Chapter 3

1078 Kata
“Suamimu bermain baseball?” satu satunya hal yang langsung menangkap fokus ketiga orang disana adalah keberadaan tongkat baseball yang tersandar apik disamping televisi dengan noda kecoklatan yang terlihat sudah mengering. Rumah ini cukup besar, meskipun bukan tipe rumah modern dan penuh dengan furniture mewah, namun rumah ini cukup besar jika hanya ditinggali oleh sepasang suami istri. Rumah besar namun keadaan yang malah terlihat kosong, membuatnya sadar bahwa rumah ini tak memiliki beberapa benda yang biasanya ada disetiap rumah. “Noda ini darah bukan? Milik siapa?” tanya Eric setelah beberapa kali mengendus tongkat tersebut. Bau khas besi yang mungkin belum lama tertoreh disana masuk ke indra penciumannya, yang hanya dibalas tertawaan menyakitkan dari si empunya jawaban. “menurutmu setelah melihat keadaanku, siapa yang menjadi pemilik darah disana?” “Kalian memang pasangan yang minimalis hingga minim barang seperti ini, atau bagaimana?” tanya Zale terlihat mencoba basa basi, namun mengerahkan semua fokusnya pada titik titik yang mungkin saja tidak akan diperhatikan oleh orang awam. Sedangkan pertanyaannya tadi hanya dibalas senyum canggung oleh sepasang bibir tipis dengan luka sobek diujungnya dan rona keunguan. Tak hanya di bibir. Di mata kanan, leher, lengan, hingga kaki pun terlihat rona dengan warna yang sama, bahkan ada yang sudah kehijauan. Kekerasan rumah tangga. Jika kau bertanya tanya mengenai mengapa wanita ini tak mencari bantuan setiap detik demi detik hidupnya? Farren memiliki banyak alasan untuk membantu wanita tersebut menjawab. Tetangga yang tak peduli, karena dipikirnya itu urusan masing masing keluarga. Namun bisa dipastikan orang yang sama akan menjadi sangat peduli jika mendengar sebuah gosip, yang sebenarnya juga bukan urusan mereka. Terlalu patuh pada suami, karena wanita yang tak memiliki pekerjaan akan berpikir ribuan kali untuk lepas dari kekangan suaminya. Kondisi yang sudah pernah menikah dan berumur cukup, ditambah sudah sekian tahun tak bekerja kepada orang membuat banyak wanita susah untuk mendapatkan pekerjaan kembali saat dirasa akan bercerai. Bukankah setiap orang memiliki banyak maksud untuk menjadi munafik? Untuk menjadi tumpuan kontrol? Mengambil kehidupan seorang wanita, namun di waktu yang sama menghancurkan mereka hingga dirasanya bunuh diri adalah hal yang menjadi opsi positif. Namun membunuh diri sendiri bukan menjadi satu satunya opsi. Bagaimana dengan membunuh? “Private and Confidential. Policy Insurance dengan penerima nyonya Jessica sebesar dua ratus ribu dollar, akan diberikan sebanyak dua puluh lima persen apabila terjadi cedera” suara Farren muncul dari balik kamar milik sepasang suami istri tersebut. “apakah kau sengaja mencederainya, nyonya Jessica?”     Aldeolos     Jika wanita itu berpikir mengenai ruang introgasi yang gelap, hanya diterangi oleh satu lampu gantung remang khas di film film action, maka itu adalah salah besar. Ruang introgasi tak jauh beda dengan ruangan lainnya. Kotak yang tak terlalu besar, sebuah meja ditengah dengan dua buah kursi di masing masing sisi. Ruangan dengan cat putih dan lampu yang cukup terang menerangi. Tak ada kesan gelap sedikitpun, namun atmosfer yang kini semakin mendingin membuat wanita itu mau tak mau bersikap canggung dan pandangan yang tak bisa fokus ke satu titik. “Santai saja, nyonya” ujar Farren sembari tersenyum kecil melihat kegugupannya. Menyodorkan segelas cup kertas berisikan air putih hangat untuk setidaknya menenangkan pikirannya. “kami hanya akan bertanya beberapa hal yang belum jelas” tukasnya lagi. Farren melirik sekilas kearah kanannya, kesebuah cermin untuk merapihkan anak rambutnya yang semakin memanjang- ugh, ingatkan dia untuk bercukur jika kasus ini selesai- sebuah kode untuk rekannya yang ada disisi lain cermin itu. Jika wanita bernama Jesicca ini sering menonton film bertemakan detective, dirasanya ia akan menyadari bahwa cermin tersebut bukanlah cermin satu sisi yang biasa ia pakai berdandan. Ada segerombolan orang yang memperhatikan jalannya introgasi dari ruangan sebelah. “Mengingat ada salah satu pembeli yang berkunjung di toko ayam mu lima belas menit sebelum jam tutup, kita dapat mengasumsikan bahwa mendiang suami mu itu masih hidup pada pukul sembilan empat puluh lima malam” Farren membuka sesi introgasi dengan membalik lembaran kertas yang ia bawa. “bisa sebutkan dimana kau berada setelah pukul sembilan empat puluh lima dan apa yang sedang kau lakukan?” Jessica dengan tremor mengambil mugnya dengan kedua tangan, menyesapnya dengan perlahan untuk merasakan hangat yang melingkupi mulutnya, sebelum kerongkongannya meleguk dengan paksa liquid bening disana dan menyalurkannya ke lambung. “Saya tadinya sedang berada di perjalanan akan berlibur” jawabnya. “Saya ada di terminal bus untuk melakukan perjalanan malam hari, agar paginya saya sudah sampai di kota tujuan”. “ahh begitu” Farren mengangguk dengan tenang. “Santai saja, nyonya. Ayolah, anggap saja ini obrolan biasa. Anggap saja ini bukan introgasi karena bukan dirimu, kan, yang membunuh suamimu sendiri?” “Tentu saja bukan” “Ayo silahkan minum lagi airnya. Ah, atau kau ingin teh? Kopi?” “Tak apa, aku suka air mineral” sanggahnya tak enak. Farren tersenyum simpul, mengeluarkan rokok dari kantung kemejanya, kemudian menyodorkannya satu kepada wanita dihadapannya “Rokok?” tawarnya yang hanya dibalas dengan gumaman bahwa dirinya tidak merokok. “Omong omong soal polis asuransi, bukankah lebih wajar jika dirimu yang membuatnya? Bukankah dirimu yang sering mengalami “cidera”? Kurasa lebih mudah bukan memalsukan cideramu sebagai kecelakaan dibanding cidera suamimu hingga dirinya tak segaja tewas terbunuh?” Jessica mengerutkan dahinya. “maksudmu kau mencurigaiku yang tak sengaja membunuh suamiku sendiri karena ingin mendapatkan uang asuransi?” kembali ke pembahasan awal, pria itu mencoba memancing beberapa hal yang sebenarnya dirinya pun belum menemukan bukti yang kongkrit. Namun, belum menemukan bukan berarti tidak dapat ditemukan. Jangan lupakan statusnya sebagai kepala team detective divisi pembunuhan di kantor polisi pusat. Ace yang selalu digadang gadang dengan prestasinya yang membuat pers mendapatkan berita terkini. “Tidakk.. tidak begitu” sanggahnya. “Aku hanya bertanya, aku pun masih bingung, kau tahu itu”  Jessica yang awalnya nampak gugup, semakin lama semakin kesal karena merasa tuduhan tuduhan yang diberikan semakin memojokkannya. “Menurutmu, mengapa si pelaku harus membakar toko? Kurasa membawa tubuhnya untuk dikubur atau dibuang di suatu tempat akan lebih mudah. Apalagi sudah tak berdaya, tinggal ditutupi oleh beberapa benda” ujar Farren kembali. “bukankah sama saja seperti meninggalkan bukti jika mayatnya hanya terluka bakar sedikit, dan masih utuh untuk bisa di autopsi?” “Mana aku tahu?” sungutnya. “mungkin saja dirinya terlalu dungu, atau kehabisan ide untuk menghilangkan jejak jejak seperti jejak kaki” “Itukah alasanmu membakar toko, nyonya?” lelaki itu menyerang. “Kau tidak merokok tapi aku melihat dua buah korek di tas mu. Bukankah jika suamimu mati, dan kau mendapatkan uang, kau bisa bahagia dan menikah dengan selingkuhanmu, nyonya?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN