Maaf baanyak typo
Happy reading...
"Aku bukan tipe laki-laki yang seperti itu, Inne..."bisik suara itu lirih.
Deg!
Jantung Inne rasanya ingin copot saat ini juga dari rongganya. Apalagi kedua tangan besar, dan kekar yang mendekapnya dengan erat dari belakang, perlahan tapi pasti mulai merayap nakal menyentuh, dan mengelus selembut bulu pada d**a nya saat ini.
"Athar..."desis Inne pelan, dan membuka kedua matanya cepat.
Inne menatap lurus kearah cermin, Athar...ah, laki-laki b******n yang ia lamunkan sedari tadi, kini tengah mendekap tanpa tau malu tubuhnya, dan menopang dagunya diatas bahu berisi, dan lembutnya. Tersenyum begitu manis, balas menatap tatapan kaget, dan bercampur benci dari matanya.
"Syukur'lah kamu baik-baik saja, Inne."Bisik Athar dengan senyum yang masih tersungging dengan indah di kedua bibir tebal kecoklatannya.
Inne memejamkan kedua matanya erat untuk sesaat, sebelum tangan mungilnya menepis dengan kasar tangan laknat Athar yang ingin meraba, dan mengelus perutnya yang membuncit saat ini.
Membuat raut wajah Athar berubah dalam sekejap, senyum manis di raut wajah, dan kedua bibir laki-laki itu langsung lenyap bergantikan dengan raut wajah kaget, berubah datar seakan tengah menahan amarah saat ini.
"Lepaskan tanganmu dari tubuhku!"Geram Inne tertahan.
Inne mengembuskan nafasnya lega, di saat permintaannya langsung di turuti oleh Athar...
Athar bahkan melangkah mundur, menjauh darinya, melangkah menuju jendela yang masih tertutup tirai tipis warna putih tembus pandang kearah taman Inne yang rimbun di belakangnya.
Inne menjongkok dengan cepat untuk meraih daster lusuhnya yang teronggok di lantai, memakai secepat mungkin agar pemandangan tubuh setengah tanpa busananya tidak di nikmati oleh laki-laki b******k di depannya sana.
"Aku terpaksa menikahinya."Ucap Athar dengan nada beratnya, membuat Inne menghentikan gerakannya untuk memakai pakaiannya. Bahkan tanpa sadar, Inne menjatuhkan daster lusuhnya ke lantai lagi. Kedua kakinya melangkah tanpa sadar untuk mendekat pada Athar.
Tidak terlalu mendekat, Inne berdiri dengan jarak sekitar dua meter dari belakang Athar.
"Kenapa?"bisik Inne pelan tanpa sadar.
Tarikan panjang, dan hembusan lelah nafas Athar dapat di dengar jelas oleh Inne dalam kamarnya yang hening saat ini.
"Kenapa?!"
"Kenapa, Athar!"tuntut Inne dengan suara keras, dan tak sabar kali ini.
Bahkan dengan cengengnya, Inne meloloskan air matanya lagi dengan mulus di kedua matanya, membasahi dengan cepat kedua pipinya yang sudah kembali berisi dalam seminggu ini. Walau dalam keadaan patah hati parah, nafsu makan Inne melonjak naik, Inne juga menjaga kesehatannya dengan baik, ada anaknya yang tengah ia kandung, anak yang akan menjadi perisainya, anak yang akan menjadi perlipur laranya, anak yang menjadi alat, dan sarana untuk membuat Athar menyesal di suatu saat nanti.
"Inne..."bisik Athar pelan.
Kedua kaki panjang laki-laki itu mengayun pelan kearahnya. Berdiri tepat di depan Inne. Athar menjatuhkan pelan tubuh tinggi besarnya di depan Inne menjadikan kedua lututnya untuk berdiri, dan dengan tangan yang sedikit gemetar. Tangan besar, dan lebar Athar mengulur pelan untuk membelai perut telanjang Inne yang sudah tidak serata dua minggu lalu.
"Stop!"desis Inne keras, dan melangkah mundur, tak ingin perutnya di sentuh oleh Athar.
Tapi, Athar berhasil menahan kuat pinggul Inne, dan tangan kekarnya, sudah mendarat di perut Inne. Hanya menempel di sana.
Inne menahan nafasnya kuat, di saat Athar mendongak untuk menatap wajahnya.
"Dia sepertimu saat ini. Dia hamil. Mau tidak mau aku harus menikahinya, Inne."
Inne menahan nafasnya kuat. Apa hubungannya dengan Athar?
Sabira hamil? Apa hubungannya dengan Athar....
"Dia hamil anakku juga."Aku Athar pelan, dan kembali menundukkan kepalanya dalam, tak berani
menatap wajah Inne yang terlihat kaget, dan sangat pucat dalam seperkian detik saat ini.
Bajingan kuadrat kau Athar!
Tbc