Episode 7

1962 Kata
Sina mengerutkan dahinya melihat pintu rumahnya sudah terbuka sedikit, Sina pikir dia sudah menutup pintu sebelum pergi. Sina lalu membuka pintu, matanya melebar saat melihat seseorang duduk di sofa. Sina kaget melihatnya, sedangkan Alma terpesona melihatnya, karena untuk pertama kalinya, Alma melihat secara langsung seorang Arsen Matteo Pahlevi. "Na, itu Kak Arsen kan?" Alma menyenggol lengan Sina. Sina melangkah lebar mendekati Arsen dengan rasa kesalnya. Arsen sudah masuk ke rumahnya tanpa ijin, penyusup, "Gimana bisa lo masuk ke rumah gue, hah?!" Sina bertolak pinggang, Arsen menatapnya datar, "Aku melihat rumah kamu tidak terkunci, jadi aku masuk. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." "Lo pasti sengaja kan menyusup ke rumah gue?! Sebelum gue pergi, gue udah ngunci pintu, nggak mungkin rumah gue belum ke kunci, lo pasti cuma alasan doang, ngaku lo!" Arsen menunjukkan pada Sina dengan matanya untuk melihat pintu, Sina mengerutkan dahi, dia melihat apa yang Arsen coba tunjukkan padanya. Sina melihat kunci masih menggantung di dalam, itu berarti Sina belum menguncinya. "Kalaupun gue belum mengunci pintu, bukan berarti lo bisa sembarangan masuk ke rumah gue. Gue bakal laporin lo ke polisi karena udah masuk ke rumah gue tanpa ijin." Arsen menarik sudut bibirnya, geleng-geleng kepala melihat tingkah Sina yang tidak masuk akal. Sina yang teledor tapi menuduh orang lain, "Aku bahkan tidak melakukan apapun di rumah kamu. Harusnya kamu berterima kasih karena aku yang datang, bagaimana kalau orang lain yang datang? Semua barang-barang di rumah kamu pasti sudah hilang semua." Sina melotot, Alma mencoba menenangkan Sina. Alma setengah berbisik pada Sina, "Kak Arsen benar, kalo aja Kak Arsen nggak datang, mungkin aja ada pencuri yang masuk ke rumah lo Na." "Kenapa lo malah belain dia Al?" Arsen hanya berdiri melihat dua orang di depannya ini tengah berbisik-bisik. Sina kembali menatap Arsen, menyilangkan kedua tangannya di depan d**a dengan raut wajah menantang, "Mau apa lo ke rumah gue?" "Kamu harus ikut denganku." "Buat apa gue ikut sama lo?" Arsen berdecak, dia menarik tangan Sina tanpa memberitahunya. Sina membelakakkan matanya, dia menarik tangannya sendiri, "Lepasin gue!" Arsen melepaskan tangan Sina, "Kamu harus ikut denganku, ada hal yang harus kita bicarakan." "Kita bisa bicara disini, dan gue nggak perlu ikut lo." Sina menolaknya. Sina pikir tidak ada yang perlu mereka bicarakan, karena semenjak kakaknya meninggal, Arsen tidak ada hubungan dengan keluarganya lagi. "Kita tidak bisa berbicara disini." "Kalo gitu, gue juga nggak akan pergi kemanapun. Karena gue ada urusan yang lebih penting." Sina membuang muka, pergi meninggalkan Arsen. Namun baru beberapa langkah, Arsen lebih dulu menarik tangannya. Sina memekik, "Lepasin gue! Lepasin woy!" Arsen terus menarik Sina untuk ikut dengannya, walaupun Sina terus berteriak agar melepaskannya. "Alma! Tolongin gue!" Alma kebingungan, dia jelas tidak berani menolong Sina. Arsen merasa telinganya sakit karena Sina yang terus berteriak-teriak, Sina bertingkah seolah-olah Arsen ingin memperkosanya. Arsen memasukkan Sina ke mobilnya lalu menutup pintu dengan keras, membuat Sina tersentak. Memang harus seperti itu, jika tidak, Sina akan terus memberontak. Arsen masuk ke mobil, Sina benar-benar sangat kesal dengan laki-laki di sampingnya. Mengusap tangannya yang sedikit kemerahan karena Arsen menariknya secara paksa, "Apa lo nggak bisa bersikap lembut sama cewek hah?! Kenapa juga lo harus maksa cewek yang jelas-jelas nggak bisa ngelawan lo." Arsen tersenyum tipis, tidak bisa melawannya? Sejak tadi bahkan Sina sudah bisa melawannya. Arsen menjalankan mobilnya, membawa Sina pergi ke rumahnya. Sina terkejut, "Hey! Lo mau bawa gue kemana hah?! Berhenti nggak?! Gue bilang berhenti!" "Sedari tadi kamu terus berteriak, apa kamu akan mati kalau diam?" Ucap Arsen dengan nada datar sambil menatap jalan di depan. Sina mengerucutkan bibirnya, Sina memang tidak bisa diam jika seseorang sudah membuatnya kesal seperti ini. "Kalo lo nggak maksa gue, gue juga nggak mau kali teriak-teriak gini." Sina mengusap lehernya, "Tenggorokan gue sampai kering tau nggak." "Memangnya kalau aku tidak memaksa kamu, kamu mau ikut denganku?" Arsen juga terpaksa memaksa Sina, kalau bukan karena permintaan aneh neneknya. Arsen tidak akan membuang-buang waktunya untuk menemui Sina, apalagi Arsen tau, Sina tidak menyukainya. Arsen juga tidak menyukainya. Sina menyilangkan tangannya di depan d**a, "Sekarang bilang sama gue, kenapa gue harus ikut lo?" "Aku akan menjelaskan nanti setelah sampai di rumah." Sina berdecak, sebenarnya apa yang Arsen inginkan darinya? Kenapa juga Arsen tidak bisa membicarakannya sekarang? Sina memilih untuk diam dan menatap ke depan. Percuma Sina terus bertanya kalau Arsen tetap tidak mau mengatakannya. ******* Sina menatap rumah mewah yang kini berada tepat di depannya. Pertama kali Sina ke rumah mewah itu sekitar 3 tahun yang lalu. Pertama kalinya juga, Sina dan kakaknya mengalami pengalaman yang buruk di rumah itu. Pengalaman saat dia dan Nataya, dihina dan direndahkan keluarga Arsen. "Masuklah." Arsen lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sina ragu untuk masuk, dia memilih untuk berdiri di luar. Arsen membalikkan badannya, Sina masih berdiri tidak mau mengikutinya, "Masuk, apa kamu ingin tetap disitu?" "Gue disini aja lah." "Tidak bisa, kamu harus masuk." Sina menggeleng, Arsen memegang tangan Sina, "Apa kamu ingin aku memaksamu lagi? Ayo masuk." "Eh?" Sina merasa tangannya ditarik, mau tidak mau, Sina harus masuk ke dalam. Sekarang, Sina sudah berdiri di belakang Arsen. Di depannya, keluarga Arsen sudah berkumpul. Karena terhalang tubuh besar Arsen, membuat Sina tidak terlihat dari depan. "Arsen, dimana Sina? Bukannya kamu pergi menemui dia?" Tanya Richard. Arsen mengangguk, dia bergeser ke samping sehingga semua keluarganya bisa melihat Sina yang kini berdiri di belakangnya. Sina menelan ludah karena semua keluarga Arsen tengah menatapnya. Apalagi Indira dan Shiren yang kini menatapnya sinis. Sina tersenyum, menangkupkan kedua tangannya memberikan salam. "Silahkan duduk." Richard mempersilahkan Sina untuk duduk. "Tidak usah om. Saya--" Arsen lebih dulu menarik tangan Sina untuk duduk di sofa kecil, lalu Arsen duduk di depannya. Di sofa panjang bersama keluarganya. "Sebenarnya ini ada apa ya, kenapa tiba-tiba Arsen datang ke rumah saya, bahkan memaksa saya untuk datang ke rumah kalian." Sina berkata terus terang, jujur dia tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini. Sina merasa sedang berada di pengadilan, lalu Sina lah yang menjadi tersangka. "Om minta maaf karena sudah membuat kamu tidak senang, karena ada hal yang ingin kita bicarakan dengan kamu." "Memangnya apa yang ingin om bicarakan?" "Kami sengaja berkumpul disini untuk menunggu kamu datang untuk membahas soal surat wasiat yang Nenek Arsen buat." Richard sudah memegang dokumen berisi surat wasiat. "Lalu, apa hubungannya dengan saya?" "Bisakah kamu mendengarkan dulu apa yang akan suami saya katakan sampai selesai, baru kamu boleh berbicara." Ucap Indira menyela. "Tidak sopan." Shiren juga ikut menyela dengan nada ketus. Sina menggertakan giginya, kalau bukan karena menghormati Richard, Sina pasti sudah mencubit mulut julid Shiren. "Jadi begini Sina, kami mengundang kamu kesini karena di dalam surat wasiat yang Nenek Arsen buat, berhubungan dengan kamu." Sina membuka mulutnya untuk menyela pembicaraan Richard, tapi saat melihat Arsen melotot ke arahnya, Sina kembali menutup mulutnya. Mendengarkan penjelasan yang Richard katakan. "Disini tertulis bahwa seluruh hak waris atas harta Nenek Arsen yang ditinggalkan, akan di berikan pada seluruh anggota keluarga jika, Arsen bersedia untuk menikah dengan kamu Sina." Sina jelas terkejut, Sina dan keluarga Arsen sudah tidak ada hubungan apapun. Bahkan sebelum kakaknya meninggal, Sina sama sekali tidak pernah menganggap Arsen sebagai kekasih kakaknya. Sina pikir, Nenek Arsen tidak sadar saat menuliskan surat wasiatnya. "Tapi om, mungkin Nenek Arsen salah menuliskan nama, mungkin saja bukan Sina, tapi perempuan lain." "Tidak Sina, disini sudah di sebutkan bahwa Arsen harus menikah dengan Sina, adik dari Nataya." Richard menyerahkan dokumen itu pada Arsen, lalu Arsen memberikannya pada Sina. Sina mengambilnya dan membaca semuanya. Matanya terbuka lebar saat membacanya, ternyata benar, disana tertulis, Sina Diana adik dari Nataya Diandra, mantan kekasih Arsen Matteo Pahlevi. Sina menggelengkan kepalanya, tidak terima dengan apa yang sudah Nenek Arsen tuliskan, "Maaf, saya tidak bisa menikah dengan Arsen. Saya tidak tau kenapa Nenek Arsen meminta Arsen untuk menikah dengan saya, tapi yang pasti saya tidak mau menikah dengan Arsen." Sina menolak keras, jelas-jelas ini masalah keluarga Arsen, tidak ada hubungannya dengan Sina. Sina juga tidak perduli soal harta warisan mereka. Terserah mereka mau melakukan apa saja, asal tidak melibatkan Sina. "Tapi setelah kamu menikah dengan Arsen, kamu juga akan mendapatkan hak waris Sina." Ucap Laras, adik Richard. "Saya tidak butuh harta kalian. Ini hidup saya, saya berhak memutuskan apa yang saya inginkan. Dan saya tetap tidak mau menikah dengan Arsen." "Kenapa kamu begitu keras kepala hah? Seharusnya kamu bersyukur karena menikah dengan Arsen dan mendapatkan warisan dari keluarga Pahlevi juga." Indira menatap Sina dengan sinis. "Kalau bukan karena permintaan Nenek Arsen, kami juga sebenarnya tidak setuju kamu menikah dengan Kak Arsen, sudah cukup Kak Arsen berpacaran dengan Nataya. Malah sekarang, adiknya." Sina mendengus, setiap kali Indira menyela, Shiren selalu ikut-ikutan. Memangnya mereka pikir, Sina juga menginginkan Arsen atau harta mereka? Sina bisa hidup tanpa uang dari mereka. "Kenapa harus saya? Kalian bisa kan memilih perempuan lain? Masih banyak perempuan di luar sana, lagipula saya sama sekali tidak menyukai Arsen." Sina mengangkat bahunya menatap remeh Arsen. Arsen lebih memilih untuk diam saja karena jika Arsen menanggapi Sina, akan menimbulkan masalah baru. Karena Arsen tau, Sina begitu keras kepala dan rebellion. "Sina, kami tidak akan memaksamu. Tapi kami mohon untuk memikirkannya lagi. Ini bukan sekedar karena surat wasiat atau untuk mendapatkan warisan, tapi ini permintaan Ibu saya sebelum beliau meninggal. Saya ingin Ibu saya senang karena permintaannya bisa terpenuhi. Saya mohon." Sina merasa tidak nyaman saat Richard memohon seperti ini. Tapi Sina juga tidak tau apa yang harus dia lakukan sekarang. Sina menatap semua orang, dia mengeluh dalam hati, Sina sekarang berada di situasi yang membingungkan. "Baik Om, saya akan memikirkannya lagi. Tolong beri saya waktu." Richard tersenyum, "Tentu saja, kami akan memberimu waktu. Jika kamu sudah bisa memutuskan, kamu bisa mengatakannya pada Arsen." Sina mengangguk, dia berdiri dan berpamitan, "Kalau begitu, saya permisi." Sina pergi, Richard menyuruh Arsen untuk mengantarkan Sina. Arsen lalu mengikuti Sina. Richard menghela nafas, dia berharap Sina mau menikah dengan Arsen. Dengan begitu, Ibunya bisa beristirahat dengan tenang. Sina tersentak karena seseorang menarik tangannya, "Eh? Lo mau bawa gue kemana lagi hah?!" Arsen memasukkan Sina ke mobilnya, dia lalu ikut masuk, "Aku akan mengantar kamu pulang." "Tidak usah, aku bisa pulang sendiri." Terlambat, Arsen lebih dulu menjalankan mobilnya meninggalkan rumah. Arsen yang membawa Sina ke rumahnya, itu berarti Arsen juga yang akan mengantarkan Sina pulang ke rumahnya sendiri. "Kenapa si, lo suka banget maksa gue? Oh, atau jangan-jangan lo sengaja kan mau modus sama gue?" Arsen menarik sudut bibirnya tersenyum tipis, geleng-geleng kepala melihat Sina yang tingkat percaya dirinya tinggi. Sina melihat Arsen, "Kenapa lo senyum-senyum?" "Apa kamu pikir, kamu secantik itu, sampai aku modus sama kamu?" Sina melebarkan matanya, tidak terima dengan kata-kata Arsen yang terkesan menghinanya, "Gue emang nggak cantik, tapi gue bisa membuat seseorang terpesona sama gue. Asal lo tau, bukan cuma cowok di bar beberapa bulan yang lalu yang mengklaim gue sebagai pacarnya. Tapi udah banyak cowok yang ngelakuin itu juga. Jangan ngeremehin gue lo!" Omong kosong, pikir Arsen. Arsen bahkan tidak perduli dengan cerita Sina yang terkesan memuji dirinya sendiri. "Aku pikir, laki-laki itu sudah tidak waras." Arsen bergumam, Sina mendengarnya, dia langsung memukul lengan Arsen. Arsen merasa lengannya sakit, ternyata tenang Sina cukup kuat, "Kenapa kamu memukulku?" "Maksud lo apa ngomong gitu?" "Apa? Aku tidak mengatakan apapun." "Bohong banget lo, lo pikir gue budeg!" Arsen mengendik, "Lalu, bagaimana soal permintaan Nenek? Apa kamu mau menerimanya?" "Kenapa? Emangnya lo mau nikah sama gue?" Arsen mendadak menghentikan mobilnya, Sina mengerutkan dahinya, "Kenapa lo berhenti?" "Aku tidak mau menikah denganmu, tapi ini permintaan Nenek, selama ini aku tidak pernah menentang semua keinginan Nenek." Arsen bersyukur karena Neneknya bisa menerimanya walaupun Arsen hanya anak angkat. Untuk membalas semua kebaikan Neneknya, Arsen sekalipun tidak pernah menentang apa yang Nenek nya inginkan. Dan saat Neneknya memintanya untuk menikah dengan Sina, Arsen benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya. "Gue nggak tau, gue butuh waktu buat mikirin semuanya." Arsen mengangguk, dia kembali menjalankan mobilnya. "Aku harap kamu bisa memikirkannya baik-baik." ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN