Chapter 23

1145 Kata
“ya Tuhan, Britta” satu satunya pria disana mengumpat ketika menyadari bahwa gadis yang kini ada di bawah tanggung jawabannya sudah lemas tak berdaya dan tak sadarkan diri. Terdengar dari deru nafasnya yang perlahan, bahwa gadis itu sudah mengalami sesak nafas yang sangat, membuat Farren berkomat kamit pada sang pencipta semoga gadis itu masih diberikan kekuatan untuk tidak jatuh pada fase terakhir hipotermia. Hipotermia tahap akhir memang menjadi momok yang menakutkan. Bila suhu tubuh terus berkurang hingga menjadi kurang dari dua puluh delapan derajat, maka pasien harus memerlukan pertolongan medis secepatnya karena kemungkinan besar akan henti nafas, pupil tidak reaktif bahkan gagal jantung, edema paru paru dan henti jantung. Untuk saat ini, Farren jadi menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa untuk *mengesot kearah gadis yang jaraknya mungkin sekitar lima meter itu. Ia menggerakkan perutnya sedemikian rupa agar bergerak lebih cepat bak ular yang terburu buru melihat telurnya akan dilahap binatang lain. Britta sudah tak sadarkan diri. Dilihat dari keadaan perut dan dadanya yang terdiam, maka gadis itu sudah ada di tahap henti nafas. Dengan keadaan kaki dan tangan yang sama sama terikat, yang bisa Farren lakukan saat in hanyalah mencoba mengangkat sedikit kepalanya untuk memberika nafas buatan kearah si gadis. CPR yang seharusnya dilakukan dengan nafas buatan dan hentakan di d**a pun tidak bisa dilakukan semaksimal mungkin, karena apa yang bisa ia gunakan untuk menghentak jika tubuhnya sulit bergerak seperti ini. Maka jalan satu satunya yang pria itu lakukan untuk menyelamatkan Britta adalah memberikan nafas buatan, yang diselingi dengan ciuman basah untuk mengembalikan suhu tubuh. Jangan berburuk sangka padanya. Skin to skin sangatlah diperlukan disaat genting seperti ini. Minimal sampai gadis itu bisa kembali bernafas dan membuka matanya, seperti saat ini. Dengan wajah kebingungan, Britta menatap lesu Farren yang wajahnya terlihat sangat merah, sangat kontras dengan keadaan suhu ruangan yang harusnya membuat kulit mereka berdua akan menjadi pucat. Namun berkali kali melakukan transfusi nafas, membuat hal itu sangat wajar untuk terjadi. “Kau tak apa?” ujarnya sembari menatap mata gadis yang posisinya kini ada di sampingnya. Baru Farren menyadari bahwa Britta memiliki pupil hitam legam yang sangat jernih. Benar benar jernih yang bahkan lebih mirip seperti black pearl. Pupil indah yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Belum sempat yang lebih pendek menjawab, tentu saja Farren sudah bergumam membodoh bodohi diri sendiri, karena tak mungkin gadis itu akan baik baik saat disaat ia bisa saja mati saat ini juga. “Tidak!! Jangan tertidur lagi, kumohon” ujarnya kalut ketika melihat mata gadis itu semakin meredup. Seperti terlihat akan pingsan lagi bak beberapa menit yang lalu. Farren menggerakkan tubuhnya heboh, mencoba menjatuhkan pisau kecil yang ia sembunyikan didalam celananya. Pisau yang ia simpan di betisnya menggunakan holding knife untuk berjaga jaga jika situasi mendadak berubah dari rencana. Seperti saat ini. Ketika menyadari bahwa pisaunya sudah terjatuh di lantai, ia dengan susah payah menginjaknya, kemudian membawa tubuhnya merayap dengan kaki yang terus menginjak pisau hingga kini posisi kakinya ada di depan Britta yang tangannya terikat di depan. “Bisa kau ambil pisau itu, dan buka ikatan di tanganku?”  