BAB 8

1331 Kata
Setelah kencan dadakannya dan Mugi, Haru diantarkan kembali ke apartemen milik Sora. Gadis itu awalnya enggan untuk masuk, tetapi Mugi memaksanya. Pemuda itu mengatakan banyak hal, ia juga memberikan banyak nasihat kepada Haru. Bersyukur saja cara itu ampuh, dan Haru dengan sukarela masuk ke dalam apartemen. Entah itu sebuah keuntungan, atau juga kesialan. Saat Haru berhasil melangkah ke ruang tengah, ia sudah ditunggu oleh sang kakak. Wajah Sora terlihat begitu khawatir dengan keadaan adiknya, tanpa banyak kata pria itu langsung melangkah cepat dan memeluk Haru. “Kenapa kau harus lari dan membuat Kakak sangat tertekan? Kakak kira kau tak akan kembali lagi, bahkan Kakak sudah melaporkan kau sebagai orang hilang ke kantor polisi.” Haru yang mendengar ucapan kakaknya segera bertindak, gadis manis itu mendorong Sora, lalu menatapnya. “Bodoh! Aku belum menghilang selama dua puluh empat jam. Polisi tidak akan menanggapi laporanmu, Kakak.” Sora yang mendengar hal itu hanya bisa menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. “Tapi, Kakak mengatakan kau sudah hilang dua hari yang lalu.” Haru menepuk keningnya, ia kemudian berlalu pergi. Sedangkan Sora ... pria itu terlihat panik karena sang adik ingin meninggalkannya. “Tunggu!” Sora menahan tangan kanan Haru. “Kita harus bicara, jangan menghindari Kakak lagi.” Haru melirik. “Jika Kakak melarangku berhubungan dengan Mugi, itu tak akan berhasil.” Sora menggeleng. “Lalu?” “Haru, Kakak ingin bertanya beberapa hal. Apa kau tak keberatan?” “Kakak baru saja bertanya tanpa persetujuan. Kenapa harus meminta izin lagi?” Sora yang kembali mendapatkan jawaban dari adiknya tertawa tak enak, ia kemudian membawa sang adik untuk duduk. Haru hanya menurut, ia tidak berniat untuk kabur dan bersembunyi kali ini. Perasaannya sudah jauh lebih baik, ia juga siap dengan semua pertanyaan yang dilontarkan oleh kakaknya. Sora menatap adiknya dengan saksama, memastikan gadis manisnya itu siap untuk diberi pertanyaan. Setelah beberapa menit berlalu, Sora akhirnya menghela napas. “Apa kau benar-benar menyukai Mugi?” tanya Sora dengan wajah serius. Haru menatap datar, ia kemudian menggeleng. “Lalu, kenapa kau berciuman dengannya?” Haru menunjuk ke arah Sora. “Ada apa? Kenapa menunjuk ke arah Kakak?” Haru masih menatap dengan serius. “Ha-” “Aku menganggap Mugi adalah Kakak,” jawab Haru dengan cepat, ia tak peduli walau harus memotong ucapan saudara kesayangannya itu. “Apa maksudnya?” “Ketika aku berciuman dengan Mugi, aku membayangkan dia adalah Kakak. Apa kurang jelas?” “Tap-” “Karena aku menyukai Kakak.” Sora kehilangan kata, ia sudah mencoba untuk menghindari hal seperti ini. Tetapi ... Haru terus mengatakannya. “Haru, dengarkan Kakak.” “Jika tidak berguna, aku tidak ingin mendengarnya.” Sora menghela napas, lagi dan lagi ia nyaris tak bisa bicara. Haru selalu mengatakan segala hal langsung pada intinya, dan ia tak bisa memahami hal tersebut. Bukan ... ia lebih tepatnya tak bisa memahami Haru yang mencintainya. Ia tak menyangka jika adik kesayangannya itu memiliki perasaan yang salah. Sekarang ... bagaimana dirinya bisa membuat Haru sadar? Haru yang merasa tak ada gunanya bicara dengan Sora segera berdiri, ia menghampiri Sora, lalu mencium bibir pria itu. Sora yang mendapat ciuman dari adiknya termenung, tak menyangka jika ia malah diam dan pasrah dengan kelakuan Haru. Ini sebuah kesalahan! Itulah kata yang menari-nari di dalam hatinya. Sora yang tak ingin larut dalam keadaan seperti saat ini segera mendorong Haru agar lebih menjauh darinya, ia kemudian berdiri, matanya menatap Haru agak tajam dari biasanya. “Hentikan ini, Haru!” Haru mengedipkan mata, memasang tampang tak berdosa. “Tidak seharusnya seperti ini,” ujar Sora lebih lanjut lagi. “Baiklah, aku ingin tidur.” Haru bersiap untuk beranjak pergi, tetapi Sora berhasil menahan gadis itu. “Ada apa lagi?” Sora menelan ludahnya kasar. “Lepaskan,” ujar Haru dingin. “Haru, jangan melanjutkan perasaanmu itu. Ingatlah, kita bersaudara.” “Perasaanku adalah milikku, kau tak berhak untuk mengaturnya.” Haru langsung melepaskan tangan Sora, ia kemudian beranjak pergi dengan cepat. Sora yang mendengar kata ‘kau’ keluar dari bibir adiknya sangat tak menyangka, ucapan itu begitu kasar dan baru pertama kali ia mendengar Haru bicara seperti itu padanya. “Aku bisa gila,” gumam Sora pada akhirnya. Ia terduduk, lalu tertunduk lesu. ... Sementara Sora dengan perasaan campur aduk, lain halnya dengan Mugi. Pemuda itu masuk ke dalam apartemennya dengan begitu santai, ia bahkan tak peduli saat melihat Akane yang sedang duduk menunggunya. Mugi merasa malu, ia juga gugup, dan sudah pasti tak sanggup jika harus bicara dengan kakak tercintanya itu. “Mugi, bisa bicara sebentar.” Akane yang sudah lama menunggu kehadiran sang adik akhirnya angkat bicara terlebih dahulu, ia menatap Mugi yang berusaha menghindari darinya. Sial ... Setelah mendengar ucapan Akane, Mugi langsung berhenti. Ia seperti patung, tak berani menatap sang kakak. “Kemarilah, duduk, dan kita bicara dari hati ke hati.” Mugi yang sudah terpojok segera menatap kakaknya, ia tersenyum. “Maaf, Kakak. Aku sangat lelah, setelah mandi aku ingin segera tidur.” “Kau, pulanglah ke rumah. Tinggallah bersama Ayah dan Ibu,” ujar Akane secara langsung. “Ha?” Mugi menatap. “Kembalilah, Kakak tak bisa tinggal lebih lama bersamamu.” “Tapi, kenapa?” Akane yang mendengar pertanyaan sang adik menghela napas. “Apa salahku? Kenapa Kakak mengusirku?” “Mugi, kau harus membenahi hatimu. Dengarkan Kakak, dan jangan membantah lagi!” “Tidak! Aku tak akan kembali ke rumah. Aku ingin tinggal bersama Kakak, aku ingin berada di sini.” Akane menggeleng, ia juga berat karena harus mengusir adiknya sendiri. Tetapi ... jika ia terus melanjutkan kebersamaan mereka dalam satu atap, maka ia hanya akan membuat Mugi terluka. Adiknya masih terlalu polos, adiknya tidak harus merasakan luka karena cinta yang salah. Perasaan adiknya harus segera berakhir, dan cara ini adalah satu-satunya yang ia pikirkan dalam otaknya. “Jelaskan, apa alasannya!” “Karena Kakak tak ingin kau menghancurkan hubungan Kakak dan Sora.” Mugi yang mendengar alasan sang kakak tak habis pikir, ia menatap kecewa. “Jadi hanya karena seorang pria? Ck ... Kakak keterlaluan!” Akane yang mendengar ucapan itu terlontar memalingkan wajahnya ke arah lain. “Tidak ada pilihan lain, bukan? Jika terus seperti ini, rasa cintamu padaku tak akan bisa hilang.” “Kakak bisa bersama dengannya, tapi Kakak tidak bisa mengatur perasaanku. Perasaan ini aku yang merasakan, aku yang menanggung segala sebab dan akibatnya.” “Tapi kau adikku!” “Lalu, apa masalahnya?” “Kau tak bisa mencintaiku!” “Aku mencintai siapa pun, itu adalah hak dan urusanku. Jika Kakak tidak bisa membalasnya, maka itu bukan urusanku. Aku tidak memaksakan perasaanku kepada Kakak, aku juga tidak menuntut Kakak harus membalasnya.” Akane kembali diam. Memang benar Mugi tidak menuntut dirinya untuk membalas, hanya saja ... ia tak ingin menyakiti adiknya dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. “Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecil. Jika memang Kakak ingin aku pergi, setidaknya jangan memberi saran untuk kembali ke rumah! Aku bisa bekerja, aku juga akan keluar dari sini.” Mugi langsung berjalan cepat, ia menuju ke kamarnya. Sepeninggalan Mugi, Akane langsung terduduk. Ia menahan air mata yang siap meluncur dalam waktu dekat. Baru saja ia menyakiti adiknya, baru saja ia membuat Mugi marah. Wanita itu menghela napas beberapa kali, ia kemudian berdiri. Tetapi ... saat ia ingin melangkah ... yang dilihatnya malah mengejutkan. Mugi keluar sambil membawa koper berukuran sedang, pemuda itu tidak menatapnya sama sekali. Akane panik, sebelum Mugi mencapai pintu keluar, ia langsung berlari dan menghalangi jalan adiknya. “Kembali ke kamarmu!” Mugi tak menyahut, ia menatap tajam, lalu beradu pandang dengan saudaranya. “Cepat, kembali! Kau bisa tinggal di sini, jangan seperti anak kecil.” Mugi masih diam, tak ingin ia menjawab satu patah kata pun. Akane yang bingung langsung memeluk adiknya, ia menangis. “Maafkan Kakak, Mugi. Maaf ... Kakak hanya tak ingin kau terus menerus dengan perasaanmu itu. Cinta bertepuk sebelah tangan adalah hal yang menyakitkan, Kakak hanya tak ingin kau merasakannya.” Mugi yang mendengar permintaan Akane masih diam, ia tidak membalas pelukan wanita itu. “Baiklah, kau bebas dengan perasaanmu. Tapi ... Kakak mohon jangan lakukan hal seperti ini.” Mugi segera melepaskan kopernya, ia kemudian melepaskan Akane yang memeluknya. “Aku bisa hidup sendiri, aku bisa mencari uang sendiri, dan aku tak akan pernah merepotkan Kakak lagi. Selamat tinggal, Kakak. Jika Ayah dan Ibu bertanya, katakan saja aku masih tinggal di sini.” Setelah mengatakan hal tersebut, Mugi langsung meraih kopernya, ia kemudian keluar dan meninggalkan kakaknya. Brak ... Pintu apartemen tertutup agak kasar, dan Akane yang kini sendiri langsung terduduk dan menangis. Sakit ... Sangat sakit! Ia gagal menjadi kakak yang baik. Saudaranya pergi karena dirinya, saudaranya juga sakit karena dirinya. “Maafkan aku, maaf ... aku benar-benar tak berguna!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN