih dan tidak marah sama sekali. Aku berusaha memejamkan mata, tapi sangat sulit. Terasa ada yang hilang . Aku tidak tahu apa itu, sekarang aku merasa asing dengan kamarku sendiri. Aku benci dengan perasaan aneh ini. *** Pagi pertamaku di rumah sungguh menyenangkan. Udara cukup bersih di halaman belakang karena banyak tumbuh-tumbuhan. Air kolam masih terlihat gelap karena belum ada sinar matahari. Aku terus terbangun sepanjang malam. Sulit tidur. Aku pikir ,ini karena aku tidur terlalu lama jadi sekarang aku susah memejamkan mata. Aku ingin segera bisa berlari di rumut hijau yang luas. Menyiram tanaman anggrek milik mama. Bukan hanya itu, aku juga ingin berenang setiap sore atau setidaknya naik sepeda. Aku rindu itu semua. Saat ini aku hanya bisa duduk di kursi roda. “Sayang.” Mama memanggilku. Aku segera menoleh, mendapati mama membawakan selimut untukku. “Udara di luar masih dingin. Kenapa kamu gak istirahat di kamar?”Aku langsung menggeleng. Kamar itu terasa asing, aku tidak tahu apa yang hilang, kecuali barang-barang berharga yang raib dari kamarku. “Di mana boneka aku, Ma? Ada beberapa barang yang hilang,” kataku. Mama bersimpuh, ia selalu mengusap punggung tanganku. “Semuanya sudah kamu simpan di tempat yang aman.” “Di mana?” Mama mengedikkan bahunya. “Mama juga tidak tahu karena kamu sendiri yang menyimpannya.” Aku semakin penasaran dan ingin segera mengingat semua peristiwa yang terjadi sebelum kecelakaan. “Kita ke dalam saja, ya, udara paginya masih dingin nanti kamu masuk angin.” Mama mendorong kursi rodaku ke dapur. Aku tidak ingat kalau bisa memasak, tapi membantu mama membuat sarapan sepertinya tidak buruk juga. Pagi ini aku mendapat tamu tak terduga. Bukan hanya di rumah sakit, sampai di rumah pun Alex terus mendekatiku. Saat sarapan aku memutuskan untuk pergi ke halaman belakang. Aku tidak mau sarapan satu meja dengannya. Hari-hariku terasa menyedihkan. “Kamu marah karena saya datang lagi?” tanya Alex. Aku terdiam menunggu apa yang akan dia lakukan. Alex berdiri di sampigku menatap langit cerah. Bahkan awan pun tak nampak. “Sejak awal saya sudah katakan kalau kamu adalah milik saya,” kata Alex. “Bagaimana dengan Melody? Bapak ingin menduakan dia?” tanyaku. Perasaan ini mulai sakit, aku harus bersiap mendengar sesuatu yang buruk pagi ini. “Melody sudah menikah dengan Rey. Apa kamu masih cemburu?” tanya Alex, kali ini dia menunduk sehingga wajah kami sejajar. “Saya tidak cemburu. Saya hanya tidak bisa memaafkan apa yang dulu pernah Anda lakukan pada saya, tapi kalau Pak Alex pergi saya akan memaafkan kesalahan Bapak,” ucapku.Alex berjongkok di depanku, kedua tangannya memegangi kursi roda. “Suatu hari nanti kamu akan bersyukur atas apa yang aku lakukan hari ini.” Alex mencium keningku saat aku masih mencerna ucapanya. Dia lalu pergi begitu saja meninggalkan aku sendiri sama seperti dulu. Apa maksud ini semua? Kenapa tidak satu pun dari mereka menceritakan masa laluku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN