Chapter 36

1680 Kata
Ini pukul tiga sore ketika langit masih menunjukkan tanda tanda cerah dengan tak adanya awan yang menutupi indahnya cakrawala. Tak ada kabar burung bahwa hari akan menggelap karena kumpulan kapas yang membawa air itu, sehinga akhirnya kedua orang yang baru saja menyelesaikan shiftnya- berganti bajunya di kantor tanpa pulang lebih dahulu memutuskan untuk bepergian mengguakan motor milik Kael yang tak pernah ia pakai semenjak sibuk bekerja. Mereka sudah menyelesaikan shiftnya kemudian esok hari keduanya sama sama libur, dan lusanya mereka sudah menukar shift agar keduanya masuk shift malam. Berarti, waktu yang mereka miliki sejak detik itu hingga nanti adalah hanya lima puluh satu jam. Cukup untuk mereka berkeliling desa dan kembali ke rumah mendiang Seje beserta akumulasi perjalanan pulang pergi sekitar tiga puluh jam jika mereka tak banyak rehat di jalan. Pun, mungkin jika menggunakan motor, dalam sebaliknya mereka mungkin hanya memakan waktu dua belas jam, jadi pulang pergi mereka hanya memerlukan dua puluh empat jam. Yah... setidaknya mereka bisa menumpang tidur satu dua jam di desa dan saat pulang bisa tidur lebih dahulu sebelum memasuki shift bekerjanya kembali. Ini akan menjadi lima puluh satu jam yang sangaattt melelahkan, namun akan lebih melelahkan lagi jika mereka tak cepat cepat menangkap pelakunya. Kael dan Syden sudah siap dengan tas punggung masing masing yang memang tak berisikan banyak hal. Hal yang terpenting dan harus dibawa oleh mereka hanyalah ponsel, dompet, jas hujan dan sisa lowong di tas akan mereka pakai untuk memasukkan makanan makanan pengganjal perut jika mereka melewati minimarket nantinya. Karena dari perbatasan hingga menuju desa pun memerluka waktu berjam jam dengan tidak adanya warung milik warga sekitar untuk mereka mengisi perut. Mereka tidak terang terangan berangkat dari parkiran kantor, tentu saja. Misi mereka dicabut yang mana artinya mereka tidak boleh ketahuan tengan menjalani misi yang lama. Pun, mereka masih menaruh banyak curiga terhadap orang orang kepolisian yang sialnya diantara banyaknya manusia itu, terdapat satu iblis yang menyamar dan tak dapat mereka deteksi dengan mata telanjang. Kael yang sengaja menyimpan motornya di parkiran minimarket yang cukup jauh harus membuat keduanya diam diam berjalan sekitar lima sampai sepuluh menit dahulu. Bergegas memakai helm masing masing kemudian menghidupkan gas motor ketika keduanya sudah selesai dengan urusan jajan di minimarket tadi. Perjalanan yang dapat dibuktikan lebih cepat dari menggunakan mobil itu –hanya dua belas jam- diwarnai dengan beberapa kali turun untuk beberapa hal, seperti memakai jas hujan, hingga memakan sesuatu di rest area atau di kedai sederhana milik warga setempat. Melewati jalan dimana sebulan yang lalu mereka harus berjalan karena tertutupi longsor pun dapat dilewati dengan selamat karena area dampak longsor sudah digali untuk membuat jalan darurat dan kini banyak warga yang menginap di sekitar sana agar lebih mudah dan cepat memperbaiki jalanan yang mati total itu. Ini sekitar pukul empat pagi pagi buta ketika kendaraan roda dua itu sampai kembali di desa Asgardia. Dua belas jam bergantian menyetir dengan mata yang benar benar harus dibuka meskipun tak sengaja tertidur rasanya pasti akan menyenangkan, namun mereka tak ingin cara masalah dengan tertidur diatas motor yang tengah melaju. Omong omong, untung saja kedua pria ini bukanlah orang yang penakut. Karena tengah malam sesekali melewati hutan membuat bulu kuduk bisa berdiri karena sugesti yang berlebihan. Tak ingin membuat keluarga pak Shue dan warga desa lainnya terbangun, mereka memilih mematikan mesin motor ketika sudah sampai area Asgardia. Mendorongnya selama beberapa menit hingga mereka sampai di rumah yang dahulu sempat mereka tempati. Rumah yang kini lampunya tetap dinyalakan agar seisi desa tetap terang benderang meskipun malam hari. Sepertinya trauma benar benar menyelimuti seisi desa yang sangat cantik ini. Lagi dan lagi tak ingin merepotkan, kedua memilih untuk tertidur di teras rumah tersebut tanpa ingin pergi ke kediaman tuan Shue untuk sekedar meminta kunci. Sangat merepotkan sekali. Toh mereka akan berada disini tak lama dan harus segera kembali. Tertidur tiga sampai empat jam di teras bukanlah hal sulit. Paling keduanya akan demam dan flu batuk saja karena tadi sempat dihadang hujan dan kini tertidur dengan baju tipis tanpa selimut sehelai pun. Dan.. hal tersebut terbukti dengan pusingnya kepala mereka ketika keduanya dibangunkan oleh tuan Shue disaat matahari sudah terbit. Dengan pusing yang mendera kepala, suara yang serak akibat menahan batuk dan flu yang terus membuat mereka bersin, keduanya awalnya ditemukan oleh salah satu arga desa yang kebingungan dari mana asalnya suara batuk dan bersin yang berkali kali terdengar. Diikuti asal suaranya lalu ia menemukan dua onggok manusia saling mengerutkan diri menahan angin yang mencoba memasuki tubuh. “Kenapa kalian berdua disini?? Kenapa tidur seperti iniiiiii” panik ibu Irene ketika menyadari baju kedua pria itu lembab. Mungkin karena hujan kemarin atau embun pagi ini. “Yatuhan, kalian bisa sakit!! Ayo kemari” ujar ibu berparas cantik itu cerewet sembari menarik tubuh Kael dan Syden yang masih dalam mode linglung bangun tidur menuju rumahnya. “Kenapa tidak bilang kalau akan kesini?? Kenapa saat sampai tidak bilang pada kami?? Kenapa memakai baju basah, yatuhan, anak jaman sekarang kenapa urakan semua” gerutunya sembari masih menarik tangan Kael untuk memasuki kediaman keluarga Shue. “Mandi!! Ganti baju kalian, aku sudah memasakkan air hangat. Sehabis itu langsung keruang makan. Tidak ada protes dan prosesi meminta maaf. Cepat kalian mandi” ujarnya galak ketika menyadari bahwa Syden sudah bersiap siap dengan segala argumen yang akan ia keluarkan. Kini, keduanya pun berakhir dengan memakan sarapannya dalam keadaan hangat dan nyaman di kediaman tuan Shue. Tentu saja masih dengan cerewetan nyonya Irene mengenai betapa tak pedulinya mereka berdua terhadap kesehatan tubuhnya sendiri. Pagi itu, mereka memakan sup daging dengan rempah yang sangat menyegarkan, namun disisi lain memberikan stamina. Mungkin jika bu Irene berkediaman di kota, beliau akan memiliki rumah makan dengan pelanggan yang tak akan pernah sepi. “Jadi, hal apa lagi yang perlu kalian periksa sampai sampai kalian tiba tiba datang kemari??” ujar pak Shue ketika semuanya selesai menyantap isi piring masing masing, dan kini mereka tengah berada di teras untuk meminum teh hangat yang dibuatkan oleh ibu rumah tangga itu. Pun tak dapat berbohong mengenai kedatangan mereka, karena- apa lagi yang dilakukan dua orang detective yang datang tiba tiba di lokasi yang sampai saat ini masih menjadi lokasi dalam pengawasan kepolisian? “Ada beberapa hal yang harus kami periksa lagi. Omong omong, jangan beri tahu siapa siapa ya mengenai kedatangan kami, selain enam orang yang lainnya maksudku” ujar Syden berhati hati. “kenapa?” “Sebenarnya misi kami dicabut oleh pusat, makanya saat itu kami langsung kembali ke kota meskipun tak banyak hal yang bisa dilaporkan. Kami kemari diam diam karena merasa ada sesuatu yang janggal” “Apakah separah itu?? Apakah kami harus mengungsi ke daerah lainnya??” “Hm...” Syden bergumam ragu. “Kami tak tahu seberapa besar kadar gila si penculik ini. Namun kami tak tak bisa bilang juga bahwa kalian harus mengungsi. Kasus ini memang masih abu abu, namun bangkainya sedikit demi sedikit mulai tercium" ujarnya lagi dengan ragu. Dan kini.. disinilah keduanya. Dihadapan rumah mendiang Seje yang bekas pembunuhannya sudah menghilang- tentu saja karena dibersihkan karena tak ingin menyebar bau busuk-, namun hawa hawa tak mengenakkan masih melingkupi rumah tersebut. Kini, satu satunya yang bisa keduanya lakukan adalah menyisir ulang rumah tersebut untuk sekiranya menemukan sesuatu yang tertinggal, meskipun hanya secuil evidence untuk menambah list barang bukti. Tapi nihil. Tak ada satupun benda yang akan berguna untuk mereka. Keduanya keluar dari rumah tersebut dengan perasaan kecewa yang tak terbendung. Merasa mungkin kedatangan mereka kemari yang penuh perjuangan itu akan berakhir sia sia. “Oh hai.. kalian datang lagi kemari” suara khas perempuan masuk ke indra pendengaran mereka. Membuat keduanya langsung refleks menengokkan kepalanya mereka ke sumber suara, dimana keduanya melihat ada sesosok gadis dengan senyum merekah yang sebulan lalu sering menyapa mereka. “Ah.. hai” sapa Kael tak kalah ramahnya sembari menggoyangkan telapak tangannya. “Kalian kembali kemari rupanya..” ujar gadis tersebut ikut melongokkan kepala, mencoba melihat keadaan rumah mendiang Seje yang memang belum mereka tutup itu. “Iya.. ada hal yang perlu kami periksa” “Oh begitu...” ujarnya dengan nada sing a song. “Dahulu, rumah ini menjadi tempat favorite ku setiap pulang sekolah karena mendiang mbak Seje adalah orang yang ramah, mau mendengar segala keluhanku” ujarnya yang sejujurnya sedikit t m i, namun tak apa- mungkin ada hal yang akan berguna. “Jadi, kau benar benar dekat dengan mendiang Seje?” “Ya.. bisa dikatakan seperti itu” jawabnya polos. “Ah.. bicara tentang beliau, aku baru mengingat bahwa ia memiliki sebuah perkebunan. Sayang sekali perkebunannya kini tak bertuan” ujarnya dengan nada sedih “Seje memiliki perkebunan?? Bukan hanya hobi bercocok tanam di halaman rumah, namun perkebunan??” tanya Syden kaget karena info tersebut tak pernah masuk ke telinga mereka. “Ya. Mendiang Seje memiliki perkebunan buah. Namun buahnya bukan buah untuk dimakan, melainkan buah untuk obat” ujarnya yang langsung membuat keduanya mengingat akan dua hal yang terjadi pada mereka. Salinan kerjasama penjualan buah, dan buah yang didengar oleh Farren ketika diculik. Disisi lain, iris mata seorang pemuda yang dibalut kacamata bulatnya itu terus bergerak memperhatikan kumpulan gambar dan kelimat yang tertera di hadapannya. Jari jemarinya tak dapat diam barang sedetik saja, bergerak luwes menari dtas keyboard komputer bak seorang pianis terkenal. Eros- pemuda tadi- tetap fokus memperhatikan apa yang tengah dicari oleh profesor yang biasa bekerja bersama dirinya. Profesor yang saat itu pun bekerja untuk penyelidikan forensik di kasus kematian mumi pemilik toko ayam yang terbakar. Prof. Robert. Pria paruh baya yang kini tengah bekerja untuk Eros dalam misi diam diamnya. Memindai potongan sidik jari yang didapatkan juniornya dari sebuah surat yang katanya ada campur tangan mengenai psikopat yang tengah mereka cari. Menit demi menit berlalu. Tak bisa secepat yang selalu di tampilkan di film film, tentu saja. Ada ratusan juta penduduk di negara mereka, dan mereka harus membandingkan satu persatu sidik tersebut dengan sidik yang kini samplenya ada di tabung khusus. Menunggu dengan telaten sembari kerut gelisan terlihat muncul dan tak hilang dalam jangka waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya, sebuah tanda berwarna hijau dari gadget tersebut terlihat, menandakan mesin tersebut menemukan siapa empu dari pemilik sidik jari misterius tadi. Dan dia adalah...

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN