Ch.01 Akibat Salah Kamar
“Aku tidak tahu siapa kamu, tetapi keharumanmu sungguh membuatku ingin bercinta! So, please … be a good girl, dan biarkan aku mengeluarkan semua hasrat terpendamku malam hari ini!”
Reagan Aaron Lycus, seorang Putra Mahkota dari organisasi hitam bernama Klan Lycus kini tengah berada di atas ranjang dengan wanita yang sama sekali belum pernah ia temui sebelumnya. Wajah jelita serta moleknya liuk tubuh sintal membangkitkan hasrat kelaki-lakian yang telah nyaris mati selama dua tahun terakhir.
“f**k …!” engahnya ketika merasa apa yang ada di antara kedua kaki kian menegang. Otaknya sudah tidak dalam keadaan normal. Ia juga belum pernah merasakan kondisi tubuh yang begitu panas serta begitu ingin bercinta.
Kulit lembut wanita yang hanya diam, terkadang mendesah dalam erang, dan memejamkan mata telah membuat sang lelaki makin menggelora. “Aaah! Aku tidak tahan lagi! Aku harus melakukannya!”
“Aku … mmmhhh …, si-siapa …?” racau pemilik bibir merah muda, menggeleng lemah.
Reagan masih belum sepenuhnya mengerti kenapa ia bisa begini. Terakhir yang ia ingat hanyalah sedang di klub malam lantai satu bersama teman-teman kuliahnya dulu, lalu mendadak seluruh tubuhnya panas. Setelah itu, ia berniat kembali ke kamar tempatnya menginap, tetapi kenapa bisa ada wanita ini di dalam kamarnya?
Apa pun itu, siapa pun wanita ini, yang jelas sekarang sang Tuan Muda Lycus telah mulai menurunkan resleting celananya guna menuntaskan apa yang terlalu mendesak, mendorong aliran darah hingga memompa jantung sangat kencang.
Dan sedikit demi sedikit, lengan kekarnya mulai membuka satu per satu pakaian wanita yang sedang ia tindih di bawah tubuhnya.
***
-Satu Jam Lalu-
“Minum, minum, minum!” teriak empat orang lelaki menyemangati Reagan sambil tertawa dan terbahak bersama. Mereka bertepuk tangan meriah ketika Putra Mahkota Klan Lycus tersebut berhasil menenggak segelas Tequila untuk yang kesekian kalinya.
Entah sudah berapa gelas yang diteguk Reagan sejak permulaan permainan. Iya, mereka mengadakan sebuah permainan yaitu menggoda wanita untuk mendapatkan nomor telepon. Dia yang kalah harus meminum satu gelas Tequila, bahkan tanpa menggunakan garam di tepian gelas untuk meminimalisir rasa.
Reagan bukan tipe lelaki flamboyan yang suka menggoda wanita, apalagi melakukan one night stand alias cinta satu malam.
Tidak seperti sang ayah yang dulu dikenal dengan kepiawaiannya menjadi Don Juan, sepak terjang Tuan Muda Lycus di dunia perwanitaan Kota New York kurang bisa dibilang menarik.
Singkat cerita, Reagan berkali-kali gagal mendapatkan nomor telepon wanita akibat keenggannya untuk sungguh-sungguh mengenal wanita di klub malam tersebut.
“Yeaaahhh!” teriaknya ketika telah menghabiskan satu sloki kecil Tequila. Ia sampai memicingkan mata untuk menahan rasa tertentu yang menghentak di kerongkongan, lalu menggeleng dan terbahak.
Sementara untuk urusan minum minuman beralkohol, di situlah namanya begitu tersohor. Ia memang cukup kuat untuk menenggak cairan memabukkan itu karena sudah diajari oleh sang ayah sejak sepuluh tahun lalu. Kini, ia menginjak usia 30 tahun.
“Kita teruskan atau tidak?” tanya salah seorang sahabat sambil merangkul Reagan yang sudah mulai tidak bisa berdiri tegak setelah lebih dari lima gelas Tequila ia tenggak dalam waktu berdekatan.
“Wait! Aku butuh minum yang lain dulu!” seru Tuan Muda Lycus menggeleng, merasa ia perlu menyegarkan mulut serta kepalanya terlebih dahulu. Maka, ia berjalan ke bar dan meminta bartender untuk membuatkannya sebuah minuman ringan menyegarkan.
Seorang lelaki duduk di sebelahnya dan tersenyum, “Quite a bussy night, bukankah begitu, Tuan Muda Lycus?” senyum pria asing tersebut.
“Apa aku mengenalmu?” tanya Reagan memicingkan matanya, berusaha mengenali siapa yang ada di hadapan meski mulai terlihat dobel dan sedikit buram. Ia meneguk sedikit minuman yang telah disediakan oleh bartender.
“Tidak, Anda tidak mengenal saya. Akan tetapi, saya mengenal Anda. Siapa yang tidak mengenal Reagan Aaron Lycus, penerus tahta Klan Lycus?” kekeh lelaki asing.
Mendadak, matanya melihat ke arah belakang sang Tuan Muda dan berucap, “Hey! Ada yang memanggil Anda!”
Reagan spontan menoleh ke belakang dan mencari siapa yang katanya memanggil. Tanpa ia ketahui, pria asing itu memasukkan sebuah cairan ke dalam gelas minumannya. Saat ia kembali membalikkan badan, hanya sebuah senyum yang didapat.
“The hell? Siapa yang memaggilku? Tidak ada siapa-siapa!” desisnya, lalu menenggak minuman segar sampai habis tak bersisa.
Lelaki asing tersenyum puas melihat cairan yang tadi ia masukkan ke dalam gelas sang Tuan Muda kini telah masuk semua ke dalam lambung. Tugasnya … telah selesai.
Ia menggeleng, “Hmm, pasti saya hanya salah lihat. Tadi ada yang melambai, saya kira memanggil Anda. Mungkin dia memanggil orang lain. Ya, sudah, saya pergi dulu, bye.”
Reagan hanya memandang dengan mengerutkan kening sampai lelaki itu hilang dari pandangannya. “Orang aneh!” desisnya, lalu kembali kepada teman-teman di area VVIP.
Lelaki asing terus berjalan hingga keluar dari klub malam dan segera menuju lobby hotel. “Semua sudah selesai. Obatnya sudah diminum dengan sempurna. Menurut front office, dia akan menginap di kamar 725. Gunakan kunci bypass yang kuberikan tadi untuk bisa masuk ke sana.”
Seseorang tersenyum puas mendapat laporan itu. “Oke, aku akan menunggu Reagan di kamarnya … sekarang juga.”
***
Sementara itu, di sudut lain klub malam bernama The Black Cobra ada sekumpulan karyawan kantor sedang berpesta juga. Mereka merayakan naik pangkatnya seseorang bernama Eleanor Thomason. Wanita berambut pirang yang teramat manis itu resmi diangkat menjadi supervisor hari ini.
“Cheers! Untuk sahabat tersayangku, Ella! Dia telah membuktikan kalau dia adalah yang terhebat di antara kita semua! Baru saja bekerja tiga tahun di perusahaan, dia telah berhasil menjadi supervisor! Salute untuk Ella!” ucap seorang wanita mengangkat gelas.
Wanita itu biasa dipanggil Ella oleh orang-orang terdekatnya. Senyum cantik alami merekah karena merasa terharu dengan perhatian semua yang datang malam hari ini. Besok adalah hari Sabtu dan mereka berencana untuk terus ada di klub sampai tutup.
“Aku sungguh berterima kasih kepada kalian semua. Aku harap tidak ada yang berubah di antara kita meski aku sudah menjadi supervisor. Jangan membuat jarak denganku, ya?” pintanya merangkul teman-teman yang lain.
“Kami akan tetap menjadi sahabat terbaikmu, Ella!” seru satu sama lain saling bersahutan.
Saat semua sedang sibuk menyalami dan berpelukan dengan Eleanor, wanita yang tadi mengangkat gelas pertama kali memasukkan sedikit bubuk ke dalam gelas minuman di tangannya, tanpa ada yang melihat.
Ia berbalik, lalu menyerahkan minuman itu kepada Eleanor. “Ini, sudah kutuangkan anggur merah terbaik untukmu!” ucapnya dengan sumringah.
Eleanor kembali terharu, lalu memeluk sahabatnya sejak kuliah tersebut. “Sasya! You are the best! Aku sangat menyayangimu! Aku yakin, setelah ini pasti kamu yang akan diangkat menjadi supervisor!” ucapnya tersenyum lebar.
Wanita bernama Sasya Zaper hanya tertawa renyah mendengar ucapan itu. Dia adalah tipe manusia bermuka dua. Lain di depan, lain di belakang. Lain di mulut, lain di hati.
Di mulut ia mengatakan selamat, sahabat terbaik, bla bla bla … tetapi di hati? ‘Kamu memang kurang ajar, Ella! Aku yang membantu memasukkan kamu ke perusahaan, tetapi justru kamu sekarang mencuri posisi supervisor dariku!’
Ia tersenyum ramah, sambil berkata dalam hati, ‘Lihat saja! Setelah ini namamu akan hancur! Kamu tidak hanya dicopot dari jabatan supervisor, tapi kamu juga akan dikeluarkan dari perusahaan!’ kekehnya culas.
Pesta perayaan terus berlangsung hingga satu jam ke depan di mana Eleanor kemudian mulai merasa pusing dan mengantuk. “Guys, aku tidak tahu kenapa, tetapi aku merasa sangat lelah. Mungkin aku mabuk?”
“Kamu hanya minum anggur merah dan bir saja, kenapa kamu bisa mabuk?” sahut Sasya seakan tidak tahu apa yang terjadi. “Tapi, kalau memang kamu merasa lelah, sebaiknya kita akhiri saja pesta ini, setuju?”
Teman-teman yang lain mengangguk. Wajah Eleanor memang terlihat pucat dan matanya semakin redup. Mereka mulai membereskan barang-barang, mengeluarkan uang dari dompet masing-masing untuk urunan membayar pesta malam ini, dan bersama meninggalkan klub malam.
Sasya membersamai Eleanor, “Berikan kartu kreditmu untuk memesan kamar.”
“Memesan kamar? Untuk apa?” tanya Eleanor sambil menguap lebar. Ia merasa dunia mulai berputar hingga tubuh menjadi tidak stabil dan nyaris terjatuh jika saja Sasya tidak cepat menangkapnya.
“Ini alasanku kenapa kita harus memesan kamar. Aku tadi terlalu banyak minum Bloody Marry hingga merasa mabuk. Kamu juga mengantuk, tidak ada yang bisa menyetir mobil pulang. Sebaiknya kita menginap saja.”
Eleanor semakin merasa dirinya terbang di atas awan dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Meski hotel mewah ini tarif per malamnya sungguh di luar jangkauan, tetapi ia mengiyakan saja apa kata sahabatnya tersebut.
Sasya mendudukkan dirinya di atas sofa, dan ia menyandarkan kepala dengan cepat, lalu memejamkan mata karena sudah terasa sangat berat. Tak lama, pundaknya ditepuk, lanjut dengan terdengarlah suara.
“Ella, ayo! Kamarmu sudah siap! Kita ke kamar 752. Kamu butuh istirahat!” Sasya sudah selesai memesan kamar. Ia papah rekan kerjanya tersebut dan mulai berjalan menuju lift.
Sampai di dalam kamar, ia merebahkan Eleanor di atas ranjang. “Aku mau keluar sebentar membeli camilan. Kalau nanti pintu diketuk, kamu harus bangun dan membukanya, oke?”
“Oke, oke, pergilah, aku masih bisa bangun kalau kamu datang nanti,” angguk Eleanor tersenyum, memeluk bantal dengan nyaman.
Sasya segera keluar dari kamar, kemudian menelepon seseorang. “Ayo, waktunya kamu beraksi! Dia ada di kamar 752! Ketuk pintunya, dia akan datang membuka.”
“Setelah itu, tiduri dia, ambil foto telanjangnya sebanyak mungkin. Paham?” desis sang wanita dengan menyeringai licik,
“Sure, asal kamu transfer dulu $350 sebagai uang muka. Kita sudah ada perjanjian, bukan? Down p*****t 50%. Aku sudah di hotel, sedang menuju lift. Transfer uangnya sekarang, dan akan kukerjakan semua perintahmu.”
Senyum Sasya mengembang. “Tunggu satu menit lagi, uangnya akan masuk ke rekeningmu.”
***
Kembali ke dalam klub malam The Black Cobra, ada yang aneh di tubuh Reagan. Ia tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Sekujur raga maskulinnya yang tinggi dan gagah itu terasa panas.
‘s**t, ada apa denganku? Kenapa detak jantungku meningkat pesat, dan kenapa rasanya panas sekali?’ Tuan Muda Lycus mulai bingung dengan dirinya sendiri.
Satu hal yang paling tidak bisa ia pahami adalah kenapa setiap melihat wanita memakai pakaian seksi melintas di sekitar, yang ia inginkan hanya membawa mereka ke ranjang dan bercinta.
Bahkan, secara gila ia mulai membayangkan hal-hal yang erotis dengan para wanita yang baru saja melintas. Di mana hal itu membuat kejantanannya bereaksi.
Dengan kepala yang sudah setengah sadar setengah tidak, ia masih bisa berpikir malu jika dilihat oleh teman-temannya bahwa mendadak ada yang bangkit di antara kedua kaki.
Maka, tidak mau menunggu lebih lama, ia pun segera berlari keluar sambil berteriak. “Aku pergi duluan! Kepalaku sudah terlalu pusing! Kalian terus saja bersenang-senang! Bills on me!” teriaknya mengatakan bahwa semua tagihan akan menjadi urusannya.
Tentu saja akan menjadi urusannya. Dialah pemilik klub malam tersebut, sekaligus pemilik hotel mewah tempatnya berada sekarang. Sang ayah merupakan salah satu pebisnis kelas kakap yang terkaya di kota Big Apple tersebut.
“Oke, oke, aku harus segera ke kamar dan berendam di air dingin! s**t! Aku merasa panas sekali! f**k! Ada apa denganku!” erangnya sembari memasuki lift.
Mengeluarkan kartu bypass, yaitu sebuah kartu yang biasa dimiliki oleh petugas hotel untuk membuka kamar nomor berapa pun, ia segera menekan angka 7 di dinding lift.
Di kamar nomor 725 adalah tempat di mana ia harusnya berada malam ini. Sebuah penthouse mewah yang memang dibuat khusus untuknya beristirahat setelah bersenang-senang di klub malam. Namun, otak yang mabuk serta aliran darah yang panas ternyata bisa membuat kekacauan tersendiri.
“Room 752, mana dia? Mana kamar 752!” engahnya mencari nomor kamar yang bukanlah kamarnya! Ia terbalik! Bukannya ke kamar 725, justru kaki diayun menuju 752.
Saat menemukan apa yang ia cari, matanya terbelalak dan cepat melangkah semakin kencang. Menggunakan kartu bypass, ia segera membuka pintu kamar 752.
“The f**k? Ini bukan kamarku!” desisnya menggeleng bingung. “s**t! Aku pasti sudah terlalu mabuk! Apa yang terjadi!”
Mendadak, terdegarlah suara lembut, “Sasya Darling, apakah itu kamu? So sorry, aku … aku … mengantuk … ya … aku me—” Eleanor tidak bisa meneruskan kalimatnya karena ia sudah jatuh terlelap akibat obat tidur yang diberikan oleh sahabatnya.
Otak Reagan yang sudah dipenuhi angan bercinta memerintah tubuh untuk berjalan mengikuti datangnya suara. Begitu melihat seorang wanita rebah di atas ranjang dengan rok yang tersingkap, ia hanya bisa menelan liurnya sendiri.
Bagaimana tidak? Sebuah segitiga mungil berwarna putih tipis nampak begitu menggoda di antara kedua kaki. Hasrat kelaki-lakiannya sudah berada di pucuk tebing, tak kuat lagi untuk ditahan.
Maka, tanpa berpikir panjang, ia pun mulai merayap naik ke atas peraduan. Wajah tampanya bergerak perlahan mendekati leher Eleanor, kemudian menghirup wangi vanila yang begitu memabukkan.
“Aku tidak tahu siapa kamu, tetapi keharumanmu sungguh membuatku ingin bercinta! So, please … be a good girl, dan biarkan aku mengeluarkan semua hasrat terpendamku malam hari ini!”