tanya Farren kembali merayap agar posisi tubuhnya sejajar dengan si gadis. Ia membalikkan tubuhnya untuk memunggungi Britta karena kondisi tangannya memang terikat ke belakang. Dengan pusing yang amat mendera dan nafas yang kembali mulai menyesakkan, Britta mencoba mengumpulkan fokusnya untuk memotong tali tebal yang menjadi penghalang gerakan tangan Farren itu. Meminta maaf dalam hati –karena bibirnya tak mampu mengeluarkan suara- untuk banyak luka gores di tangan dan lengan pria itu akibat kecerobohannya karena ia terlalu lemas. Namun, belum sempat tali itu terputus, hilang kembali kesadaran Britta yang membuat pisaunya jatuh dan menimbulkan bunyi gemerencing khas besi sedikit keras menggema. Farren yang merasa ada yang salah memaksakan dirinya untuk menari tali tali yang belum sempurna putus itu. Berjuang selama beberapa menit, ia berhasil- memang-, namun luka dilengannya semakin melebar akibat paksaan tadi. Membuat banyak darah benar benar mengucur dari tangannya. Seolah tak peduli jika ada uratnya yang sobek, Pria itu dengan tergesa mengambil pisau tadi untuk membuka ikatan tali di kakinya, dan ikatan tali di tangan Britta. Dengan tergesa, ia kembali melumat bibir gadis itu pelan untuk lagi dan lagi menyalurkan panas tubuh. Dan... mungkin medis tersebut memanglah benar, karena terbukti dari Farren pun yang kini sedikit merasa kegerahan. “aku kira petualangan kita kali ini adalah action dan mystery. Ternyata malah romansa receh” sebuah suara mencemooh membuat Farren menengokkan kepalanya ke sumber suara. Yang indra pengelihatannya dapat dan disalurkan ke otak adalah sosok ketiga orang yang beberapa menit lalu sempat menjadi harapannya. Syden, Dylan dan Eric. Ketika pria yang kini dengan mengendap endap, enggan membuat suara terlihat berpegangan pada tali dan turun dari jendela tinggi yang ada di pojok atas ruangan. “Bukannya komedi romansa?” tanya Syden membalas pernyataan dari Eric sembari terkekeh dan melirik kearah rekan lain yang ada di sampingnya. Enggan meneruskan candaannya, Farren menghela nafas lega kemudian dengan tertatih menghampiri mereka bertiga untuk meminta ketikanya melepaskan pakaian hangat masing masing. Dengan sigap, keempat orang itu kini mengerubungi tubuh Britta untuk memasangkan banyak pakaian agar suhu tubuhnya kembali naik meskipun suhu ruangan masih lah dibawah nol derajat. “Hipotermia?” “Ya” ujar Farren sekenanya. “maka dari itu, jangan berprasangka macam macam padaku” ujarnya yang dibalas kekehan oleh dua rekannya yang lain. Dylan yang sedari tadi terdiam sibuk dengan tali tali dan kaitan yang kini dipakaikan di tubuh si gadis. Syden yang memperhatikannya hanya membantu agar tubuh Britta bisa diangkat dan dikaitkan di tubuh Dylan tanpa ada kesalahan sedikitpun. “Penjelasannya nanti-“ ujar Eric ketika menyadari bahwa ketuanya itu masih belum paham dengan dimana posisi ia berada saat ini. “tapi intinya, kau ada di ruangan peti es, disebuah pabrik yang ada di kawasan luas miliki seseorang dengan tanda pribadi, yang jaraknya sangat jauh dari desa Asgardia. Kebetulan- atau sialnya, lantai ini adalah lantai empat alias kita harus naik dan turun diam diam dari jendela itu, karena diluar langsung berhadapan dengan jala setapak, bukan dengan area pabrik atau kawasan pribadi itu” ujarnya dengan cepat. Syden turun pertama untuk menjaga Dylan yang menggendog Britta selanjutnya dari bawah. Dengan fokus, ia meletakkan telapak tangannya untuk menahan juga melepas tali. Juga, telapak kakinya berfokus untuk memijak pijak pela sembari mengayunka diri di dinding gedung yang sejujurnya terlihat sangat tidak terawat itu. Dengan berjingkat jingkat, kelima cucu adam itu berhasil keluar dari jalan setapak menuju jalanan besar yang jaraknya memang jauh dari sana. Selama berjalan, Dylan tetap menggendong Britta sedangkan Syden sibuk membenahi pakaian gadis itu agar suhu tubuhnya kembali normal. Dalam perjalanan kembali ke desa Asgardia, sejujurnya mereka pun sempat ketakutan- atau lebih tepatnya khawatir- jika terjadi sesuatu dijalan. Namun, hingga mereka sudah kembali ke pedesaan dan disambut oleh pak Shue dan keluarga, tak ada hal aneh apapun yang terjadi. Tapi pikiran pikiran negatif tetap muncul di kepala ketiga orang yang belum merasakan apapun. “Jangan jangan.. aku target selanjutnya”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN